ARSIP PRIBADI

ADLER HAYMANS MANURUNG

 

Banyak pihak selalu berkomunikasi dengan bank karena produk yang ditawarkan bank bisa membuat peningkatan kekayaan individu dan lembaga. Bank juga banyak membantu pihak lembaga agar bisa beroperasi setelah mendapatkan pendanaan. Oleh karena itu, bank bisa juga disebut lembaga perantara dari unit yang surplus ke unit yang defisit.

Pada sisi lain, bank melakukan transformasi sehingga bisa juga disebut sebagai lembaga transformasi. Adapun yang ditransformasi (Manurung, 2017) ialah risiko, size, waktu, dan likuiditas.

Tiga aspek yang ditransformasi juga akhirnya menuju ke risiko, juga salah satu aspek dalam transformasi. Bank yang menjalankan transformasi ini mempunyai ciri (Merton dan Perold, 1993), pertama, bank sebagai pemilik liabilitas, di mana aset perusahaan paling banyak didanai oleh pihak ketiga. Kepemilikan ini paling banyak dalam bentuk dana pihak ketiga ditunjukkan pada laporan keuangan perusahaan.

Kedua, bank dianggap opaqueness terhadap customer dan investornya. Bank sangat rahasia karena pihak yang memberikan deposito tidak tahu kepada siapa dananya diberikan dan demikian juga kredit yang diterima tidak tahu dari mana sumber dananya.

Ketiga, bank bekerja dalam industri yang sangat kompetitif karena mereka berkompetisi untuk mendapatkan investor dalam dana pihak ketiga dan juga klien atau customer untuk dana yang didapatkan. Ciri dan tugas bank menyatakan bahwa bank tersebut menghadapi risiko atas operasi yang dilakukannya.

Bank sebagai sebuah institusi akan menghadapi risiko sesuai uraian sebelumnya. Risiko yang dihadapi tersebut dapat dikelompokkan menjadi risiko katastropik dan risiko yang bisa dikendalikan.

Risiko katastropik ini tidak bisa dikendalikan oleh sebuah institusi karena datangnya tidak diketahui dan institusi bisa mengeluarkan dana bisa melebihi aset yang dimiliki. Akan tetapi, ini bukan menjadi pembahasan tulisan ini.

Risiko yang dikendalikan atau risiko yang bisa dikelola sebuah institusi keuangan menjadi sebuah pertanyaan yang selalu didiskusikan. Apabila manajemen institusi mengetahui atau memperkirakan nilainya, maka manajemen bisa menyediakannya untuk kepentingan keberlangsungan perusahaan.

Pertama, pendekatan ini dilakukan di mana mendirikan bank tidak mempunyai persyaratan modal yang harus disetor.

Apabila bank atau institusi keuangan mengumpulkan dana dengan memberikan keyakinan kepada pihak lain bahwa dana yang dimasukkannya ke dalam institusi keuangan tersebut akan tidak terjadi kemacetan penarikan dana di mana institusi keuangan harus mengasuransikan dana pihak ketiga tersebut secara langsung.

Akibatnya, dana pihak ketiga yang diasuransikan sebesar dana pihak ketiga dan ada biaya sehingga besaran dana pihak ketiga akan berkurang sebesar nilai asuransi.

Dengan menyatakan bahwa dana pihak ketiga diasuransikan, maka pihak ketiga mau memasukkan dananya. Dana pihak ketiga tersebut akan disalurkan menjadi kredit kepada pihak lain sebesar nilai pihak ketiga.

Karena dana pihak ketiga sudah berkurang sebesar nilai biaya asuransi yang dibayarkan, mau tidak mau institusi keuangan tersebut harus memasukkan dana sebesar biaya yang dikeluarkan untuk membayar asuransi tersebut. Artinya, institusi keuangan hanya bisa membayar risiko yang ditanggungnya sebesar biaya asuransi yang dibayarkannya.

Kedua, adanya persyaratan modal setor yang diwajibkan oleh lembaga pengawas bank untuk mendirikan sebuah bank. Saat ini, sebuah bank didirikan harus mempunyai modal setor sebesar Rp 3 triliun sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tentang modal setor, di mana nilai ini sudah cukup besar.

Nilai yang cukup besar ini membuat seseorang dan beberapa pihak yang bergabung agak sulit mendirikan bank. Persyaratan yang dikeluarkan Bank Indonesia ini juga membuat tidak akan berdiri lagi bank yang dibangun oleh lokal dan kenyataannya sejak tahun 2000 tidak ada bank lokal yang berdiri, terkecuali bank yang telah meningkat ekuitasnya melebihi Rp 3 triliun.

Hampir banyak bank kecil sekarang melakukan tambahan modal dengan pihak asing yang masuk. Terlepas dari modal tersebut, maka bank selanjutnya mengumpulkan dana untuk beroperasi.

Dengan demikian, pengumpulan dana yang dilakukan membuat bank akan menyalurkan dana sebesar modal setor yang dimiliki. Manajemen akan mengelola bank agar risiko yang dihadapi bank tersebut tidak akan melebihi dana yang disetor pemilik bank itu.

Apabila risiko yang dihadapi melebihi besaran modal setor, maka akan ada dana yang terambil dari pihak ketiga dan kemungkinan ini agak sulit karena dana tersebut sudah disalurkan kepada pihak ketiga. Kemungkinan mengambil dana dari pihak ketiga untuk membayar risiko institusi keuangan agak sangat sulit karena bank tersebut sudah teregulasi.

Manajemen perusahaan akan mengelola atau melakukan asuransi atas dana pihak ketiga tersebut kepada pihak lain agar dana pihak ketiga tersebut terbayar jika terjadi risiko yang tidak diinginkan.

Kasus ini bisa diperhatikan bank-bank di Indonesia harus membayar premi untuk perlindungan atas dana pihak ketiga, yaitu Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Dengan uraian tersebut, maka nilai aset sebuah bank menjadi sebesar dana pihak ketiga ditambah dengan setoran modal yang dilakukan ketika pendirian perusahaan.

Apabila institusi keuangan beroperasi dan mendapatkan keuntungan, maka nilai ekuitas bertambah sebesar keuntungan yang diperoleh sehingga risiko yang bisa ditanggung bank/institusi keuangan tidak akan lebih dari nilai ekuitas tersebut. Pada neraca bank akan muncul nilai aset sebelah kanan, yaitu dana pihak ketiga, dan modal setor dan sebelah kiri, yaitu pinjaman dan nilai asuransi.

Berdasarkan uraian di atas, maka manajemen sebuah institusi keuangan akan mengelola lembaganya agar risiko yang ditanggungnya tidak melebihi ekuitas yang dimilikinya. Pada sisi lain, pengawas bank akan membuat peraturan agar risiko bank tersebut juga bisa sebesar ekuitas yang dimilikinya.