KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Komisioner Komisi Pemilihan Umum Sumatera Barat (Sumbar), Badan Pengawas Pemilu Sumbar, dan Pimpin Partai Politik tingkat provinsi Sumbar berfoto bersama usai acara silaturahmi di Padang, Rabu (14/3). Dalam acara itu, mereka juga mendeklarasikan komitmen bersama untuk melawan segala bentuk Isu SARA, Hoaks, dan Politik Uang pada Pemilihan Kepala Daerah 2018 dan Pemilihan Umum 2019 mendatang.

Kita tidak akan pernah berhenti dan bosan mengingatkan bahaya politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Peringatan itu paling tidak tecermin dalam hasil Survei Ahli 2018 oleh Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) periode April-Juli 2018. Survei itu melibatkan 145 ahli di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya (sosbud), serta pertahanan-keamanan (hankam), dan bertujuan melihat masalah yang berpotensi mengganggu Pemilu 2019 (Kompas, 8/8/2018).

Menarik mengikuti hasil penelitian LIPI itu, yang menunjukkan politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terkait dengan bidang politik, sosbud, dan hankam. Peneliti LIPI, Syarif Hidayat, menyebut, isu SARA lebih banyak dimanfaatkan oleh elite politik.

"Kalau di grass root sebenarnya tidak ada masalah dengan isu SARA. Masyarakat kita toleran dan pengertian. Yang jadi masalah kalau ini digoreng, dimanipulasi elite," kata Syarif.

Pernyataan Syarif nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat kita. Isu SARA sering kali menghangat pada saat menjelang pemilu. Yang ditakutkan adalah terjadinya konflik horizontal yang disebabkan oleh munculnya isu tersebut. Jika politisasi SARA tidak segera dihentikan, demokrasi Indonesia bisa berujung pada diskriminasi.

Kita pernah dikenalkan dengan penggolongan masyarakat oleh Clifford Geertz setelah melakukan penelitian di daerah Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Geertz membagi masyarakat Jawa dalam tiga kelompok, yaitu priayi, santri, dan abangan. Sebagai antropolog, Geertz tidak pernah membayangkan pembagian itu akan digunakan untuk kepentingan politik.

Persoalannya, elite parpol, terutama di daerah, kurang menyadari daya rusak isu SARA saat pemilihan berlangsung. Peneliti utama LIPI, Syamsuddin Haris, menegaskan, sebagian elite partai kurang menyadari bahwa luka politik dan sosial yang ditimbulkan oleh pembelahan politik berbasis SARA bukan hanya sulit disembuhkan, melainkan juga berpotensi diwariskan.

Kehancuran di Suriah dan Irak akibat apa yang menyebut dirinya sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) adalah contoh paling nyata betapa dahsyat daya rusak akibat konflik berbasis SARA. Puluhan ribu jiwa melayang percuma, jutaan warga mengungsi, dan upaya damai oleh pihak mana pun, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sampai sekarang belum berhasil.

Hasil survei LIPI itu membenarkan dugaan kita selama ini bahwa isu SARA hanya "dipakai" oleh segelintir elite. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya bahwa segregasi sosial akibat isu tersebut sulit dipulihkan.

Berkaca pada Pemilu Presiden 2014, keterbelahan itu kita rasakan. Hal itu kian kita rasakan pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2016. Sampai sekarang kita merasakan "sisa-sisa" keterbelahan itu, paling tidak seperti kita lihat di media sosial.

Menjelang Pemilu Presiden 2019 ini, kita berharap isu SARA tak lagi dimunculkan. Kita berharap ada pembelajaran dari Irak, Suriah, atau Pemilu Presiden 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Kompas, 9 Agustus 2018