Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 24 September 2018

Putusan MA dan Akal Sehat//KPU Terkesan Tidak Berdaya (Surat Pembaca Kompas)


Putusan MA dan Akal Sehat

Mahkamah Agung telah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap UU No 7/2017 tentang Pemilu pada Kamis (13/9/2018).

Pasal yang diujimaterikan itu mengatur larangan bagi bekas narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan narapidana kasus kejahatan seksual pada anak maju menjadi calon legislator. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa larangan bekas narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu. Pertimbangan hakim: Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) bertentangan dengan UU Nomor 7/2017. Dengan putusan uji materi itu, bekas narapidana kasus korupsi dapat mengajukan diri sebagai caleg dengan syarat yang ditentukan UU Pemilu.

Sangat terlihat MA dengan putusan itu lebih mengutamakan pengujian secara formal yuridis yang ketat terhadap lex superior dibandingkan dengan pengujian secara material yuridis pada materi aturan. Unsur "akal sehat", keadilan, dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara dikesampingkan alias dinafikan.

Keberpihakan dan mengutamakan kepentingan yang lebih luas dan berjangka panjang adalah pilihan berhati nurani dalam setiap pengambilan putusan hukum. Hukum tak hanya urusan yuridis formal semata, tetapi juga harus memperhatikan harapan, keinginan, dan spirit yang berkembang di tengah masyarakat.

Korupsi adalah masalah besar kita. Bagaimana kita mau memberantas korupsi jika manusia "berkarakter korup" masih bercokol di lembaga tinggi negara yang mulia itu?

Yosminaldi Jatikramat Indah I, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat

KPU Terkesan Tidak Berdaya

Bagaimana mungkin Komisi Pemilihan Umum bisa menerima putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan KPU yang melarang bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif?

Di mana kemandirian KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, lembaga spesifik yang dibentuk untuk menangani masalah khusus yang pendiriannya merupakan reaksi atas ketidakmampuan lembaga yang ada sebelumnya?

Struktur dan cara kerja lembaga KPU ini independen. Meski demikian, suprastruktur dan infrastrukturnya disediakan negara. Lalu, mengapa tak tegas dan konsisten menjalankan amanat sesuai dengan Peraturan KPU yang juga sudah mendapat legitimasi berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi?

Kalau KPU hanya mengatakan putusan MA berpotensi cacat secara formal, hal itu mengindikasikan para komisioner tak berdaya menegakkan independensi sebagai kuasa penyelenggara dan pelaksana pemilu.

Bukankah KPU juga sudah menandatangani pakta integritas dengan partai politik peserta pemilu untuk tak akan mengajukan bakal calon anggota legislatif (banyak) bekas narapidana korupsi?

Berbusa para elite politik dan pemerintah menyatakan siap menjaga dan menegakkan komitmen berantas korupsi. Bahkan, dulu ada pemimpin parpol yang bertekad menjadi pedang melawan korupsi. Korupsi bahkan dianalogikan dengan kejahatan luar biasa. Semua itu bagi MA terkesan bak tiupan angin yang tak membahayakan dan mudah ditepis.

Apa semua komitmen itu cuma indah diucapkan? Sudah sedemikian munafikkah kita terhadap tindakan korupsi?
Rakyat hanya ingin bangsa dan negara ini benar kukuh berdiri tanpa kemunafikan. Bangsa yang memiliki satunya kata dengan perbuatan.

Kami menghargai pemimpin parpol yang tetap konsisten memutuskan tak akan mencalonkan kader bekas terpidana korupsi kendati ada putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU yang melarang bakal caleg bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif.

A RISTANTO Agape, Jatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi, Jawa Barat

Kompas, 24 September 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger