Segera setelah memberikan "jamu pahit" berupa kenaikan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) dari 4,75 persen menjadi 5,25 persen, Bank Indonesia langsung meluncurkan "penawarnya" berupa relaksasi loan to value atau financing to value pada 29 Juni 2018. Sejauh mana relaksasi LTV itu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor properti?

Kebijakan loan to value (LTV) merupakan salah satu jurus makroprudensial Bank Indonesia (BI) dalam mengendalikan sektor properti. Rasio LTV menunjukkan perbandingan antara kemampuan bank dalam menyalurkan kredit (pembiayaan) dan kemampuan nasabah dalam memiliki rumah. Relaksasi LTV itu sangat diharapkan menjadi insentif, terutama bagi bank, pengembang, dan calon debitor.

Kebijakan yang efektif 1 Agustus 2018 itu meliputi tiga butir penting. Pertama, pembebasan LTV untuk pembelian rumah pertama untuk semua tipe rumah dengan kredit pemilikan rumah (KPR). Rasio LTV untuk rumah kedua dan seterusnya 80-90 persen, kecuali rumah tipe 21 meter persegi yang bebas LTV. Kedua, KPR secara inden dengan memperlonggar menjadi maksimal lima fasilitas kredit. Ketiga, penyesuaian aturan tahapan pencairan kredit menjadi maksimal pencairan kumulatif sampai 30 persen dari plafon setelah akad kredit ditandatangani, 50 persen dari plafon ketika fondasi selesai, 90 persen dari plafon ketika atap selesai, dan 100 persen dari plafon ketika penandatanganan serah terima dan akta jual beli (AJB).

Jauh sebelumnya, BI sudah memberi aba-aba akan melakukan relaksasi LTV menurut wilayah (spasial). Melalui LTV spasial itu, besaran LTV akan berbeda-beda bahkan berubah-ubah menurut wilayah. Sarinya, LTV di suatu wilayah bisa lebih longgar, sebaliknya LTV di wilayah lain akan lebih ketat. Namun, ternyata yang lahir LTV "biasa".

Aneka signifikansi

Sejatinya, apa saja signifikansi relaksasi LTV tersebut? Pertama, relaksasi LTV amat diharapkan dapat mendorong sektor properti agar lebih bergairah. Bagaimana kinerja sektor properti? Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia yang diterbitkan oleh BI menunjukkan bahwa kredit properti mampu tumbuh 15,12 persen dari Rp 730,19 triliun per Mei 2017 menjadi Rp 840,58 triliun per Mei 2018. Angka pertumbuhan itu mengalami kenaikan dari 13,64 persen pada bulan sebelumnya.

Pertumbuhan Rp 840,58 triliun itu terdiri atas kredit konstruksi yang meningkat 18,84 persen dari Rp 223,69 triliun menjadi Rp 265,84 triliun yang memberikan kontribusi 31,63 persen dari total kredit properti. Kredit real estat naik 11,67 persen dari Rp 129,21 triliun menjadi
Rp 144,29 triliun (17,17 persen), sedangkan KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) naik 14,09 persen dari Rp 377,30 triliun menjadi Rp 430,45 triliun pada periode yang sama. Meskipun KPR dan KPA tumbuh lebih rendah daripada kredit konstruksi, itu telah memberikan kontribusi paling tinggi 51,21 persen terhadap total kredit properti.

Angka pertumbuhan itu meliputi kelompok bank persero, bank pembangunan daerah (BPD), bank swasta nasional, bank asing dan bank campuran, serta bank perkreditan rakyat (BPR). Jangan lupa bahwa kebangkitan sektor riil mampu mendorong tidak kurang dari 170 bisnis lain untuk ikut bangkit. Katakanlah, interior, semen, pasir, besi dan baja ringan, kayu (kusen, pintu, jendela, mebel), kaca, paku, kawat, batu kali, batu bata, genteng, cat, kabel, dan listrik.

Kedua, sektor properti juga mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Itu berarti akan menekan tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 5,13 persen per Februari 2018. Sektor properti pun sanggup mengurangi tingkat kemiskinan yang menyentuh 9,82 persen per Maret 2018 turun dari 10,12 persen per September 2017 di tengah target pemerintah 9,5-10 persen pada 2018.

Ketiga, kebangkitan sektor properti secara langsung akan membangkitkan sektor konstruksi yang dapat menggeber kinerja kredit konstruksi yang kini naik 16,60 persen. Hal itu masuk akal karena sektor properti sesungguhnya juga meliputi pembangunan gedung perkantoran, pertokoan, dan gudang selain perumahan.

Keempat, lebih dari itu, sektor properti yang kian bergairah akan menggenjot kenaikan kredit impor mengingat tidak semua bahan baku industri dapat diperoleh di dalam negeri. Kredit impor merupakan kredit modal kerja yang khusus ditujukan untuk impor barang. termasuk barang modal. Intinya, bergairahnya sektor properti tidak hanya mendongkrak kredit properti, tetapi juga kredit impor sebagai bagian dari pembiayaan perdagangan (trade finance) yang sekaligus membuahkan pendapatan dari komisi (fee-based income).

Menekan potensi risiko

Kelima, selain itu, tersimpan pula minimal empat potensi risiko. Dari sisi bank, KPR tanpa uang muka itu merupakan potensi risiko karena bank tidak memiliki bantalan (buffer) sama sekali ketika mengucurkan kredit. Untuk itulah Bank Tabungan Negara (BTN) tetap menawarkan KPR dengan uang muka 1 persen.

Selain itu, bank harus selalu bertindak hati-hati (prudential banking) dalam mengucurkan KPR. Artinya, bank perlu meningkatkan penerapan manajemen risiko, terutama risiko kredit. Bank juga wajib mematuhi semua aturan perundangan- undangan dan aturan internal bank (compliance). Itu semua merupakan cara jitu untuk menekan potensi risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).

Dari sisi calon debitor, pembelian rumah perdana untuk semua tipe rumah dengan KPR yang bebas LTV (tanpa uang muka) itu merupakan kabar baik. Namun, KPR model itu akan membebani calon debitor ke depan. Mengapa? Lantaran, formula menegaskan bahwa makin rendah uang muka, makin tinggi pula angsuran bulanan. Apalagi tanpa uang muka.

Untuk itu, calon debitor suka tak suka harus mempertimbangkan potensi risiko itu. Dengan bahasa lebih lugas, calon debitor justru perlu menyediakan uang muka setinggi mungkin sehingga angsuran bulanan menjadi lebih rendah.

Masih ada potensi risiko lain. Calon debitor akan semakin terbebani ketika suku bunga KPR mengalami kenaikan segera setelah suku bunga deposito naik menyusul kenaikan suku bunga acuan. Sekalipun hal itu baru akan berlangsung sekitar tiga bulan ke depan. Dengan bahasa lebih bening, angsuran bulanan debitor terancam naik. Bukan hanya itu. Potensi risiko juga akan mencuat ketika harga rumah merangkak naik sebagai akibat kenaikan bahan baku. Bagaimana jalan keluarnya? Calon debitor sudah semestinya mengambil tenor lebih panjang, misalnya 20 tahun untuk menekan besarnya angsuran bulanan. Namun, ketika kemampuan finansial debitor semakin tinggi, debitor dapat memperpendek tenor itu menjadi 15 atau 10 tahun tanpa dipenalti.

Masalahnya, perubahan tenor itu belum lazim, tetapi tidak berarti tidak dapat dilaksanakan bank. Hal itu adalah jurus terobosan (breakthrough) dalam mengatasi kelemahan daya beli masyarakat, terutama level menengah ke bawah.

Keenam, repotnya, pada umumnya bank dengan sigap akan menaikkan suku bunga KPR tatkala suku bunga acuan mendaki naik. Ujungnya, angsuran bulanan akan naik. Sebaliknya, ketika suku bunga acuan turun, bank tak segera menurunkan suku bunga KPR yang tengah berlangsung. Terkait dengan itu, debitor biasanya diam saja. Padahal, debitor dapat segera menyampaikan permintaan penurunan suku bunga KPR kepada kantor pusat bank sejauh KPR itu bersuku bunga mengambang (floating rate). Tegasnya, suku bunga akan berubah sejalan perubahan (naik atau turun) suku bunga acuan.

Ketujuh, KPR tanpa uang muka itu merupakan potensi risiko pula bagi bank. Karena itu, dari awal BI sudah menegaskan bahwa hanya bank yang memiliki NPL KPR di bawah ambang batas 5 persen yang dapat menyalurkan KPR tanpa uang muka. Dengan aneka potensi risiko, baik bagi calon debitor maupun bank, apakah relaksasi LTV dapat mendorong pertumbuhan sektor properti sesuai harapan BI? Harapan itu dapat tercapai terlebih ketika dilengkapi aneka langkah strategis berikut.

Langkah strategis

Kedelapan, ada beberapa langkah strategis bagi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor properti. Katakanlah, 10 bank besar, terutama empat bank pemerintah, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan BTN, dapat membuat program KPR dengan suku bunga tetap (fixed rates). Hal itu akan menghapus potensi risiko kenaikan angsuran bulanan sebagai akibat kenaikan suku bunga KPR dalam jangka menengah-panjang.

BTN telah memeloporinya dengan KPR mikro yang menawarkan uang muka 1 persen untuk pembelian rumah pertama, sedangkan untuk renovasi rumah atau pembangunan rumah dengan uang muka minimal 10 persen. Kredit maksimal Rp 75 juta dengan suku bunga kredit tetap 7,99 persen dengan tenor 10 tahun. KPR mikro itu menyasar masyarakat berpenghasilan rendah yang diperkirakan 6,5 juta orang dengan pendapatan rata-rata Rp 1,8 juta hingga Rp 2,8 juta per bulan.

Kesembilan, Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) memiliki daya dorong tinggi pada sektor properti. Untuk itu, pemerintah perlu segera mengoperasikan Tapera yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016. Tapera itu bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau.

Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Peserta Tapera meliputi tidak hanya pekerja formal, tetapi juga pekerja informal atau pekerja mandiri (Paul Sutaryono, Kompas, 14/7/2017).

Nah, tatkala Tapera telah berjalan efektif, sektor properti bakal menjadi pilar perkasa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Alhasil, kekurangan pasokan perumahan (backlog) 11,3 juta unit per Desember 2017 pun akan jauh menipis.