Q terbuang walau tak jalang. Dalam kamus, kata berawal q bisa dihitung dengan ujung kuku kelingking. Hampir semua q dalam kata serapan diubah jadi k. Sulit menemukan landasan fundamental sebagai penjelasan, kalau ada, atas pelecehan ini. Padahal, alasan eksistensial jelas, q berbaris gagah dalam alfabet. Adakah argumen gramatikal untuk menghinakan q? Kalau ada, belum luas disebarkan oleh empunya argumen. Ataukah ini soal lidah? Dahulu, misalnya, banyak kasus huruf f diubah menjadi p, dengan alasan lidah Indonesia sulit mengucapkan f. [Sekarang, tidak lagi. Anak-anak muda dengan mudah dan meriah ber-f-f-ria.] Tapi, alasan kuno ini jelas tidak laku karena bunyi q dan k sama saja di telinga dan lidah kita.

Lantas, apakah kata lama harus diubah? Ah, tidak. Jadilah orang setia. Yang lama tetaplah disayang. Biarlah kualitas dan kuantitas terus berlaku. Tapi, kalau ada yang mengototkan qualitas dan quantitas, ya boleh-boleh saja. Paling-paling polisi bahasa sewot. Itu pun tak apa sebab kesewotan adalah fitrah inheren dan jatidirinya. Kalau tak sewot, polisi bahasa tak bahagia. Hendaklah mulai sekarang pemopuler kata baru memelihara unsur qdi dalam kata serapan. Sama seperti petinggi bahasa pada 1980-an gencar memperjuangkan penolakan terhadap pengubahan f menjadi p dalam kata serapan, kiranya 2020-an akan dikenang sebagai masa perlawanan q terhadap dominasi k. Ini cuma saran, sih, polisi bahasa jangan cepat main pentung.

Main penting saja. Kalau tak penting tentu tak jadi kolom di sini. Pelestarian q di dalam kata-kata tertentu bisa menolong penjernihan konsep dan logika, dan, dengan demikian, mempertajam dan memperdalam daya pikir bangsa Indonesia, ehmEtiqet, misalnya, terlihat jelas beda banget dengan etika. Pembaca lugu yang tak pernah kenal kolom bahasa akan terperangah: eh, ternyata beda, toh. Memang tak ada hubungan makna. Kacek jauh asal-usul. Rakyat sekarang sudah (seharusnya) sangat paham bahwa pejabatberetiqet bisa sangat tidak beretika, dan sebaliknya.

Misal yang lain, kritiq dan kritikKritiq? Sebentar. Kritik harus dijelaskan tersendiri terlebih dulu sebelum diperbandingkan dengan kritiq karena kritik dalam bahasa Indonesia adalah criticism dalam Inggris. Sedangkan critic dalam bahasa Inggris adalah kritikus dalam Indonesia. Adapunmengkritisi adalah kata genit untuk mengkritik yang dalam Inggris adalah to criticize (mengkritikisasi). Sementara itu, kritis adalah terjemahan critical yang berarti gawat (misalnya, sakit kritis) atau punya kebiasaan mempertanyakan (misalnya, berpikir kritis). Jelas, ya? Kalau belum, renungkan dulu dengan sabar sebelum melanjutkan baca. Kalau terburu-buru bisa terjadi krisis yang kritis.

Nah, kritik yang kita perbandingkan dengan kritiq adalah yang punya articriticism, yakni, yang punya beberapa makna, dua di antaranya adalah 'tindakan menilai/menghakimi sesuatu', biasanya dalam rangka menyebutkan yang buruk-buruk (kerjaan tukang kritik); dan seni menilai karya seni, secara detail dan logis menerangkan mengapa ia berqualitas bagus atau buruk (kerjaan kritikus).

Kritiq (critique) adalah tulisan yang melakukan penilaian terhadap karya sastra. Kritiq bisa pula berarti metode studi (filosofis) nondogmatik yang mempertanyakan atau meragukan segala sesuatu. Pusingnya, kritiq juga berarti seni menilai karya seni, sama dengan kritikdalam arti kedua di atas. Jadi, apa perlunya memperbedakan keduanya? Perlunya buat yang perlu saja. Kalau tidak perlu, ya, tidak perlu. Salah satu keuntungan potensial pembedaan adalah bahwa kritiq tidak pernah mengacu pada si orang, ad hominem, selalu hanya pada karya atau pemikiran atau tindakan, sedangkan kritik cenderung punya bias negatif pokoknya salahmu. Nah, mainlah di situ. Atau, jangan. Sesukamulah. Tulisan ini toh bukan tentang kritik-mengkritiq, melainkan tentang q.

Q dalam seri Star Trek adalah antagonis supersegala yang menakjubkan, mampu mengubah realitas ruang dan waktu hanya dengan jentikan jari; sekaligus sangat menyebalkan dengan tingkah kekanak-kanakannya mempermainkan orang sesuka hati. Semoga seperti itulah q akan mulai merajalela dalam kancah pergulatan perkembangan bahasa Indonesia dengan cara yang menjengkelkan para wasit dan juri bahasa. Semua akan bahagia. Bwahahaha.