Laporan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menyebutkan, setidaknya 2,5 juta migran diselundupkan (migrant smuggling) selama 2016. Dengan jumlah migran ilegal sebanyak itu, bisnis menyelundupkan orang-orang yang hendak meninggalkan tanah kelahiran dan menetap di negara asing pada 2016 mendatangkan pemasukan 5,5 hingga 7 miliar dollar AS (Rp 79,4 hingga 101,1 triliun). Dalam laporan yang sama, disebutkan pemasukan bisnis penyelundupan migran setara dengan dana Amerika Serikat (sekitar 7 miliar dollar AS) atau Uni Eropa (lebih kurang 6 miliar dollar AS) bagi bantuan kemanusiaan 2016.

Masalah yang juga berkaitan dengan perpindahan manusia dari satu negara ke negara ialah perdagangan orang (trafficking in persons). Berbeda dengan penyelundupan migran yang merupakan bisnis membantu orang pindah ke negara lain, perdagangan manusia berkaitan dengan eksploitasi korban untuk diperas tenaganya. Perdagangan manusia bisa dikatakan sebagai bentuk perbudakan modern.

Penyelundupan migran dan perdagangan manusia tak berkurang saat kemajuan ekonomi berhasil dicapai. Bahkan, di tengah kemajuan ekonomi yang tak merata, dua problem itu terasa marak. Saat konflik di Suriah mencapai puncaknya pada 2015, migran memasuki Eropa, mencapai sekitar satu juta orang. Mereka membayar mahal untuk mendapatkan tempat di perahu. Pada saat yang sama, gelombang migran bertolak dari pantai Libya menuju Italia. Mereka umumnya berasal dari Eritrea.

Hal serupa terjadi di Asia. Ribuan warga Rohingya meninggalkan tanah kelahiran di Myanmar via darat untuk menghindari kekerasan. Sebagian mencari nasib lebih baik lewat laut menuju Australia, tetapi terdampar di lepas pantai Sumatera. Ada pula warga Rohingya mencari peruntungan menjadi pekerja di negara tetangga, tetapi justru mengalami nasib buruk, termasuk kematian. Penemuan kuburan massal di hutan Thailand dan Malaysia pada 2015 membuktikan perdagangan manusia terjadi di Asia Tenggara.

Dalam situasi inilah, hajatan Bali Process di Bali pada 6-7 Agustus lalu menemukan makna. Ajang yang dilahirkan tahun 2002 oleh Australia dan Indonesia itu kini memiliki lebih dari 48 anggota, meliputi negara dan organisasi internasional. Mereka membahas persoalan-persoalan pelik terkait dengan penyelundupan migran dan perdagangan manusia.

Pada pertemuan 6-7 Agustus, Bali Process melibatkan swasta karena disadari penyelundupan migran dan perdagangan manusia meliputi aspek sangat luas. Mau tak mau, kalangan usaha harus diajak. Mereka merupakan komponen penting dalam mata rantai produksi dan tenaga kerja. Penyelenggaraan Bali Process sangat penting karena setidaknya menjadi alat untuk terus mengingatkan dunia: praktik menjadikan manusia sebagai komoditas tak pernah surut sehingga diperlukan usaha keras dan kolaborasi luas untuk mengatasinya.


Kompas, 9 Agustus 2018