KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Alat berat dipergunakan oleh Basarnas, Senin (6/8/2018), untuk megevakuasi korban di Masjid Jabal Nur, Desa Lading-Lading, Tanjung, Lombok Utara, NTB, yang ambles saat terjdi gempa sehari sebelumnya. Sejumlah jamaah masjid tersebut terjebak saat menjalankan Sholat Isya berjamaah.

Walau biasanya gempa utama diikuti gempa susulan dengan kekuatan makin kecil, kali ini di Lombok gempa lebih besar malah mengguncang kemudian.

Hanya berselang tujuh hari dari gempa awal berkekuatan M 6,4, gempa kembali mengguncang dengan kekuatan M 7,0 pada Minggu (5/8/2018) petang. Padahal, sampai Sabtu puluhan gempa susulan dari gempa pertama masih terjadi.

Hal ini tentu saja mengagetkan, mengingat selama ini yang dipahami adalah kekuatan gempa susulan akan semakin kecil. Bisa jadi gempa terakhir adalah gempa utama dengan gempa-gempa sebelumnya sebagai pembuka. Bisa juga ini merupakan pola baru kegempaan yang memerlukan penelitian dan survei mendalam, diikuti dengan mitigasi yang menyeluruh.

Yang jelas, Lombok memang daerah rawan gempa karena dikepung dua sumber gempa. Di selatan ada Lempeng Indo-Australia yang memicu gempa subduksi dan di utara ada struktur geologi Sesar Naik Belakang Busur Flores. Sesar naik memanjang dari Laut Bali hingga Laut Flores sehingga Bali, Lombok, Sumbawa, dan Flores rawan gempa.

Lombok paling rentan karena selain ada lempeng dan sesar naik, di Lombok, juga banyak sesar lokal. Jika dipetakan, titik-titik episentrum menyebar di seluruh pulau. Kondisi tersebut masih ditambah dengan jenis tanah lunak—terutama di wilayah utara dan timur Lombok—berupa pasir dan aluvium (Daryono dalam "Lombok Rawan Gempa", Kompas, 1/8/2018). Karakteristik tanah macam ini meresonansi gelombang gempa sehingga guncangan gempa berkekuatan rendah pun menjadi besar.

Kita turut prihatin dan menyampaikan dukacita mendalam atas gempa Lombok yang terjadi berturutan, apalagi korban masih terus berjatuhan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menginformasikan gempa terakhir menyebabkan 98 korban meninggal dan 236 korban luka-luka.

Ilmu pengetahuan memang belum bisa memprediksi kapan dan di mana gempa akan berlangsung. Namun, kita bisa mengupayakan minimalisasi dampaknya. Pertama, edukasi perlu diberikan kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi gempa dan tsunami sebagai ikutannya. Pengetahuan tentang gempa wajib diajarkan di sekolah dan simulasi kondisi kedaruratan rutin dilakukan.

Mengingat Lombok merupakan daerah tujuan wisata, maka edukasi perihal gempa, upaya menyelamatkan diri, dan titik-titik evakuasi wajib disampaikan kepada setiap wisatawan. Kalau perlu, setiap resepsionis hotel menginformasikan prosedur keselamatan kepada tamu yang akan menginap.

Di sisi lain, standar bangunan tahan gempa menjadi keharusan. Kita tahu, bukan gempa yang menyebabkan korban meninggal atau luka-luka, melainkan bangunan yang runtuh. Standar bisa mulai diterapkan saat korban yang mendapat bantuan Rp 50 juta per rumah dari pemerintah membangun kembali rumahnya.

Mitigasi bencana harus dilakukan di seluruh Nusantara, mengingat Indonesia menjadi tempat pertemuan lempeng, dikelilingi gunung berapi, dan memiliki banyak sesar: pemicu bencana vulkanik dan tektonik. Kita harus belajar dari Lombok.


Kompas, 7 Agustus 2018