KOMPAS/RIZA FATHONI

Sekelompok anak-anak menyusun permainan "bricks" di RPTRA Rusun Komarudin, Jakarta, Selasa (24/7/2018). Permainan "bricks" yang tersedia di RPTRA dan dapat dimainkan oleh semua anak dapat menjadi alternatif bermain yang merangsang kreatifitas serta mengurangi demam gawai yang kini tengah melanda generasi belia, terutama di perkotaan.

Kecanduan gawai pada anak-anak sudah dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Bukan hanya di kota besar, melainkan juga menimpa anak-anak di kota kecil.

Harian ini melaporkan, sejumlah rumah sakit di sejumlah daerah sedang menangani anak-anak dan remaja yang kecanduan gawai. Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah Koesnadi Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, misalnya, menangani 11 pelajar yang kecanduan atau adiksi gawai.

Anak-anak yang kecanduan gawai tersebut bisa tahan bermain gim pada gawai selama tiga hari dua malam, tanpa makan dan tidur. Jika dilarang orangtuanya, anak-anak itu marah dan mengamuk, bahkan sampai membentur-benturkan kepalanya sendiri ke tembok. Tidak sedikit pula pencandu gim yang mengonsumsi sabu dan metamfetamin agar bisa terus terjaga saat bermain gim.

Tercatat sejumlah kasus anak melakukan kekerasan terhadap teman dan keluarganya setelah bermain gim. Banyak pula kasus remaja melakukan pelecehan seksual dan kekerasan seksual setelah melihat konten pornografi di gawai.

Tak heran jika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan International Classification of Disease (ICD) edisi ke-11 yang menyebutkan kecanduan gim sebagai gangguan kesehatan jiwa yang masuk kategori sebagai gangguan permainan atau gaming disorder. Artinya, persoalan kecanduan gim sudah menjadi masalah dan perhatian dunia.

Komisi Nasional Perlindungan Anak sejak 2016 sudah menangani 42 kasus anak yang kecanduan gawai. Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, juga menangani 28 anak dari sejumlah provinsi yang terkena pengaruh negatif gawai yang terkoneksi internet.

Meningkatnya kecanduan gawai di kalangan anak dan remaja dalam lima tahun terakhir memang tidak terlepas dari tingginya penetrasi internet di Indonesia. Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 mengungkapkan, 143,2 juta orang atau 54,6 persen dari populasi Indonesia menggunakan internet. Sekitar 75,5 persen pengguna internet tersebut berusia 13-18 tahun dan 44,1 persen di antaranya mengakses internet dari gawai.

Kenyataan inilah yang harus menjadi perhatian bersama. Gawai yang terkoneksi internet di satu sisi sangat bermanfaat, terutama untuk menambah wawasan informasi dan pengetahuan anak. Namun, di sisi lain, penggunaan gawai terkoneksi internet yang keliru justru berdampak negatif pada anak.

Karena itulah, dampak penggunaan gawai berinternet pada anak harus ditangani bersama. Sekolah, misalnya, perlu memberikan edukasi soal gawai berinternet. Begitupun orangtua harus bijak dalam memilih gawai untuk anak sesuai usianya, membatasi waktu penggunaan gawai sejak dini, dan memberikan edukasi soal konten yang bermanfaat sesuai usia anak. Bijak pula jika orangtua mempunyai akses pada gawai anak.

Lebih penting lagi, orangtua memberikan teladan soal penggunaan gawai di hadapan anak. Jujur saja, banyak orangtua yang asyik memainkan gawai, termasuk bermedia sosial, sampai mengabaikan anak yang ada di hadapannya.

Kompas, 26 Juli 2018