Otak dan otot adalah dua hal yang tidak terpisah. Otak merupakan pusat komando tubuh. Tubuh merespons perintah menjadi tindakan. Otak bekerja atas rangsangan ide. Ide yang baik dan bermutu menghasilkan tindakan yang  memiliki makna, baik secara personal maupun kolektif. Begitu pula sebaliknya.

Jadi, idelah yang menggerakkan tindakan. Nilai  tindakan ditentukan oleh etika dan moral. Muncullah perbedaan mana yang baik dan yang buruk.

Ketika otak dipenuhi ide-ide kekerasan, tubuh bekerja untuk mewujudkan kekerasan itu dalam tindakan nyata. Kekerasan itu bisa fisik, bisa pula verbal (psikologis). Dari sini budaya otot berawal.

Estetika amuk

Budaya otot selalu berorientasi pada pemaksaan melalui tindak kekerasan. Dalam film bergenre action, budaya otot itu dengan gamblang digambarkan. "Estetika amuk" jadi filosofi penciptaan. Kekerasan dijadikan gagasan utama sekaligus motif tindakan para tokohnya.

Tubuh jadi alat ucap dalam konflik antartokoh. Kekerasan diproduksi dan direproduksi demi penyelesaian masalah sekaligus unjuk kekuasaan. Pukulan, sabetan pedang atau letusan pistol, ledakan bom, darah dan kematian jadi idiom untuk membangun peristiwa dramatik.

Bagaimana budaya otot itu terjadi dalam politik? Selama ini politik telah menjadi kepingan kebudayaan yang bercitra buram. Hal ini disebabkan ulah para pelakunya, baik oknum maupun korps, personal maupun kolektif dan kelembagaan, yang kurang mengindahkan nilai, etika, serta gagasan dan produk bermakna.

Karena lebih mengandalkan power,  politik sering terjebak pada praktik-praktik kotor demi mencapai tujuan jangka pendek. Kekerasan pun diaktualisasi dan diartikulasikan dengan penuh gairah. Akibatnya, politik justru sering bertabrakan dengan tujuan-tujuan mulia.

Misal, orang atau kelompok berpolitik untuk mendapatkan kekuasaan. Lalu, kekuasaan itu digunakan untuk menyelenggarakan peternakan korupsi, baik korupsi jabatan maupun uang.

Orang bijak bilang, korupsi bukan soal moral, melainkan kekuasaan. Orang bisa saja saleh secara personal dan berpendidikan, tetapi ketika ia berkuasa, korupsi pun dilakukan.

Kekuasaan selalu menggoda untuk berbuat apa saja. Kompleksitas kejiwaan sebagai penguasa mendorong seseorang merasa menjadi raja atau bahkan "Tuhan" yang bisa mengatur dan menentukan apa saja demi memusatkan seluruh kepentingan pada dirinya.

Sirkus kekuasaan itulah yang kini tersaji di depan masyarakat. Maka, ketika pintu perebutan kekuasaan mulai dibuka melalui Pilpres 2019, pesimisme pun tetap melumuri hati rakyat. Pesimisme itu bertaut dengan tidak kunjungnya terjadi perubahan secara mendasar yang bisa memberi rakyat ruang sekaligus oksigen untuk bernapas. Rakyat hanya disuguhi teater politik tanpa pesan dan nilai yang bermanfaat. Tanpa pencerahan.

Hal yang dominan terjadi hanyalah pementasan perseteruan politik tiap-tiap kubu politik. Rivalitas antarcapres telah menimbulkan jorjoran dukungan, baik secara fisikal, verbal, maupun nonverbal. Langit Indonesia dipenuhi berbagai ujaran, yang bisa lepas kendali karena meluapnya emosi. Budaya otot lebih menonjol daripada budaya otak.

Perseteruan dan dendam antarpendukung capres seperti tak bisa diredam. Politik kekuasaan benar-benar sukses memecah belah masyarakat menjadi blok- blok yang dilumuri rasa curiga dan kebencian. Ini kondisi yang sangat mencemaskan.

Sifat angin

Budaya otot adalah budaya primitif yang dekat dengan kehancuran dan kematian. Budaya otot harus diakhiri dan digantikan budaya otak (akal) yang mengentaskan politik dari kubangan kekerasan.

Ini bisa diawali dari perilaku para pemimpin politik. Mereka dituntut untuk pintar (kecerdasan intelektual), lantip (visi sosial) sekaligus waskita (orientasi kultural-spiritual), dengan langkah-langkah politik elegan, penuh kedalaman nilai, dan mencerahkan publik. Penuh pesan kedamaian dan kerukunan.

Budaya Jawa menganjurkan pemimpin memiliki sifat angin, yakni selalu cermat dan hati-hati dalam berkata atau berwacana. Selalu disertai argumentasi (logika, data, dan fakta) sehingga setiap pernyataan pemimpin bisa dijadikan acuan dan panutan kebaikan bagi publik.

Dibutuhkan kecerdasan dan kearifan kaum elite politik dan semua pihak untuk bisa memahami bahwa pilpres bukan perang saudara. Juga bukan perang agama. Pilpres adalah kontestasi untuk memilih pemimpin secara demokratis.

Rakyat bisa jadi partisipan politik yang baik, dengan tetap menjaga akal sehat dan keadaban. Berbagai pesan kebaikan sangat dibutuhkan demi melunakkan dan menjinakkan politik yang keras serta garang. Pesan kebaikan dan kebenaran itu bisa berupa gagasan, ekspresi estetik/non-estetik, teks verbal/nonverbal. dan lainnya.

Marilah kita kembali pada keadaban politik. Politik tidak hanya alat meraih kekuasaan. Namun, lebih mulia dari itu, ia merupakan jagat kebudayaan yang memiliki banyak kemungkinan untuk memproduksi nilai-nilai dan makna yang berpengaruh besar dalam kehidupan sosial. Para pakar politik dan filsuf menyebut politik adalah seni menciptakan kemungkinan.

Seni selalu mengacu keindahan (kepantasan, kelayakan pencapaian), orientasi nilai penciptaan (ideologi), tinggi mutu gagasan, kecakapan teknis, kreativas dan produk berkualitas. Karena nilai-nilai itulah, seni mendapat apresiasi tinggi.

Ketika seni memberi sifat pada politik, semestinya politik bekerja berdasarkan nilai, kualitas ide, etika, moral, kemampuan teknis-nonteknis (kompetensi) dan kecakapan manajerial sehingga pesan-pesan dan kepentingan bisa sampai dan dipahami sekaligus didukung publik. Di titik ini, sejatinya politik harus dipahami sebagai ilmu. Tepatnya ilmu memperjuangkan cita-cita ideologis melalui kekuasaan. Dari sinilah para pemimpin bisa membangun budaya akal budi (otak). Bukan akal-akal yang dibudidayakan.