KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Ilustrasi – Petani tebu yang tergabung pada Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia berunjuk rasa di depan Kantor BUMN, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kemelut pergulaan nasional kambuh lagi. Bak pendulum yang datang dan menikam setiap musim giling. Pemicunya, gula produksi petani dihargai sangat murah, lebih rendah dari ongkos produksinya.  Apakah kita bisa swasembada gula jika petani terus rugi?

Pesan singkat  dari seorang petani tebu di Jawa Tengah, datang Rabu (18/7/2018) petang. Isinya, serupa keluh kesah petani lain, yakni  tentang gula yang menumpuk tak terbeli, harga lelang yang hanya berkisar Rp 9.150 per kilogram (kg), serta keputusan antarkementerian dan lembaga yang tak sinkron. Kalimat akhirnya penuh kemarahan, "Petani ditindas di negeri sendiri!"

Kemarahan petani tebu bisa dipahami jika merunut situasi lima bulan terakhir. Pada Maret 2018, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian melaporkan hasil  survei biaya pokok produksi (BPP) tebu dan gula tahun 2018. Survei melibatkan perguruan tinggi, seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Jember, Universitas Lampung, dan Universitas Hasanuddin, serta Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia dan Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat.

 

Sesuai kajian dan penelitian itu, harga acuan pembelian gula petani diusulkan Rp 10.500 per kg. Usulan disampaikan Kementerian Pertanian ke Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian. Namun, rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian pada 17 Mei 2018 memutuskan,  pemerintah menugaskan Perum Bulog membeli gula petani (tebu rakyat yang digiling oleh pabrik gula atau PG BUMN) dengan harga Rp 9.700 per kg. Keputusan  diambil antara lain  mempertimbangkan harga gula di pasar dunia yang cenderung turun.

Situasi lain yang dianggap menekan petani  adalah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan 58 Tahun 2018. Isinya, antara lain menetapkan harga acuan pembelian gula di tingkat petani Rp 9.100 per kg dan harga penjualan di tingkat konsumen (HET) Rp 12.500 per kg.

Struktur industri gula dinilai merugikan petani tebu

Tak hanya angka yang saling beda, janji pemerintah  menyerap gula petani melalui Bulog tak kunjung terealisasi sampai  bulan ketiga panen tahun ini. Kendalanya, ada tagihan Bulog atas pemakaian dana cadangan stabilisasi harga pangan (CSHP)  Mei 2017-Juni 2018 sebesar Rp 1 triliun yang belum terbayar. Bulog tentu tak mau rugi.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Buruh mengangkut tebu yang akan dikirim ke PG Candi dari ladang ke atas truk di Kecamatan Waru, Sidoarjo, Rabu (26/10/2016).

Terlepas dari keruwetan itu, struktur industri gula dinilai merugikan petani,  umumnya masih mengandalkan mesin tua dan teknologi yang ketinggalan zaman dan tak efisien. Di sisi lain, kapasitas PG rafinasi  tumbuh hingga 5 juta ton, jauh melebihi kebutuhannya yang 3 juta ton per tahun. Impor gula mentah (raw sugar), bahan baku gula rafinasi, terus bertambah.  Rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi pun belum teratasi. Akhirnya, tak hanya oleh ketentuan HET dan pajak, gula petani tertekan oleh banjir gula di pasaran.

Orang kelaparan bukan karena harga bahan pangan tinggi, tetapi lebih karena mereka tak punya uang untuk mampu membelinya

Dengan harga yang terus tertekan, apakah petani termotivasi memacu produksi? Harga gula di pasar dunia memang cenderung turun tahun ini, yakni dari  397,4 dollar AS per ton pada 2 Januari jadi 324,8 dollar AS per ton pada 17 Juli sesuai data Organisasi Gula Internasional (ISO), antara lain karena kenaikan produksi global. Namun, apakah hal itu  bisa jadi dasar menekan harga  di petani demi menekan harga di konsumen? Apa petani tebu kita mendapat fasilitas infrastruktur, subsidi, dan aneka kemewahan yang dinikmati petani di negara-negara produsen lain?

Benar kiranya kata Paul McMahon, dalamFeeding Frenzy: The New Politics of Food , bahwa orang kelaparan bukan karena harga bahan pangan tinggi, tetapi lebih karena mereka tak punya uang untuk mampu membelinya. Ketidakmampuan berkait dengan tingkat pendapatan dan daya beli.

Harga pangan yang tinggi justru dapat mendorong laju ekonomi perdesaan, memotivasi petani meningkatkan investasi, dan mengurangi angka kurang gizi di sejumlah negara. Sebaliknya, harga pangan yang terlalu rendah membuat banyak petani, baik di negara kaya maupun miskin, meninggalkan sektor pertanian bahkan bunuh diri.