Badan Pusat Statistik mengumumkan, angka kemiskinan turun dari 10,64 persen pada Maret 2017 menjadi 9,82 persen pada Maret 2018. Dengan pencapaian itu, tampaknya target pemerintah menurunkan kemiskinan jadi satu digit 8,5-9,5 persen pada 2019 kian mendekati kenyataan. Secara faktual, ini sekaligus menunjukkan, upaya pemerintah dengan aneka program anti-kemiskinan, seperti subsidi, bantuan, dan kebijakan prorakyat miskin, kian efektif dalam menurunkan kemiskinan.

Namun, jika dicermati lebih jauh, aneka program yang dijalankan pemerintah itu umumnya cukup efektif pada peningkatan konsumsi pangan. Hal ini, antara lain, tecermin dari kontribusi komoditas pangan yang meningkat terhadap garis kemiskinan. Selama Maret 2017-Maret 2018, kontribusi komoditas pangan terhadap garis kemiskinan meningkat dari 73,31 persen (Maret 2017) menjadi 73,48 persen (Maret 2018).

Dengan mencermati cukup dominannya komoditas pangan terhadap garis kemiskinan, itu berarti kontribusi nonpangan terhadap garis kemiskinan tergolong kecil, yakni hanya sekitar seperempatnya (26,52 persen).

Padahal, dari kontribusi nonpangan yang besarnya hanya seperempat terhadap garis kemiskinan, ada dua aspek penting yang amat menentukan kualitas hidup penduduk: pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Penurunan angka kemiskinan hingga satu digit pada Maret 2018 tampaknya belum mampu meningkatkan pengeluaran untuk mendongkrak kualitas hidup penduduk, terutama pendidikan dan kesehatan.

Bahkan, peningkatan pengeluaran pangan belum secara otomatis meningkatkan asupan gizi penduduk. Sebab, penghitungan komoditas pangan terhadap garis kemiskinan didasarkan pada kuantitas pangan tanpa memperhatikan kualitas pangan yang dikonsumsi. Padahal, kualitas pangan yang dikonsumsi amat penting dicermati untuk menakar asupan gizi penduduk sebagai salah satu aspek  untuk meningkatkan derajat kesehatan penduduk.

Faktanya, di tengah kian menurunnya angka kemiskinan hingga satu digit, kita masih berkutat dengan aneka masalah kesehatan, seperti tingginya prevalensi stunting dan lambatnya penurunan angka kematian bayi.  Prevalensi stunting anak balita berdasarkan hasil survei prevalensi gizi 2017, misalnya, mencapai 29,6 persen. Sementara angka kematian bayi selama 2007-2012 berdasarkan survei demografi dan kesehatan Indonesia hanya turun dua poin, dari 34 per 1.000 kelahiran hidup pada 2007 jadi 32 per 1.000 kelahiran hidup pada 2012.

Miskin kapabilitas

Pendidikan dan kesehatan merupakan dua faktor penting dalam mewujudkan kualitas hidup penduduk. Eloknya, meningkatnya kualitas hidup penduduk umumnya juga disertai meningkatnya kapabilitas penduduk. Ini berarti agenda penting yang perlu  dijadikan prioritas pembangunan nasional ialah penurunan miskin pendapatan (income poverty) disertai dengan penurunan miskin kapabilitas (capability poverty).

Dalam konteks ini, peningkatan capaian pembangunan manusia sebagai salah satu target pembangunan nasional memang cukup penting diberlakukan. Namun, tingginya pencapaian pembangunan manusia belum menjamin tingginya kapabilitas penduduk. Sebab, tingginya pencapaian pembangunan manusia pada tahun tertentu  boleh jadi  karena kontribusi yang besar dari daya beli, sedangkan dua aspek lain dari pembangunan manusia, yaitu derajat pendidikan dan kesehatan, cukup rendah.

Pencermatan di sejumlah daerah menunjukkan, tingginya daya beli sebagai proksi rendahnya angka kemiskinan ternyata belum sejalan dengan tingginya derajat pendidikan dan kesehatan. Di Kalimantan Selatan, daya beli penduduknya lebih tinggi (Rp 11,6 juta) daripada daya beli secara nasional (Rp 10,7 juta), tetapi derajat pendidikan dan kesehatan lebih rendah daripada angka nasional. Rata-rata lama sekolah di Kalsel 7,99 tahun dan umur harapan hidup sebagai indikator kesehatan 68,02 tahun, sedangkan rata-rata lama sekolah secara nasional 8,10 tahun dan angka umur harapan hidup 71,06 tahun (BPS, 2018).

Belum sejalannya pendapatan dan kapabilitas penduduk juga ditemukan di sejumlah negara. Di Angola dan Georgia, meski pendapatan per kapita kedua negara sama, sekitar 2.200 dollar AS, derajat pendidikan dan kesehatan di Georgia menyamai negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), sedangkan derajat pendidikan dan kesehatan di Angola terburuk di dunia (Department for International Development/DFID, 2005).

Dalam konteks ini, penentuan prioritas alokasi anggaran terhadap pendidikan dan kesehatan, manajemen pengelolaan anggaran, dan stabilitas keamanan amat menentukan pencapaian kapabilitas penduduk.

Secara faktual, ini sekaligus mengisyaratkan, penentuan prioritas pembangunan yang hanya pada penurunan miskin pendapatan, tetapi melupakan penurunan miskin kapabilitas, akan menempatkan penduduk miskin yang berhasil dientaskan dalam kondisi rentan kembali jatuh miskin. Meningkatnya harga pangan, misalnya, akibat faktor kelangkaan, krisis, kebijakan tidak populis, dan bencana alam berpotensi meningkatkan angka kemiskinan.

Namun, dengan meningkatnya kapabilitas, hal itu akan memberikan kemandirian bagi penduduk untuk meningkatkan pendapatannya. Meningkatnya kapabilitas akan memperbesar peluang mereka berpartisipasi dalam pembangunan dan turut menikmati hasil pembangunan sehingga mampu bertahan dari berbagai gejolak dan jatuh miskin.

Berkaitan dengan itu, DFID (2005) secara tegas menyebutkan bahwa untuk mewujudkan lingkaran kesejahteraan (virtuous circle) diperlukan investasi yang mencukupi untuk meningkatkan kapabilitas penduduk melalui peningkatan derajat pendidikan dan kesehatan.

Sepatutnya ini dapat dimaknai bahwa program pembangunan nasional tak hanya bertumpu pada penurunan miskin pendapatan, tetapi secara paralel perlu mengupayakan penurunan  miskin kapabilitas akibat derajat pendidikan dan kesehatan rendah guna mewujudkan lingkaran kesejahteraan.