KOMPAS/LASTI KURNIA

Suasana rapat gabungan Pimpinan MPR dengan Fraksi- fraksi, kelompok DPD, Pimpinan Badan-badan, dan lembaga di MPR di Ruang GBHN, Gedung MPR DPR, Senayan, Jakarta, Senin (22/8/2016). Rapat membahas Laporan badan pengkajian ttg reformulasi sistem perancanaan pembangunan nasional dan membahas kemungkinan diberlakukannya kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Bulan Agustus 2018 ini merupakan tenggat yang ditentukan sendiri oleh Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat RI dalam penyelesaian Garis-garis Besar Haluan Negara. Lima bulan lalu hal itu dikemukakan Ketua Badan, Bambang Sadono, karena, menurut dia, MPR bermaksud melihat pembangunan Indonesia setelah 100 tahun.

Mestinya, haluan negara sudah dirumuskan MPR untuk 25 tahun ke depan. Pertanyaannya, sampai kapan rumusan itu akan terus mundur? Di antara sekian rencana penyusunan yang tidak tepat waktu, sebetulnya apa yang paling mendesak untuk Indonesia setelah 100 tahun?

ANTARA/WAHYU PUTRO A

Mantan Wapres Boediono (kiri) bersama ahli hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menjadi narasumber pada pembahasan Garis besar Hakuan Negara (GBHN) oleh MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (4/4/2017). Boediono dan Jimly dihadirkan untuk memberikan masukan dalam pembahasan reformulasi sistem perencanaan pembangunan dengan model GBHN.

Hal yang paling mendesak tersebut setidaknya didasarkan pada tiga fakta mendasar. Fakta pertama, banyaknya waktu penyusunan tidak akan berpengaruh terhadap kualitas Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebab, pengaruh terbesar dalam penyusunan terletak pada kemampuan mereka menafsirkan ideologi kebangsaan dalam praktik sosial yang paling nyata. Pendeknya, setelah kita terombang-ambing dalam liberalisme pascareformasi, kita perlu menemukan kembali konvensi.

Fakta kedua, suka atau tidak, kehendak MPR menyusun GBHN adalah bukti bahwa produk Orde Baru perlu dipikirkan kembali. GBHN pernah dianggap sebagai "pedoman pengganti undang-undang dasar" yang suci dan tak tersentuh. GBHN telah diletakkan ke dalam sebab-musabab munculnya biang otoritarianisme pada masa Orde Baru. Dengan kata lain, GBHN Orde Baru adalah bukti atas nalar dogmatis, otoritatif, dan ditulis dalam kerangka doktriner.

Fakta ketiga, GBHN masa lalu merupakan praktik berpikir positivis yang jatuh pada praktik pengotak-ngotakan masalah. Bukti, GBHN Orde Baru memuat pokok-pokok pikiran tentang ancaman, gangguan, hambatan, tantangan. Hal-hal itu memilah kasus ke dalam wacana yang melemahkan, ambigu, memperlambat, dan bermasalah untuk perkembangan pembangunan pada masa depan. Teknik tersebut merupakan penjabaran dari model analisis strenght, weakness, opportunity, and threatening (SWOT). Skema itu memberikan penjelasan tentang wacana yang sama dalam kotak yang berbeda.

Kelemahannya, pemikiran SWOT tidak mampu menjawab pemikiran kritis atas persoalan-persoalan aktual. Contoh, kasus terorisme yang mengemuka tidaklah bisa dimasukkan ke dalam wacana ancaman semata, tetapi juga bagian dari gangguan atau peluang. Suka atau tidak, sebagai kotak peluang misalnya, peristiwa terorisme telah menyadarkan sebagian orang tentang nilai ideologis, perintah agama, hingga pola komunikasi sosial yang baru.

Oleh karena itu, kita membutuhkan produksi dan reproduksi makna atas wacana yang muncul untuk kemajuan bersama. Jika fakta dan analisis tersebut dapat dipahami, kita sebetulnya hanya membutuhkan nalar yang bisa diterima dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Tidak penting disebut GBHN atau bukan, tetapi jelas kita perlu nalar ideologis yang perlu dijadikan kesepakatan baru untuk membangun bangsa ini. Jika Orde Baru ibarat bak mandi, marilah kita tidak membuang bayi di bak mandi yang buruk.

Sebagai ilustrasi, wacana GBHN masa kini sebagai upaya penemuan konvensi baru itu sekurang-kurangnya berasal dari, dan berujung padanya, sebuah keadaan nasional yang sesuai dengan ideologi bangsa. Karena itu, kita bisa saja menyebut apa saja, tetapi dalam kasus ini sebut saja dengan GBHN Pancasila.

Kembali ke Pancasila

Secara umum, rasionalitas penyusunan GBHN Pancasila sekurang-kurangnya harus memuat lima hal.

Pertama, nalar dalam GBHN Pancasila perlu didasari oleh upaya tafsir filosofis partisipatif. Idealnya adalah menafsirkan semangat zaman dalam nalar bahasa yang disepakati para elemen bangsa. Itu berarti, logika, visi, hingga semangat kebangsaan perlu digambarkan melalui kata kunci yang tepat.

Kedua, Pancasila sebagai titik tolak wacana ideologis perlu dikembangkan hingga pada tingkat praktis. Sebagai contoh, kebijakan pendidikan masa kini yang diterjemahkan dalam slogan "pendidikan karakter" tidaklah bisa dianggap sebagai kemajuan. Sebab, prinsip-prinsip karakter yang dirinci dalam 18 sifat unggul tidak selalu membawa semangat. Contoh, kreativitas sebagai hasil akhir dari proses pembelajaran hanya menyisakan sikap liberalis dan pragmatis.

Ketiga, GBHN Pancasila cukuplah dipahami sebagai hasil dari menerjemahkan visi kebangsaan ke dalam praktik kebijakan-kebijakan strategis. Hal itu dengan demikian tidak menutup adanya ruang kritis bagi publik, sebab GBHN bukanlah kitab suci yang tidak bisa diubah lagi.

Keempat, dalam wilayah operasional, GBHN Pancasila perlu menciptakan semangat yang inheren dalam setiap praktik individu ataupun perseorangan. Contoh, pelaksanaan Kurikulum 2013 yang didasarkan pada peraturan pemerintah memerlukan jawaban jelas atas pertanyaan kritis tentang kandungan semangat Pancasila di dalamnya.

Kelima, ketika bangsa ini perlu refleksi kritis, maka GBHN adalah ruang refleksi yang paling konkret dalam praktik berbangsa. Tidak bisa ditampik sebuah kenyataan bahwa kasus-kasus penyusunan produk perundangan-undangan, di pusat maupun daerah, memerlukan refleksi dari Pancasila sebagai dasar filosofis bangsa.

Dengan begitu, tidak akan didapati sebuah peraturan pemerintahan daerah yang memuat kepentingan-kepentingan ideologis lain kecuali Pancasila. Pendeknya, terbitnya perda-perda yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan ideologi radikal dapat dihindarkan.

Atas dasar nalar di atas, kiranya tak mengada-ada jika kita memerlukan kembalinya Pancasila dalam kehidupan kita. Dengan ada atau tak ada GBHN pada masa datang, kasus-kasus intoleransi, kekerasan atas nama agama, persekusi, gerakan fudamentalisme, hingga internasionalisme telah membawa bangsa ini pada nilai-nilai baru yang tidak relevan dengan pedoman bangsa sejak awal mula.