KOMPAS/ALIF ICHWAN

Menata Ruang Pendaftaran – Petugas dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menata ruang pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu Tahun 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Minggu (5/8/18). KPU resmi membuka pendaftaran bakal pasangan capres dan cawapres tersebut mulai tanggal 4 – 10 Agustus 2018.

 

Tahapan pemilu serentak memasuki tahap penting, yakni pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden pada 4-10 Agustus 2019.

Hingga lima hari menjelang pendaftaran capres, situasi politik masih sangat dinamis. Partai Amanat Nasional (PAN) belum menentukan sikap politiknya karena masih harus menunggu rakernas, Senin dan Selasa ini. Perubahan dan kejutan politik bisa saja terjadi karena belum ditemukannya soal kompromi calon wakil presiden.

Presiden Joko Widodo belum menemukan sosok yang akan mendampinginya untuk melanjutkan pemerintahannya hingga 2019-2024. Sosok Wapres Jusuf Kalla masih diharapkan, tetapi masih terkendala dengan putusan Mahkamah Konstitusi soal boleh tidaknya wapres menjabat lebih dari dua kali masa jabatan. Adapun kubu Prabowo Subianto masih juga belum menemukan sosok calon wapres yang bisa diterima partai koalisi pendukungnya. Sementara gugatan soal pembatalan ambang batas pencalonan presiden 20 persen masih belum diputuskan Mahkamah Konstitusi.

Kita meyakini drama politik itu akan selesai sendiri oleh batas waktu. Setelah 10 Agustus 2018 pukul 24.00, kita akan mengetahui siapa capres dan cawapres yang akan berkontestasi dalam pemilu serentak 17 April 2019. Apakah kejutan akan muncul? Dalam batas akhir, semua pihak harus siap dalam persyaratan pengajuan diri sebagai capres atau cawapres.

Dalam masa-masa akhir inilah kita mendapati tensi politik, minimal dalam pernyataan verbal, terasa meningkat. Saling klaim dan saling mengatasnamakan kelompok terjadi di kedua kubu. Padahal, prinsip demokrasi adalah one person, one vote (satu orang, satu suara). Klaim-klaim mengatasnamakan kelompok organisasi hanya akan mengakibatkan polarisasi di masyarakat.

Tren terjadinya polarisasi di masyarakat kian dipertajam dengan pernyataan provokatif dan membakar dari elite politik. Dalam iklim kontestasi politik seperti sekarang ini, pernyataan sering dipenggal dan dilepaskan dari konteksnya, kemudian disebarkan di media sosial, untuk dijadikan umpan kecaman. Media sosial kian mempertajam pernyataan provokatif dari elite politik dan mengakibatkan kian menghangatnya suhu politik. Bijak dalam berkata-kata adalah pilihan tepat.

Sangat masuk akal ketika Ketua KPU Arief Budiman mengimbau agar partai politik tidak menggunakan narasi atau simbol bernada provokatif saat pendaftaran calon presiden. Semua pihak perlu mengendalikan diri. Publik juga harus mengetahui bahwa "panggung depan" dan "panggung belakang" politik adalah dua hal berbeda.