KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Teller menunjukkan uang dollar AS di PT Bank Negara Indonesia (Persero), Jakarta, Rabu (16/5/2018). Dalam laporan Badan Pusat Statistik terkait inflasi periode Januari-Mei 2018 dinyatakan bahwa pelemahan rupiah tidak berdampak pada inflasi. Pelemahan rupiah baru berdampak terhadap inflasi jika terjadi dalam waktu setahun.

Menguatnya nilai tukar dollar Amerika Serikat di atas Rp 13.000 per dollar AS dalam waktu yang panjang jadi pukulan telak bagi  industri manufaktur nasional yang sudah lama dihantam masalah-masalah klasik yang tak terselesaikan secara komprehensif. Berbagai kasus laten yang membelit pelaku industri dibiarkan terus hidup tanpa penyelesaian berarti.

Pengusaha terus dibelit masalah demo buruh, tuntutan kenaikan upah yang terus terjadi tanpa peningkatan produktivitas, mahalnya harga energi dan pasokan untuk industri yang terbatas, serta perilaku birokrasi yang tak melayani menjadi pelengkap penderitaan dunia usaha.

Dampaknya terhadap struktur industri manufaktur nasional, seperti kata Presiden Direktur PT Apac Inti Corpora Benny Soetrisno, semakin industri manufaktur tergantung impor, strukturnya semakin rentan. Efisiensi semakin sulit dicapai optimal, industri tidak berjalan maksimal, dan tak terbangun industri pendukung yang kuat.

Dampaknya mudah ditebak, tidak adafriendly bisnis sehingga membuat investor lokal dan asing menjauh. Kondisi itu membuat sektor manufaktur nasional semakin tidak efisien. Semua produk dan kebutuhan di dalam negeri, seperti pangan olahan, produk manufaktur, dan industri komponen, ditutup dari impor.

Padahal, setiap perubahan di dunia, apalagi negara-negara super power, tentu akan memberikan dampak negatif atau positif terhadap negara-negara lain. "Kita harus selalu menyikapi perubahan-perubahan tersebut dengan mencari dan mendapatkan opportunity yang positif untuk kita. Nyatanya kita lebih banyak negatifnya karena persoalan lama yang selama ini terjadi tidak diselesaikan secara implementatif," ujar Benny.

AFP/GETTY IMAGES/DREW ANGERER

Pialang dan profesional keuangan bekerja sebelum lonceng penutupan di lantai New York Stock Exchange, Senin (25/6/2018), di New York, Amerika Serikat. Dow turun lebih dari 300 poin untuk hari itu karena pasar terus menguat menyikapi kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap China. Di sejumlah wilayah, situasi perang dagang menyebabkan pasar saham melemah.

Masih banyak produk kebijakan yang dibuat pemerintah sekadar di atas kertas. Terbukti implementasi jaringan kerja antarkementerian dan lembaga serta pemerintah daerah (otonomi ) tidak berjalan. Lihat saja paket kebijakan ekonomi dari paket 1 sampai dengan paket 16 serta ditandantanganinya Online Single Submission (OSS) oleh Presiden Joko Widodo pada 21 Juni 2018, semuanya hampir lemah di implementasi.

Kondisi mengkhawatirkan
Bahkan, jika riil mau mengakui, kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, kondisi saat ini mengkhawatirkan. Gambarannya sangat jelas dari inflasi yang terjadi dalam beberapa bulan ini, termasuk masa Lebaran rendah. Mungkin secara ekonomi itu bagus karena mesin ekonomi tidak panas.

Padahal, yang terjadi mungkin hal sebaliknya. Kondisi itu justru mencerminkan bagaimana di tengah permintaan yang tinggi inflasi bisa ditekan serendah itu. Padahal, mesin perdagangan sedang dipacu tinggi karena meningkatkan permintaan. Hal ini jelas menimbulkan tanda tanya besar dari mana semua kebutuhan itu dipasok di tengah keterbatasan, tidak lain ditutup dari impor.

Dampaknya devisa terkuras lebih cepat untuk kebutuhan impor bahan pangan segar, olahan, ataupun bahan baku dan komponen. Persoalan semakin pelik karena dana yang ada di pasar modal ikut terkuras akibat pencairan dana yang dilakukan investor.

Hal ini mengakibatkan transaksi neraca perdagangan menjadi tidak imbang sehingga neraca transaksi berjalan menjadi defisit. Hal ini menggambarkan kebutuhan impor lebih tinggi dari ekspor sehingga itu bisa menggambarkan bahwa industri manufaktur tidak tumbuh dengan baik.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Kapal bermuatan peti kemas meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.

Industri pendukung tidak tumbuh karena memang berbagai masalah krusial yang sudah lama terjadi tidak diselesaikan. Kondisi ini tak merangsang investor lokal apalagi asing untuk masuk. Mereka khawatir harus menghadapi ketidakpastian, harus menyelesaikan sendiri persoalan perburuhan dan upah. Selain itu, energi yang ada tak tersedia memadai ditambah harga jual listrik dari perusahaan negara yang mahal dengan kualitas suplai yang tidak optimal.

"Saya saja tidak berani kalau membangun pabrik hanya mengandalkan listrik dari PLN. Kami harus menyediakan genset yang harga bahan bakarnya tidak murah," kata Tutum.

Persoalan kian bertambah pelik dengan sikap aparat birokrasi yang kurang melayani. Jadi, kenaikan dollar AS yang terus terjadi dalam kurun waktu yang lama hanya pemukul terakhir terhadap akumulasi persoalan yang lama terjadi. Kontribusi menguatnya dollar AS mungkin hanya 20 persen, sedangkan 60 persennya masalah laten tersebut.

Pasti ada dampaknya, kata Presiden Direktur Panasonic Gobel Indonesia Heru Santoso. Negara kita kaya mineral tetapi tidak punya industri yang kuat untuk pengolahan mineral menjadi bahan baku. Padahal, di tengah situasi seperti ini pembangunan industri pendukung harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pekerja mengontrol proses produksi di anjungan lepas pantai Mike-Mike yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) di Laut Jawa, utara Karawang, Jumat (17/7/2017). Total produksi per hari PHE ONWJ untuk minyak sebesar 40.400 barrel per hari dan gas bumi mencapai 173 MMSCFD yang semuanya digunakan untuk menyuplai kebutuhan strategis nasional.

"Kalau industri bahan baku kuat, otomatis industri komponen tumbuh sehingga industri barang jadi punya kekuatan daya saing. Ini merupakan masalah klasik, siapa pun tahu, tetapi pemerintah sulit mengubahnya. Saya pikir itu terjadi karena bisnis mineral banyak dikuasai elite politik, jadi sangat sulit ditembus," kata Heru.

Berlangsung lama
Runyamnya, Benny Soetrisno yang juga anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional meyakini, penguatan dollar AS ini akan berlangsung lama. Dengan rencana The Fed menaikkan lagi suku bunga, jelas akan memicu gejolak pada mata uang negara-negara lain.

Tinggal bagaimana setiap negara itu menjaga mata uang mereka agar tidak kian melemah terhadap dollar AS. Semua sangat tergantung dari kinerja perdagangan ekspor-impor dan penyelesaian berbagai kewajiban pembayaran dari negara yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, sampai kapan dollar AS ini akan terus menguat sangat tergantung dari situasi global dan kondisi ekonomi di AS sendiri. Selain itu, juga sampai sejauh mana dampak perang dagang AS dan China dalam upaya "Negeri Paman Sam" itu mengurangi defisit perdagangan mereka dengan China.

Dalam rangka mengantisipasi gejolak itu, kata Benny, industri yang banyak mengalami ketergantungan impor harus menaikkan ekspor agar neraca perdagangan positif. Lebih baik lagi jika diberi ruang untuk masuknya industri pendukung bahan baku melalui  incentive fiscal (tax holiday PPh 36).

Dengan demikian akan mengurangi komponen belanja produk impor yang menguras dollar AS untuk membeli bahan baku. Selain itu, pemerintah juga harus mampu membuka akses pasar ke negara-negara yang masih kecil pasarnya dan bukan pasar tradisional ekspor Indonesia.

Tidak terpengaruh
Sebagai pelaku pasar di industri furnitur, kata Direktur Utama  PT Nobilindo Kabinet Indonesia (Distributor Nobilia Kitchen Cabinet) Sugih Yusuf, produk Nobilia yang merupakan produk furnitur impor sampai saat ini belum mengalami masalah. Sebab, produk ini pada umumnya merupakan produk pesanan dan kalangan kelas ekonomi menengah dan atas.

Namun, bagi pelaku atau pedagang elektronik tanpa merek, seperti di Pasar Glodok, Jakarta, pasti ada kekhawatiran. Karena sifat bisnis mereka adalah bersaing, artinya stok lama dengan harga patokan pembelian lama menjadi acuan mereka.

Namun, jika harga barang baru akan naik, mereka baru akan menaikkan harga jual. Kondisi bisnis mereka akan sangat tergantung dari fluktuasi nilai tukar dollar AS itu sendiri.

"Kecuali pemain kulakan, mereka bisa menahan menjual barang-barang manis, mencari keuntungan dari permintaan yang terjadi," kata Sugih Yusuf yang juga distributor produk elektronik.

Adapun barang-barang elektronik yang produksinya dilakukan di Indonesia, seperti LG maupun Samsung, kata Sugih Yusuf, justru menuai berkah. Sebab, harga jual produk mereka akan bersaing karena tidak terpaut jauh dengan produk-produk elektronik impor asal China.