REUTERS

Perdana Menteri Inggris, Theresa May.

Theresa May harus berjuang lebih keras untuk menyelamatkan negosiasi Brexit di saat pembangkangan terhadap dirinya menguat.

Pekan yang penuh tantangan bagi PM Inggris Theresa May. Selain menghadapi pemberontakan di tubuh Partai Konservatif, negosiasi Brexit nyaris berjalan di tempat. Sementara tenggat perundingan Maret 2019 semakin dekat.

Puncak pergolakan terjadi ketika juru runding Inggris untuk Brexit, David Davis, mengundurkan diri dengan alasan Inggris terlalu banyak memberikan konsesi kepada Uni Eropa. Selain Davis, Menlu Boris Johnson dan dua wakil ketua partai juga mengundurkan diri. Intinya, kubu pendukung Brexit garis keras (hard Brexit) kecewa karena dalam proses negosiasi dengan UE, kesepakatan-kesepakatan yang dicapai mengarah pada "soft Brexit".

Kekecewaan itu bisa dimengerti karena pada awalnya May begitu percaya diri untuk menyatakan, misalnya, akan keluar sepenuhnya dari ikatan perdagangan dengan UE, termasuk pasar tunggal Eropa. Namun, posisi itu berubah karena realitas di meja perundingan tak semudah yang diperkirakan Inggris. Juga karena Inggris tak memiliki cetak biru yang matang ketika memutuskan referendum Brexit pada 2016.

Namun, bukan berarti kubu pro-Uni Eropa di tubuh Konservatif juga puas dengan langkah May karena kesepakatan yang dicapai Inggris dalam negosiasi dengan UE dianggap akan menempatkan Inggris pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan posisi saat ini.

Puncak pembangkangan dari kubu pro-UE di Konservatif terjadi saat Majelis Rendah Inggris harus mengesahkan proposal Brexit terkait perdagangan dan bea cukai, Selasa (17/7/2018). Kubu pro-UE menganggap proposal May lebih banyak mengadopsi tuntutan kubu hard Brexit. Meskipun akhirnya proposal pemerintah menang dalam voting, selisihnya tipis, hanya 6 suara, itu pun dibantu 4 suara dari kubu Partai Buruh. Jika Buruh solid, usulan May bakal ditolak.

Itu sebabnya, May mengancam akan melaksanakan percepatan pemilu jika pembangkangan di tubuh Konservatif terus berlangsung. Percepatan pemilu sangat riskan bagi May dan partainya. Langkah serupa sudah dilakukan pada 2017 dan hasilnya Konservatif kehilangan kursi mayoritas di parlemen.

Skenario terburuk yang harus dihindarkan adalah perundingan Brexit-UE gagal sehingga Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan. Sejumlah ahli telah meramalkan, jika ini yang terjadi, akan berdampak pada krisis ekonomi berkepanjangan, bukan saja di Inggris, melainkan juga di Eropa. UE juga akan kehilangan kerja sama keamanan dan intelijen dengan Inggris yang merupakan negara berkekuatan nuklir, di saat kepemimpinan Amerika Serikat melalui NATO dipertanyakan.

Salah satu jalan keluar yang disodorkan, pemerintah melaksanakan referendum Brexit kembali karena warga Inggris kini dianggap sudah memiliki informasi yang cukup dan representatif tentang apa yang akan terjadi jika Inggris keluar dari UE.


Kompas, 20 Juli 2018