KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Siswa baru SMA Santa Maria mengikuti lomba engran saat hari terakhir Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah(MPLS) di Surabaya, Jumat (20/7/2018). Selain untuk memulai persekolahan dengan hal menyenangakan kegiatan untuk melatih kekompakan siswa serta untuk melestarikan permainan tradisional yang kini hampir punah.

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Meski demikian, kekisruhan dalam penerimaan peserta didik baru yang terjadi di sejumlah daerah perlu jadi bahan evaluasi.

Salah satu penyebab kekisruhan adalah sistem zonasi yang tahun lalu pun sebenarnya sudah diterapkan. Sejumlah peserta didik dan orangtua sangat diuntungkan dengan sistem ini karena dianggap lebih berkeadilan, tetapi banyak pula yang merasa dirugikan.

Tujuan sistem zonasi ini sebenarnya baik. Seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018, penerimaan peserta didik baru (PPDB) tidak hanya berdasarkan prestasi, tetapi juga berdasarkan zonasi atau tempat tinggal, jalur umum, serta jalur afirmasi atau jalur khusus bagi keluarga tidak mampu.

Melalui sistem zonasi, peserta didik yang tempat tinggalnya dekat dengan sekolah yang dituju mendapat prioritas untuk diterima. Masalahnya, seperti yang diungkap harian ini, banyak orangtua yang memalsukan domisili anaknya.

Kasus yang kerap terjadi, beberapa bulan sebelum PPDB, domisili anaknya "dipindahkan" dan dimasukkan pada kartu keluarga kerabat atau orang lain yang lokasinya dekat dengan sekolah yang dituju. Perubahan dan "jual beli" kartu keluarga pun menjadi marak menjelang PPDB dengan melibatkan aparat kelurahan dan kecamatan. Kasus serupa terjadi dalam penerbitan surat keterangan tidak mampu sebagai bekal untuk masuk sekolah melalui jalur afirmasi yang kuotanya minimal 20 persen dari jumlah kursi yang tersedia.

Bagi siswa berprestasi, kedua jalur ini dianggap kurang adil karena mengabaikan kerja keras mereka dalam meraih prestasi tinggi di bidang akademik. Nilai ujian nasional yang tinggi dikalahkan oleh domisili dan faktor ekonomi keluarga saat akan masuk sekolah yang dituju. Apalagi, kuota jalur prestasi lebih sedikit dibandingkan kuota zonasi dan jalur afirmasi. Siswa berprestasi juga merasa "dipaksa" tak bisa memilih sekolah unggulan karena harus memilih sekolah yang dekat dengan domisili mereka walaupun bisa jadi kualitasnya kurang baik.

Bagi pemerintah, zonasi dianggap sebagai langkah terbaik untuk memperkecil disparitas mutu pendidikan. Tak ada lagi sekolah favorit atau sekolah pinggiran. Semua mempunyai posisi sama. Sekolah yang semula unggulan karena diisi siswa-siswa berprestasi kini harus menangani siswa yang lebih heterogen dari sisi akademis ataupun ekonomi siswa. Sebaliknya, sekolah yang dicap "pinggiran" harus meningkatkan kualitas agar setara dengan sekolah lain yang sebelumnya dianggap unggulan.

Kebijakan pemerintah memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Namun, menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan layanan pendidikan berkualitas serta sarana dan prasarana pendidikan yang setara sudah dinikmati semua sekolah.

Tak bisa diabaikan pula, pemerintah harus segera menindak tegas siapa pun yang terlibat dalam kecurangan PPDB. Sikap tegas dan transparan akan memberikan keadilan bagi banyak pihak sehingga bisa mengurangi keresahan.

Kompas, 21 Juli 2018