BAGUS WINDHI SANTIKA/GREENPEACE

Aktivis lingkungan membentangkan spanduk raksasa bertuliskan "Tolak Reklamasi di Teluk Benoa", Sabtu (14/4/2018) di Teluk Benoa, Bali. Penolakan reklamasi di kawasan pesisir merupakan salah satu isu yang disoroti Rainbow Worrior dalam turnya di Indonesia.

Jika bukan fiksi, gagasan reklamasi barulah sebuah proposal dunia properti untuk melanjutkan penguasaan atas lahan di Indonesia. Itu kalau dilihat dari kerasnya penolakan masyarakat terhadap proyek reklamasi yang dirancang pemerintah beserta pemodal. Di seluruh Indonesia, dalam jangka masa yang bersamaan, kabarnya ada setidaknya 49 titik reklamasi yang direncanakan. Termasuk reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa, Bali, yang heboh itu.

Alih-alih menjadi solusi, eksperimen reklamasi justru lebih banyak menampakkan sisi gelap pelaksanaannya, antara lain perilaku korupsi seperti yang menyertai proses reklamasi Teluk Jakarta belum lama ini. Di samping itu, reklamasi juga ditolak karena dikhawatirkan menimbulkan dampak ekologi yang serius dan dipandang berpotensi menciptakan pemisahan sosial antara kelompok kaya dan miskin.

Kecemasan seperti itu rupanya menular juga ke wilayah kesenian, tak kecuali di Sumatera Barat yang belum kebagian proyek reklamasi. Para dosen penggiat seni teater dan tari ISI Padang Panjang merespons isu reklamasi itu melalui sebuah teater kolaboratif berjudul The Margin of Our Land #2 (selanjutnya disebut The Mol) yang ditampilkan baru-baru ini di ajang Postfest IKJ 2018, Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menurut Sahrul N, yang memimpin proyek ini, pentas ini mengusung konsep koreo-dramaturgi. Melibatkan keahlian koreografi, tata artistik, musik, puisi, serta secara umum ditopang oleh wawasan teater yang teoretis.

Dari segi penciptaan, katanya, The Mol merupakan sebentuk teater proses yang direncanakan sebagai trilogi. Berbeda dengan pola konvensional yang menekankan pada hasil akhir, garapan ini justru menitikberatkan diri pada proses penciptaannya. Sejak awal, katanya, banyak unsur yang sengaja disertakan, baik dalam pengujian ide, pelatihan, tata tari, dan puisi yang muncul di bagian akhir The Mol. Tak kecuali kalangan non-seni. Itu sebabnya ada pengayaan pada setiap bagian dari karya trilogi ini.
The Margin of Our Land #2 mencoba menghadirkan isu reklamasi ke dalam pertanyaan-pertanyaan esensial mengenai tanah, batas, dan tubuh. Tiga sumber daya tak terperbarui, yang agaknya terabaikan dalam gelombang isu reklamasi di tataran sosial. Menjadi menarik karena tema itu mendapat pengungkapan melalui aspek tarian dan dramaturgi yang memungkinkan penonton lebih leluasa mengembangkan tafsir atas topik ini.

Lompatan tradisi

Sebagaimana kita tahu, tubuh, tanah, batas, merupakan topik-topik yang universal dalam kebudayaan, tak kecuali di Sumatera Barat. Ketiganya merupakan simbol kuasa tradisional yang kini tersingkir oleh kuasa modal. Transisi dari kuasa tradisi ke modal itu turut memengaruhi tubuh kesenian.

Khususnya seni tradisi, yang awalnya mempunyai kemampuan untuk menyublimasi dinamika, kini menjadi miskin capaian.

Sama seperti tubuh sosial yang pasif di tengah arus modal, tubuh kesenian pun meredup sebagai sekadar artefak etnik yang antik di tengah arus budaya populer dan masyarakat yang dininabobokkan modal.

Sikap yang perlu diambil, dengan demikian, adalah membangkitkan kembali kemampuan tubuh itu untuk berdialog dengan dinamika. Salah satu caranya dengan menemukan kembali aspek-aspek dramaturgi yang memungkinkan tubuh itu mendapatkan eksistensinya sebagai simbol dunia lahir dan dunia batin masyarakat.

Pakar seni tari, Profesor Sardono, telah menyatakan pujiannya pada penampilan The Mol ini seusai dipentaskan pada Agustus 2018. Menurut dia, kemampuan menampilkan detail, kompleksitas, dan keberanian mengangkat hal-hal baru dalam karya ini cukup mengejutkan. Di mata Sardono, penampilan ISI Padang Panjang kali ini tampaknya telah membentangkan cakrawala harapan yang lebih besar terhadap perkembangan teater, khususnya di Sumatera Barat. Pertanyaan kita, dalam konteks apa pujian Sardono itu perlu mendapat penjelasan?
Bisa kita cermati, secara estetika The Mol merupakan upaya menyublimasi unsur-unsur seni tari, dramaturgi, dan puisi ke dalam satu peristiwa teater. Meskipun terkesan sensasional, istilah koreo-dramaturgi yang dikemukakan Sahrul untuk menyebut konsep teaternya ini tampaknya cukup mengena.

Mengingat kekuatan utama dari garapan ini ada pada eksplorasi seni tubuh yang dikomandoi koreografer Ali Sukri.

Lompatan kreatif yang ia lakukan atas seni tari tradisional Minang (khususnya Ulu Ambek dan seni silat) bagi saya cukup mengesankan. Ia mampu membawa semangat tradisi ke dalam sajian kontemporer tanpa perlu memperagakan atribut tradisi.

Apabila selama ini kita menyaksikan seni gerak Minang, seperti Ulu Ambek dan Tari Kain, cenderung tampil eksklusif dan sunyi tanpa menonjolkan unsur hiburan, kali ini justru sebaliknya. The Mol jelas membawa spirit seni gerak Minang ke ranah sirkus yang memungkinkannya dinikmati oleh penonton yang lebih luas. Ini, misalnya berbeda ketika seni Ulu Ambek digelar di Pariaman, yang eksklusif, yang hanya dilakukan untuk satu tujuan bersifat lokal dan insidental.

Dari segi tema, tentu saja kerja seperti itu memerlukan semacam sekularisasi ide. Sebab, eksklusivitas seni gerak Minang sejauh ini didasari atas tujuan dan pesan-pesan bersifat keagamaan dan batiniah. Dengan demikian, proses dan pesan yang monoton dalam seni gerak Minang itu sekarang mendapat pengayaan melalui aksi akrobatik dan pengayaan topik.

Tidak ada prolog maupun epilog yang menyertai jalannya The Mol hingga akhir, kecuali sebait puisi dari Esha Tegar Putra. Ini berbeda, misalnya, dengan randai dan Ulu Ambek yang diantarkan dengan nyanyian. Sebagai penggantinya adalah puisi yang isinya menggambarkan bagaimana topik reklamasi itu telah menjadi tragedi kemanusiaan. Pada satu sisi, penggunaan puisi secara deklamasi itu mengurangi konsistensi konsep garapan ini sebagai teater koreo-dramaturgi itu. Sebab, kehadiran puisi tidak terasa memberi nilai tambah. Pasti berbeda hasilnya kalau puisi itu tidak sekadar dibacakan, tetapi didendangkan sebagaimana halnya pedendang menyampaikan sebuah cerita dalam seni randai dan Ulu Ambek.

Apakah ini satu kealpaan? Tentu hanya Sahrul yang bisa menjawabnya. Kalau dikatakan itu dilakukan dalam rangka menyambung tali silaturahmi dengan konsep "kato" dalam seni tradisi Minang, volume kehadiran puisi seharusnya lebih banyak atau penggunaannya perlu mengadaptasi cara kesenian tradisi mengkreasi "kato" melalui nyanyian atau dendang. Saya menyangka, itulah yang teralpakan dalam keseluruhan garapan ini.

Namun, terlepas dari sedikit kealpaan itu, saya menganggap apa yang dilakukan Sahrul N dan kawan-kawan dari ISI Padang Panjang merupakan lompatan penting dalam perjalanan seni teater di Sumatera Barat. Karena garapan ini dapat menjadi model bagaimana seharusnya spirit tradisi dibawa ke ranah kontemporer.