Masyarakat mengekspresikan polarisasi dukungan itu melalui ujaran kebencian di media sosial (43,6 persen). Selain itu, hubungan pertemanan/keluarga menurun, intoleransi meningkat. Mengedepannya fanatisme ketimbang daya kritis adalah efek buruk lainnya. Situasi itu tidak berbeda pasca Pilpres 2014. Jajak pendapat LSI-IFES (Oktober 2014) menunjukkan gejala dekonsolidasi politik warga.

Kapasitas rekonsiliasi

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah mengantisipasi situasi segregatif itu dengan memetakan potensi kegentingan melalui penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). Instrumen paling mutakhir dikembangkan menjelang pilkada serentak 2018. Selain berpatokan pada pengukuran kinerja profesional penyelenggara pemilu, Bawaslu mengukur dimensi kontestasi dan partisipasi dengan bobot yang berbeda.

Dimensi penyelenggara pemilu menilai integritas dan profesionalitas penyelenggara dalam mewujudkan pemilu yang berlangsung jujur, adil, dan demokratis. Dimensi kontestasi mengukur keadilan dan kesetaraan proses kompetisi di antara para kontestan pemilu. Sementara dimensi partisipasi menilai pemberian jaminan hak politik masyarakat dan penyediaan ruang partisipasi (mengawasi dan memengaruhi) proses pemilu.

Salah satu kelemahan IKP adalah hanya menggambarkan akseptabilitas warga terhadap metode demokrasi di permukaan. IKP belum sejalan dengan kinerja demokrasi yang lebih substansial. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan antara IKP dan capaian Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).

Bawaslu merilis IKP 17 provinsi menjelang pilkada serentak 2018. Daerah dengan IKP tertinggi adalah Papua (3,41) yang masuk kategori kerawanan tinggi. Dua provinsi lain, Maluku (3,25) dan Kalimantan Barat (3,04), masuk kategori yang sama.

Adapun tiga daerah dengan skor IKP terendah, yaitu Lampung (2,28), Bali (2,19), dan Jawa Tengah (2,15), masuk kategori kerawanan sedang.

Angka-angka itu ternyata tidak sejalan dengan capaian IDI di setiap provinsi (2016). Skor IKP tinggi di Papua sejalan dengan rendahnya IDI (61,02) yang terkategori sedang mendekati buruk. Namun, tidak demikian jika dikomparasikan dengan Maluku dan Kalimantan Barat (Kalbar). IKP tinggi di Maluku dan Kalbar tidak sejalan dengan IDI yang terkategori sedang, mendekati baik (masing-masing mencapai IDI 78,2 dan 75,28 poin indeks).

Situasi paradoksal juga ditemukan di Lampung, Bali, dan Jateng. IKP terbilang mendekati rendah di Lampung (2,28) ternyata tak setara dengan capaian IDI (61) yang rendah, bahkan lebih kecil dari Papua. Sebaliknya, IKP Bali yang terkategori sedang mendekati rendah (2,19) sejalan dengan tingginya IDI (78,95). Situasi kontras kembali ditunjukkan oleh kerawanan sedang mendekati rendah di Jateng (2,15), tetapi memiliki capaian IDI jauh lebih rendah dari Bali (66,71).

Kondisi ambivalen lain bisa ditunjukkan dengan membandingkan antara IKP dan Indeks Kebahagiaan (IK). IK mengukur tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial, termasuk kepuasan terhadap keamanan dan hubungan sosial. Faktanya, IKP terhitung tinggi di Maluku tidak sejalan dengan capaian kebahagiaan warganya (73,77 poin indeks) pada 2017. Begitu pula IKP 2017 paling rendah di Jateng, capaian IK-nya justru lebih rendah dari Maluku (70,92).

Perbandingan IKP dan IDI memberikan pelajaran penting bagi perbaikan pengukuran keterbelahan politik warga dalam menghadapi proses pemilu. Salah satu caranya dengan melihat kesesuaian capaian IKP dan IDI. Dalam laporan IKP Pilkada 2018, Bawaslu menempatkan hasil penilaian Jaw a Timur pada posisi paling tengah (ke-9) dengan IKP 2,68. Skor agregat tersebut sejalan dengan capaian IDI terkategori sedang (72,24).

Faktor budaya lokal

Guna menjelaskan perbedaan tersebut, kita bisa merujuk pada studi yang dilakukan R Siti Zuhro, dkk (2011) tentang Model Demokrasi Lokal di Indonesia. Salah satunya dengan menilai kompatibilitas antara nilai-nilai budaya lokal dan demokrasi.

Studi ini menemukan bahwa budaya lokal Jatim mendukung demokratisasi. Warganya mempraktikkan perilaku egaliter, terbuka, relatif tidak hierarkis, ekspresif, toleran, partisipatif, menaati hukum, dan menghormati HAM.

Kecocokan nilai budaya lokal yang cenderung menerima kompetisi (pemilu) dan konsisten mengakui hasilnya merupakan catatan penting dalam mengukur kerawanan pemilu. Dengan kata lain, kompatibilitas antara nilai-nilai budaya lokal dan demokrasi mendorong kapasitas rekonsiliasi.

Kesediaan warga menerima hasil pemilu dengan terbuka, toleran, dan taat aturan merupakan manifestasi kapasitas rekonsiliasi.

IKP sebaiknya tak hanya mengukur secara artifisial dimensi kontestasi dan partisipasi. Lebih substansial lagi, mengukur kecocokan budaya lokal atas praktik kontestasi dan memaknai partisipasi lebih utuh, termasuk kapasitas rekonsiliasi pasca-pemilu. Maka, ukuran kompatibilitas antara budaya lokal dan metode demokrasi bisa menjadi parameter komplementer.

Mendorong kapasitas rekonsiliasi warga tak semudah di kalangan elite yang bisa mencapai kompromi dan konsensus dengan berbagi kekuasaan. Maka, langkah konkret memperbaiki pengukuran potensi kerawanan pemilu dengan mendeteksi potensi keterbelahan politik pasca-pemilu perlu segera dilakukan, demi meminimalkan perkubuan politik yang destruktif.

Selain itu, pengukuran kerawanan pemilu perlu pula disandingkan dengan hasil pengukuran aspek kepuasan dan kualitas hidup warga (Indeks Kebahagiaan dan Indeks Pembangunan Manusia) agar lebih mampu menjelaskan akar dari keterbelahan politik warga dalam pemilu.

Wawan Sobari Dosen Ilmu Politik; Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya

Kompas, 24 September 2018