Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Oktober 2018

Pensiun dan Upah//Prosedur Baru Berobat BPJS//Jalan Pluit-Grogol dan Bunyi Keras (Surat Pembaca Kompas)


Pensiun dan Upah

Berikut tanggapan saya atas tulisan A Prasetyantoko di Kompas, Selasa (23/10/2018), "Upah dan Produktivitas", yang berkaitan langsung dengan penetapan upah Menaker 2018.

Setidaknya ada tiga program employee benefit yang akan membebani labor cost menjelang Pemilu 2019. Ketiganya berimbas pada pertumbuhan dana pensiun yang secara financing akan naik sekitar 7 persen upah, yaitu kebutuhan kenaikan iuran program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan dari 3 persen menjadi 5 persen; program perumahan dan ide asuransi pengangguran sedikitnya masing-masing mengenakan iuran 2 persen upah.

Selain itu, ada saja ide menaikkan iuran JKN. Kenaikan itu melemahkan kemampuan bayar perusahaan dan karyawan untuk membentuk dan atau melanjutkan program dana pensiun yang seharusnya merupakan "penyempurna" program jaminan sosial wajib sebagai proteksi dasar sesuai dengan kemampuan ekonomi nasional dari waktu ke waktu.

Menghadapi gejolak ekonomi global dan gelombang digitalisasi-industri 4.0, dunia usaha butuh dukungan pemerintah. Berbagai ide kenaikan iuran itu butuh waktu yang pas agar dunia usaha dapat sintas. Seyogianya lapangan kerja dan lapangan berusaha justru mendapat insentif dengan berbagai kebijakan kemudahan.

Ide konkretnya adalah "relaksasi": memberi pilihan kepada perusahaan (dan karyawan) dalam melaksanakan SJSN. Misalnya, perpres menetapkan bahwa untuk memenuhi kenaikan iuran Jaminan Pensiun, perusahaan dapat memilih menurunkan iuran JHT masing-masing perusahaan 2 persen dan karyawan 1 persen upah untuk membayar iuran Jaminan Pensiun perusahaan menjadi perusahaan 4 persen upah dan pekerja 1 persen.

Relaksasi dilakukan juga pada JKN, yaitu dengan mengurangkan beban BPJS Kesehatan. Perusahaan dapat memilih tingkat iuran karyawan 0,5 persen dan perusahaan 3 persen upah dengan manfaat kelas-3. Untuk memenuhi PKB/peraturan perusahaan, saat karyawan dan keluarganya rawat inap dan berhak di atas kelas 3, perusahaan dapat memilih kelas lain di rumah sakit dengan membayar langsung ke rumah sakit atau memakai asuransi.

Odang Muchtar
Anggota Tim Persiapan UU SJSN 2011

Prosedur Baru Berobat BPJS

Saya dan banyak orang di negeri ini pasti jengkel dengan aturan baru BPJS ketika pasien harus menemui dokter. Saya merasan semakin dipersulit dan sengsara. Semestinya semakin lama semakin mudah, ini malah semakin rumit. Kalau bisa mudah, mengapa dipersulit?

Kadang timbul dalam pikiran saya, jika calon presiden dan calon wakil presiden mana saja tidak punya program untuk mempermudah layanan BPJS, saya mau golput saja. Namun, semoga hal ini tak terjadi.

Saya punya ide: barangkali bisa diatur seperti ini. Peserta BPJS Kesehatan kelas 3
berobat dulu di rumah sakit tipe D. Peserta BPJS Kesehatan kelas 2 berobat di rumah sakit tipe C. Peserta BPJS Kesehatan kelas 1 berobat di rumah sakit tipe B.

Jika kelas 3 dan kelas 2 tidak terima, silakan naik kelas 1. Dengan demikian, uang BPJS akan banyak terkumpul. Masa kelas 1 yang iurannya tiga kali lipat kelas 3 harus bertele-tele sama seperti kelas 3?

Suswantoro
Mlati Dukuh, Sendangadi,
Sleman, DIY


Jalan Pluit-Grogol dan Bunyi Keras

Sudah lama di jalan layang Pluit ke Grogol, tepatnya di depan Bank Sinar Mas Jembatan Dua, terdengar bunyi keras jika truk kontainer melintas. Terutama pada malam hari, bunyi keras itu sangat mengganggu warga yang sedang tidur. Bunyinya bikin jantungan.

Untung Santosa
Jembatan II Pejagalan,

Penjaringan, Jakarta Utara

Kompas, 31 Oktober 2018
#suratpembacakompas ‎#BPJS 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger