KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG

Acara diskusi 'The Power of Emak-Emak' di Jakarta, Minggu (22/7/2018).

Masyarakat dalam beberapa hari terakhir disuguhi informasi mengenai peran perempuan di lingkup publik, tepatnya pada arena politik di Indonesia, yakni dengan ungkapan "Politik 'Emak-emak'" dan munculnya sosok perempuan "emak-emak" yang berbicara politik di tengah masyarakat.

Politik dapat diartikan sebagai proses pembagian ruang partisipasi dalam masyarakat agar dapat bersama-sama membuat keputusan bagi negara. Sejarah menunjukkan, baik di Indonesia maupun di belahan dunia yang lain, warga negara—perempuan atau laki-laki—berhak menyatakan pendapat, memperjuangkan kondisi yang lebih baik secara publik. Itulah sebabnya, dalam kehidupan bernegara, setiap warga dijamin kebebasan sipil dan hak-hak politiknya melalui lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, sebagai wahana mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik.

Dampak "emak-emak" berbicara politik

Lebih kurang dua dekade yang lalu, Indonesia juga mencatat adanya perjuangan yang dimotori oleh kaum ibu, yaitu Suara Ibu Peduli (SIP). Ibu atau "emak" adalah dua kata yang mengandung arti yang sama, yakni panggilan bagi perempuan—bisa oleh anaknya maupun pihak lain—untuk lebih menaruh hormat kepada perempuan tersebut.

Perjuangan SIP awalnya merupakan gerakan yang dimotori oleh beberapa "emak" yang prihatin terhadap melambungnya harga susu formula sehingga dapat mengancam kondisi gizi para anak. Para "emak" ini pada esensinya mempertanyakan nasib "anak-anak" mereka yang hidupnya dirampas oleh kekejaman ekonomi manakala orangtuanya tidak mampu lagi membeli makanan bergizi.

Akan tetapi, hak para "emak" dalam menyatakan pandangannya ini dihentikan oleh rezim yang berkuasa kala itu. Para "emak" ditangkap lalu diadili karena dianggap telah mencederai kelancaran jalannya pemerintahan. Namun, SIP justru berkembang menjadi gerakan yang diikuti bukan saja oleh para perempuan, melainkan juga diikuti oleh laki-laki yang sama-sama prihatin terhadap kondisi Indonesia saat itu.

Kaum "emak" adalah pihak  pertama yang merasakan dampak buruk tidak berjalannya pelayanan publik dan buruknya situasi ekonomi yang berakibat pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok keluarganya. Dan, sebagaimana yang dipercaya para pejuang hak-hak perempuan, "personal is political". Artinya, untuk mencapai keadilan sosial, kita perlu mengakui permasalahan yang terjadi di lingkup pribadi dan menegosiasikannya di ruang publik agar dapat teratasi.

Itulah sebabnya hal-hal pribadi merupakan hal politik. Segala yang berkaitan dengan kesejahteraan perempuan maupun keluarganya—baik tentang kesehatan, pendidikan, ekonomi, juga rasa aman di dalam maupun di luar rumah—akan selalu menjadi bahan pembicaraan perempuan untuk dinegosiasikan dengan para pengambil keputusan.

Kaum "emak" yang maju mencalonkan diri menjadi anggota legislatif sepatutnya memiliki kepedulian tentang hal ini. Kaum "emak" yang sudah menjadi anggota legislatif seyogianya punya kebijakan yang dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi. Saatnya kita bersinergi untuk merawat kehidupan. Oleh karena itu, "emak-emak" mulai berbicara politik.

Berpolitik untuk kesejahteraan warga negara

Banyak permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak di Indonesia. Dua di antaranya adalah tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2015, yakni 305 per 100.000 kelahiran hidup. Data ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan AKI tertinggi kedua di Asia Tenggara (ASEAN MDGs, 2017). Selain itu, hampir 9 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia mengalami situasi anak balita pendek akibat gizi buruk (Riskesdas, 2013).

Anggaran belanja dalam APBN 2018 adalah Rp 2.220,66 triliun. Seharusnya, dengan dana tersebut, alokasi anggaran untuk perempuan di Indonesia bisa proporsional. Kenyataannya, alokasi anggaran pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak hanya Rp 553,8 miliar atau 0,249 persen dari keseluruhan anggaran belanja dalam APBN 2018.

Hal ini dapat menghambat perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan anak dalam memperoleh rasa aman dan nyaman; saat menjalankan peran dan fungsi sosial serta profesionalnya;  menikmati layanan publik yang murah dan tidak diskriminatif berdasarkan jenis kelamin, umur, dan keadaan fisiknya, siang maupun malam; ketersediaan wahana lingkungan yang sehat bagi tumbuh kembang anak di mana pun mereka tinggal, bebas dari kekerasan dan pelecehan dengan tersedianya layanan perlindungan rumah aman terpadu; serta mendapatkan layanan prima sebagai warga negara dan terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Kenyataan jumlah anggaran bagi perlindungan perempuan dan kesejahteraan anak yang kurang dari setengah persen ini akan terus mendorong para "emak"  berbicara politik. Kondisi ini juga yang memunculkan dinamika baru dalam partisipasi politik di Indonesia. "Emak-emak" bicara politik menegosiasi ruang pengambilan keputusan untuk mencapai kesejahteraan warga negara.