Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 09 Agustus 2018

Belajar dari Buaya//Borobudur dan Zaman ”Now” (Surat Pembaca Kompas)


Belajar dari Buaya

Dalam sebulan terakhir, publik dihebohkan dengan berita pembantaian buaya oleh warga. Reptil predator berjumlah 292 ekor itu dibunuh secara membabi buta. Pemerintah perlu menyikapi masalah tersebut.

Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan kisah seorang wanita yang ditelan hidup-hidup oleh seekor ular piton. Kini kembali kita dipilukan dengan kisah seorang warga dimangsa buaya berujung pembantaian.

Sepertinya hubungan manusia dan alam sudah benar- benar kritis. Harmonisasi hanya berlaku bagi nenek moyang kita zaman dulu. Kita mengutuk bencana alam, tetapi berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Hewan-hewan telah kehilangan rumah nyamannya di alam liar karena eksploitasi hutan.

Segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan alam, mulai dari reboisasi hingga penangkaran. Namun, kepentingan pribadi sangat kental berada di belakang itu semua. Tengok saja penanaman pohon kecil yang tidak dirawat setelahnya atau penanaman pohon plastik.

Pohon-pohon, yang sejatinya tumbuh di hutan, dibawa ke kota. Hewan-hewan, yang mestinya bebas, dibawa ke penangkaran. Tentu saja penangkaran itu berizin dan berkekuatan hukum. Masalahnya, penangkaran itu untuk kepentingan pribadi berkedok konservasi. Mereka diperjualbelikan demi mendapat untung. Di alam liar, mereka diburu tanpa ampun.

Seorang warga yang tewas dimangsa buaya bermain terlalu dekat dengannya. Ya, itu salahnya sendiri. Penangkaran buaya di dekat permukiman warga. Ya, itu juga salah. Perkara ini seolah-olah mempertontonkan dilema kedua belah pihak. Di satu sisi kecerobohan manusia adalah pemicu konflik, sementara di sisi lainnya—penangkaran itu—mengantongi izin dari otoritas terkait.

Kita dapat belajar berhati-hati terhadap predator. Aparat perlu mengusut provokator dan memberi efek jera. Kementerian atau dinas terkait perlu belajar dari kejadian ini dalam pemberian izin penangkaran. Dalam memberi izin, otoritas terkait kiranya bisa lebih ketat agar pembantaian buaya ini tidak terulang di kemudian hari pada hewan-hewan lain. Publik juga tak lagi melihat lakon ketidakharmonisan manusia dengan alam.

Andi Suryadi
Jl Singa Sakan, Lahei, Barito Utara,
Kalimantan Tengah

Borobudur dan Zaman "Now"

Setelah puluhan tahun tidak mengunjungi Candi Borobudur, belum lama ini saya berada di sana. Rasa kagum segera saja muncul. Betapa agung, besar, dan tinggi budaya nenek moyang kita. Tinggi mutu seni pahatnya, arsitekturnya, teknologinya.

Tidak hanya itu, Candi Borobudur juga meneguhkan kepada kita bahwa sejak nenek moyang kita, keragaman itu telah ada. Candi Borobudur bersama candi lain, seperti Candi Prambanan, mewakili agama Buddha dan Hindu sungguh tak terbantahkan.

Di zaman sekarang masih saja kita tertinggal di bidang teknologi dari bangsa lain. Celakanya, sekarang ini kita pinjam teknologi—teknologi informasi—dari bangsa lain. Di samping kita gunakan untuk hal bermanfaat, ternyata kita juga terjebak dalam kekacauan informasi melalui media sosial.

Harian Kompas (8/7/2018) memuat tentang online disinhibition effect: orang merasa tak lagi dibatasi oleh apa pun— karena memang tidak terlihat. Tiba-tiba semua orang bisa menjadi produsen hoaks, hate speech, fitnah. Ini sejalan dengan apa yang disebut era pasca-kebenaran. Kita semua gagap menghadapi teknologi ini. Akibatnya, timbul kekhawatiran terjadi perpecahan bangsa.

Sementara itu, keragaman yang telah ada sejak nenek moyang tiba-tiba digugat paham keagamaan yang ekstrem. Sungguh, membandingkan prestasi bangsa kita di zaman Borobudur amatlah berbeda dengan zaman now. Ironis?

Bharoto
Jl Kelud Timur, Petompon,

Gajah Mungkur, Semarang

Kompas, 9 Agustus 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger