KOMPAS/PRADIPTA PANDU

Calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto bergandengan dan melambaikan tangan.

Ingar bingar pemilu dan pilpres yang diselimuti kondisi ekonomi yang belum cerah, budaya dan kebudayaan tampak pupus, tak mendapat prioritas.

Ingatan pada soal budaya dan kebudayaan selintas muncul saat para petinggi negara mengenakan simbol budaya pada peringatan HUT Kemerdekaan Agustus. Dalam suasana alpa tersebut, kita berbesar hati bahwa sejumlah budayawan, Taufik Abdullah, Eros Djarot, Radhar Panca Dahana, dan Mohammad Sobary, duduk bersama membahas kebudayaan dalam acara Diskusi Publik Mufakat Budaya Indonesia 2018 di Jakarta, Kamis (19/10/2018).

Kita diingatkan kembali bahwa dari sejarahnya masyarakat Nusantara adalah masyarakat majemuk, egaliter, dan saling menghargai. Sayang, menurut Taufik Abdullah, rezim Orde Baru memaksa bangsa ini meyakini satu ingatan yang seragam.

Tentu orang bisa memperdebatkan pernyataan ini. Namun, faktanya selepas Orde Baru, bangsa Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap sesama (warga bangsa) dan krisis kemampuan mengelola konflik. Hal ini kian kita rasakan seiring dengan gegap gempita demokrasi dan kebebasan menyatakan pendapat. Maraknya partai politik karena satu kelompok merasa sulit bekerja sama dengan kelompok lain, terjadinya sejumlah kerusuhan dalam dua dekade terakhir, disebut menjadi wujud krisis dan hilangnya kepercayaan dan ketidakmampuan mengelola konflik.

Hipotesis di atas mungkin bisa dipatahkan jika pemilu dan Pilpres 2019 bisa berlangsung mulus dan beradab. Ini karena selama beberapa tahun terakhir kita merasakan pada sejumlah kontestasi politik, misalnya Pilpres 2014, aktivitas demokrasi yang semestinya dirayakan dengan jiwa persatuan kebangsaan, di sana-sini diwarnai kebencian dan ketidakadaban.

Ada perasaan bahwa kemunduran kemampuan dalam mengelola perbedaan yang alamiah ada di Nusantara menjadi hal mengkhawatirkan. Perlu dilakukan langkah untuk menyadarkan kembali sejarah terbentuknya masyarakat Nusantara yang majemuk, egaliter, dan saling menghargai.

Pekerjaan rumah ini membutuhkan energi untuk mengerjakannya, tetapi di sisi lain ada banyak cara yang bisa ditempuh. Para elite dan pemimpin harus meluangkan waktu dan menjadi teladan dalam upaya menegakkan kembali karakter bangsa. Harus ada langkah yang bisa menyadarkan kembali bangsa Indonesia akan jati dirinya, akan akar kebudayaan asal-usulnya. Misalnya, kita menyadari bahwa dalam kebudayaan tak ada adat istiadat yang lebih unggul daripada adat istiadat yang lain karena, seperti ditegaskan Sobary, yang ada adalah keragaman.

Para pendiri bangsa, seperti tecermin pada Pembukaan UUD 1945, di mana Pancasila ada di dalamnya, telah meletakkan visi bagaimana bangsa Indonesia harus berbudaya. Permasalahan kebudayaan, menurut Eros, muncul karena bangsa tidak paham dengan apa yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa.