KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)

ILUSTRASI: Pergerakan saham terpantau dari Bursa Efek Indonesia, Jakarta.

Pasar saham dan pasar uang global, termasuk Asia, terus mengalami tekanan pada pekan ini. Pelemahan Kamis lalu diperkirakan sebagian analis masih belum yang terburuk.

Kombinasi faktor Amerika Serikat, seperti kenaikan suku bunga AS dan perang dagang AS-China, serta naiknya harga minyak mentah dan kekhawatiran terkait proses negosiasi Brexit membuat situasi global diperkirakan belum akan kondusif dan cenderung terus tertekan, setidaknya hingga akhir tahun.

Dimotori bursa China, aksi jual membuat semua pasar saham Asia mengalami pelemahan pada Kamis meski sebagian sedikit terkoreksi pada Jumat (19/10/2018). Indeks Saham Gabungan Shanghai dan Shenzhen di China melemah ke titik terendah baru dalam empat tahun terakhir menyusul pertemuan bank sentral AS (Fed) yang men-sinyal-kan rencana Fed untuk kembali menaikkan suku bunga dalam beberapa waktu ke depan.

Pelemahan juga terjadi di Jepang, Korea, Hong Kong, Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Selandia Baru. Statistik China sendiri menunjukkan pertumbuhan ekonomi China kuartal III-2018 di bawah perkiraan. Melambatnya ekonomi dunia, kekhawatiran terkait perang dagang, dan kenaikan suku bunga AS menyebabkan sentimen investasi juga tertekan. Pelemahan juga dialami hampir semua mata uang di kawasan.

Tren pelemahan dan aksi jual di pasar diperkirakan kalangan ahli strategi pasar saham dan mata uang dari Morgan Stanley dan BNY Mellon belum akan berakhir dan bisa semakin brutal, setidaknya pekan ini. BNY Mellon menggambarkan situasi saat ini seperti peristiwa Black Monday pada 1987, terutama melihat dari kesamaan faktor pemicu, seperti menguatnya dollar AS, naiknya harga minyak, dan naiknya imbal hasil surat utang Pemerintah AS. Kondisi akan lebih mengkhawatirkan lagi jika gagal dicapai kesepakatan terkait Brexit.

Kalangan analis terutama cemas memburuknya perang dagang akan memaksa China mencampakkan surat utang AS yang selama ini dipegangnya sebagai bentuk retaliasi. Jika ini terjadi, guncangan besar di bursa saham dan keuangan global akan terjadi. Minggu lalu, semua bursa saham utama dunia terpuruk ke zona merah karena kekhawatiran kian memburuknya perang dagang AS-China. Indeks Dow Jones, S&P, dan Nasdaq di AS mengalami penurunan tertajam sejak Maret.

Selain kenaikan suku bunga AS yang cepat, kekhawatiran juga dipicu potensi resesi ekonomi global. Morgan Stanley memperingatkan situasi likuiditas global yang kian ketat ke depan sejalan kebijakan moneter ketat di AS dan Eropa. Mereka bahkan tak menutup kemungkinan kejatuhan indeks S&P hingga 2.500 dari posisi saat ini 2.768 jika kondisi kian tak terkendali.

Sebaliknya, JP Morgan menyatakan 80 persen aksi jual sudah berakhir dan pasar akan kembali menguat begitu fundamen pasar pulih. Aksi jual pekan lalu, menurut mereka, hanya koreksi mini (di tengah kondisi pasar yang terus menguat/bull market). Koreksi pasar itu dipicu faktor teknis, yang akan kembali berbalik menguat sejalan kuatnya kondisi fundamental jangka panjang. Tony Dwyer dari Cannacord Genuity mengatakan, aksi jual masif dipicu kekhawatiran berlebihan terhadap potensi resesi ekonomi global meski indikator ekonomi menunjukkan hal sebaliknya.


Kompas, 20 Oktober 2018