Mungkin ini terkait dengan bangkitnya wajah lama dalam politik dan kegenitan lain yang berbalut identitas agama. Ada cawapres yang tak pernah hidup di pesantren sontak dinobatkan sebagai santri "post-Islamis". Ada lagi capres yang nyaris tak terdengar mengutip ayat kini mulai fasih berbahasa kitab suci. Ada lagi ide berdebat dalam bahasa Inggris yang ditanggapi dengan usulan debat dalam bahasa Arab atau lomba baca kitab suci Al Quran.

Demokrasi selalu beradaptasi dengan konteks. Maka, kedua usulan ini jelas lelucon yang tidak kontekstual. Tapi, urusan kita melampaui menang-kalah. Skenario strategis perlu dirancang untuk mengantisipasi Indonesia sesudah 2019. Ada dua preseden yang dipertimbangkan: (a) politisi pecundang mendagangkan agama dan (b) kelompok radikal berambisi mendirikan negara berbasis kitab suci. Yang dirisaukan bukan jumlah statistik, melainkan kekuatan mereka dalam memengaruhi pergeseran fondasi dan kiblat bangsa ke depan.

Istilah "radikal" di sini kita gunakan untuk menamai kelompok yang ingin menggantikan dasar negara dengan menghalalkan segala jalan, termasuk kekerasan.

Penetrasi sosial model sindikat narkoba digunakan kaum radikal untuk menciptakan ketergantungan semu pada prinsip radikal dalam menghadapi realitas hidup yang pelik.

Sementara itu, kaum heroik literal, barangkali termasuk kita, acap kali meneriakkan slogan "NKRI harga mati". Mudah dihayati begitu melihat bendera separatis berkibar atau pasukan tetangga menyentuh perbatasan. Apa makna slogan itu ketika kaum radikal menyusupi birokrasi, BUMN, atau kantor pemerintahan? Di mana kita ketika barisan radikal memasuki kompleks sekolah dan mendikte kebenaran di kepala anak-anak kita atau menyulap "obrolan tetangga" menjadi dakwah radikal?

Sejarah membaca masa depan

Radikalisme keagamaan tidak mempunyai akar dalam sejarah Indonesia meskipun politik agama bagian dari sejarah demokrasi kita. Pada dekade 1940-an, wacana agama muncul dalam naskah Piagam Jakarta, Jakarta Charter, yang dirumuskan dan ditandatangani Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Ada dua isu besar di dalamnya: (a) Sila "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat bagi pemeluk-pemeluknya" dan (b) ketentuan presiden beragama Islam. Isu lain tapi tidak fundamental itu soal pemakaian kata mukadimah. Pada 18 Agustus 1945, Piagam diubah dan berlaku sampai hari ini. Keputusan itu berangkat dari konstruktivisme berpikir para pendiri yang memaknai kemerdekaan sebagai hak seluruh suku, agama, ras, dan golongan.

Dalam Sidang Majelis Konstituante (1956-1959), perbedaan pandangan muncul lagi. Mohammad Natsir dengan lantang menegaskan Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Sikap tegas itu dihadang militansi kelompok nasionalis-sekuler (istilah Feith, 1995) yang keras menolak ide syariat.

Maka, 5 Juli 1959, Presiden Soekarno muncul di muka sidang dengan Res Publica, lalu menegaskan kembali kepada UUD 1945 yang asli. Polemik pun berakhir—setidaknya di permukaan.

Proses itu bagian dari polemik kebangsaan masa itu dan semua pihak berpikir dalam bingkai keindonesiaan. Hari ini, polemik itu disusupi agenda transnasional yang tiba belakangan.

Bahkan ada tendensi ingin menjadikan Indonesia "teodemokrasi" seperti konsep Al-Maududi (1978) di Timur Tengah. Kelompok ini memboncengi sejarah perjuangan Islam politik di Indonesia.

Memasuki 1960-an, politik didominasi ketegangan hubungan militer (AD), Soekarno, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai segitiga kekuasaan yang menonjol masa itu (Feith, 1995). Pada 1970-an, di tangan Soeharto, ketegangan menjadi pembungkaman. Fusi parpol tahun 1973 merupakan perkawinan paksa yang diperburuk kehadiran Golkar sebagai kelompok kepentingan (interest group) yang bertindak sebagai partai tanpa tunduk pada UU Parpol.

Hubungan negara-agama kian suram ketika negara di era Soeharto tampil bagai leviathan pada dasawarsa 1980-an dalam sejumlah tragedi, seperti Tanjung Priok, 1984. Pada masa ini pula bermunculan aktivis Islam yang berdakwah di kampus-kampus melawan arogansi Orde Baru. Menjelang 1998, mereka ikut memperjuangkan reformasi. Hizbut Tahir masuk Indonesia tahun 1983. Mereka membawa gagasan khilafah.

Namun, perjuangan aktivis Islam berbeda dengan HTI yang cenderung eksklusif dan enggan berpartai.

Politisi agama

Meski demikian, politisi agama bersikukuh mengusung kandidat religius. Maka, ketika PDI Perjuangan memenangi Pemilu 1999, politisi partai agama muncul dengan ayat kitab suci menentang perempuan sebagai pemimpin. Megawati dibendung sekaligus dua kekuatan besar: politisi agama dan bekas militer Soeharto yang berambisi jadi presiden.

Konsensus pun berujung pada penetapan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Gus Dur dengan tradisi NU membawa pencerahan di peralihan milenium.

Sepanjang 1999-2001, agama tampak sebagai kekuatan yang menyatukan umat dan sumber nilai untuk kemaslahatan umum. Sayangnya, umur kekuasaan tak panjang. Amien Rais salah satu tokoh penting di balik jatuhnya Gus Dur tahun 2001.

Megawati melanjutkan pemerintahan. Anehnya, doktrin agama tak lagi dibunyikan saat itu. Hamzah Haz yang keras menentang pemimpin perempuan di tahun 1999 bahkan menjadi wakil presiden di 2001. Di tangan Megawati, demokrasi dibangun dengan tradisi nasionalis dan mengalami kemajuan melalui mekanisme pemilihan secara langsung—meski karena itu pula ia kehilangan jabatannya. Transisi kekuasaan 2004 menjadi titik kemajuan demokrasi sekaligus kebangkitan kaum radikal. Mimpi khilafah dihidupkan HTI dan sempalannya.

Selama sepuluh tahun, administrasi Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) gagal mencegah pertumbuhan kaum radikal, kalau tidak dibilang memelihara! Imbasnya kelihatan pada lustrum politik berikutnya. Pemilu 2014 membalikkan kurva sejarah.

Menangnya PDI Perjuangan, terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden, dan munculnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta adalah tiga fakta yang meresahkan tiga kelompok: (a) kaum puritan yang bermimpi mendirikan khilafah, (b) politisi agama yang resah dengan peluang elektoral di pemilu berikutnya, (c) dan kelompok bisnis yang nihil nasionalisme—yang umumnya dikendalikan para kartel politik.

Saat Pilkada DKI 2017, tiga kubu ini bersatu. Perjumpaan pertama dalam sejarah yang langsung efektif. Ahok dijadikan kuda troya menggoyang rezim Jokowi dan status quo kaum nasionalis. Politik identitas terbukti ampuh menyatukan semangat akar rumput yang polos dengan ambisi pragmatis elite pecundang. Fenomena ini pun berkembang sebagai arus baru demokrasi elektoral.

Perang posisi?

Pemilu 2019 ada dalam konteks ini. Kantong-kantong radikal terus berkembang dengan memanfaatkan momentum pilkada dan pemilu. Proyeksi mereka pada lustrum selanjutnya. Maka, Pemilu 2019 adalah perang posisi antara kaum radikal dan kaum nasional. Sebagai catatan kaki, saat yang sama, kartel politik berdiri di antara keduanya dan menjadi pemenang sesungguhnya di ujung proses.

Hari ini politik identitas berpadu dengan isu ekonomi. Kantong-kantong aktivis mahasiswa digerakkan untuk menyerang dengan isu rupiah, sementara sel-sel radikal bergerak dalam senyap di akar rumput. Di aras elite, para kartel sibuk bermain dua kaki. Lantas siapa yang akan memenangi pemilihan presiden? Tidak penting untuk dijawab, karena yang urgen adalah bagaimana menjaga ketahanan ideologi negara dan keamanan masyarakat.

"Rakyat tahu memilih yang benar," kata Presiden Jokowi dalam cuitannya di media sosial. Keyakinan ini mengasumsikan politik kita waras. Faktanya, parokialisme diperalat dengan permainan uang dan politik identitas. Para bandar tidak peduli benar-salah, yang penting menang. Padahal, "menghalalkan segala cara" yang dimaksud Machiavelli (1469-1527) dalam konteks menyelamatkan negara, bukan merusaknya.

Menyelamatkan masa depan Indonesia harus dimulai saat ini dan di sini, hic et nunc!  Pertama, memperkuat masyarakat sipil dengan kesadaran nasionalis dan keagamaan inklusif untuk menangkal pengaruh kampanye radikal. Perangkat politik, otoritas agama, dan budaya mesti bekerja sinergis dalam memberdayakan masyarakat. Negara harus memberi perhatian khusus dalam bentuk proyek pembangunan sosial yang melibatkan tokoh agama dan budaya.

Kedua, kartelisasi politik harus dikendalikan oleh manajemen internal partai dan kontrol publik atas proses elektoral melalui media massa dan lembaga swadaya. Sebab, kelompok radikal tidak hidup dalam ruang hampa. Mereka berkelindan dengan elite partai, termasuk kartel politik.