AP PHOTO/OLIVIER FITOUSSI

Anggota parlemen keturunan Arab berdiri untuk menyatakan protes dalam sidang parlemen Israel (Knesset) di Jerusalem, Kamis (19/7/2018). Parlemen Israel menyetujui pengesahan undang-undang kontroversial yang menegaskan Israel sebagai negara rakyat Yahudi. Langkah itu dikritik bakal mendiskriminasikan kelompok minoritas Arab.

Upaya penyelesaian dua negara dalam konflik Palestina-Israel kian sulit setelah Knesset (parlemen) Israel mengesahkan UU yang mengistimewakan warga Yahudi.

Sedikitnya terdapat 1,8 juta jiwa warga Arab Palestina yang bermukim di Israel dari total penduduk 9 juta jiwa. Mereka adalah warga Arab yang tidak ikut eksodus ke negara tetangga ketika Israel memenangi perang melawan Arab tahun 1948.

Undang-undang (UU) yang mengarah ke politik apartheid ini mendapat kecaman keras, khususnya dari otoritas Palestina. Sekretaris Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat mengatakan, UU itu berbahaya dan rasis.

Kelompok garis keras di Knesset memenangi pemungutan suara 62 berbanding 55 yang menolak dan 2 abstain. Dengan UU ini, Israel hanya mengakui bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi dan menghapus bahasa Arab sebagai bahasa kedua.

UU di atas langsung atau tidak menyimpang dari impian Bapak Zionisme, Theodor Herzl, pada tahun 1896 yang bermimpi mendirikan "Jewish Homeland" di Palestina yang damai dan sejahtera. Pendukung pertama gerakan ini adalah Inggris. Pada 2 November 1927, Menteri Luar Negeri Inggris Lord Arthur James Balfour mengirim surat kepada Lord Walter Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris.

Surat itu menyebutkan, setelah sidang kabinet pada 31 Oktober 1917, Inggris mendukung rencana Zionis untuk mendirikan "Jewish Homeland" di Palestina. Dukungan Inggris diberikan dengan syarat tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas yang ada di sana.

Mimpi Herzl dilanjutkan oleh Shimon Peres yang pada 1994 menerima hadiah Nobel Perdamaian bersama Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat. Peres-lah yang menggagas perjanjian damai dengan Palestina di Oslo, Norwegia, hingga ditandatangani di Washington, 13 September 1993.

Kini, kehadiran UU yang berbau rasis dan apartheid ini membuat dunia prihatin, termasuk Uni Eropa, yang meminta Israel tetap menghormati hak-hak minoritas warga Arab Israel. Wajar muncul kekhawatiran itu karena PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, persetujuan Knesset itu merupakan momen yang menentukan. Banyak warga Yahudi di Israel juga tidak setuju, termasuk Presiden Israel Reuven Rivlin yang menolak UU itu.

Sebetulnya tak hanya Israel yang akhir-akhir ini condong bergerak ke "kanan", tetapi di beberapa negara di Eropa juga muncul kecenderungan yang sama. Dalam kasus Israel, Partai Likud dan Netanyahu yang menjadi sponsor lahirnya UU tersebut dari awal sudah tidak setuju berdamai dengan Palestina. Sejak Partai Likud pimpinan Netanyahu memenangi pemilu Mei 1996, dunia cemas akan nasib pembicaraan damai Israel-Palestina. Dan, kini kekhawatiran dunia itu mulai mewujud.