Penting untuk mencatat lawatan Menteri Luar Negeri AS Michael R Pompeo di tiga negara Asia, yakni Malaysia, Singapura, dan Indonesia, 1-5 Agustus 2018.

Lawatan menteri luar negeri negara adidaya masuk akal berdimensi global, regional, dan juga bilateral.

Seperti kita baca beritanya di harian ini hari Minggu (5/8/2018), dalam pertemuan dengan Menlu RI Retno LP Marsudi, Indonesia mengingatkan AS soal dampak perang dagang AS-China, yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Dalam hal ini Indonesia berusaha agar tidak terdampak oleh perang dagang kedua raksasa ekonomi dunia tersebut.

Sebagaimana dimuat dalam laman Kementerian Luar Negeri AS, agenda Menlu AS kali ini memang mengandung sisi-sisi serupa di ketiga negara yang ia kunjungi, tetapi juga ada keunikan pada setiap negara. Di Kuala Lumpur, misalnya, AS bermaksud memperkuat Kemitraan Komprehensif dan memajukan kepentingan bersama di bidang keamanan dan ekonomi, menyusul transisi pemerintahan di Malaysia.

Sementara di Singapura, selain mendukung kepemimpinan negara tetangga ini di ASEAN, Pompeo juga ikut hadir dalam berbagai forum, seperti Forum Regional ASEAN, di mana AS berkesempatan untuk memaparkan visinya tentang kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Termasuk kepentingan AS yang dipaparkan adalah komitmen untuk melihat denuklirisasi yang penuh dan terverifikasi di Korea Utara, serta penegakan ketertiban berdasarkan hukum di Laut China Selatan.

Seperti dikutip Financial Times (3/8), selain ingin mengokohkan pengaruh di kawasan, AS juga ingin menangkal dorongan investasi infrastruktur besar-besaran oleh China. Namun, jika Inisiatif Jalan dan Sabuk China bernilai hampir 1 triliun dollar AS, komitmen AS hanya 113 juta dollar AS untuk sektor infrastruktur dan energi serta inisiatif digital di kawasan ini.

PM Malaysia Mahathir Mohamad setelah memenangi pemilu Mei lalu diketahui segera mencoba mengoreksi kebijakan perekonomian negaranya, antara lain dengan menangguhkan proyek-proyek yang bernilai lebih dari 20 miliar dollar AS yang diprakarsai mantan PM Najib Razak.

Kebijakan PM Mahathir yang bersemangat menahan pengaruh China ini tentu selaras dengan visi AS. Apalagi, selain menahan investasi, Mahathir juga bersikap lebih tegas menyangkut klaim teritorial China atas Laut China Selatan.

Dalam kaitan ini, masuk akal jika kita juga perlu mencermati perkembangan lain yang bernuansa mencegah meluasnya pengaruh China, misalnya dengan diperkuatnya kerja sama antara AS dan Jepang, India, serta Australia.