Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 17 November 2018

Titik Matematis//Tes Calon Pegawai Negeri Sipil 2018//Truk dan Jalan Tol yang Menciut (Surat Pembaca Kompas)


Titik Matematis

Ada jurus "Sontoloyo" yang ditangkis dengan jurus "Tampang Boyolali" dan dibalas lagi dengan jurus "Genderuwo". Yang terjadi sejauh ini baru olok-mengolok.

Belum ada duel adu gagasan dan rencana program. Belum terjadi debat atau adu ketajaman argumentasi yang logis rasional dan empiris faktual.

Ini mengingatkan saya pada sindiran JJ Thomson (fisikawan Inggris, penerima Hadiah Nobel, yang putranya—GP Thomson—juga peraih Nobel Fisika). Kata Thomson (le père): "Tokoh-tokoh politik itu ada yang seperti titik: punya posisi tapi tanpa substansi."

Titik matematis memang tak berhingga kecil sehingga tidak dapat diukur besarnya, tetapi posisinya dalam suatu koordinat ada dan tertentu dengan pasti asal koordinat (x,y,z)-nya diketahui.

L Wilardjo
Klaseman, Salatiga, Jawa Tengah

Tes Calon Pegawai Negeri Sipil 2018

Analisis sementara atas hasil Seleksi Kompetensi Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil 2018 menunjukkan bahwa mayoritas peserta gagal memenuhi ambang batas Tes Karakteristik Pribadi (TKP), demikian Kompas (13/11/2018).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2018, nilai ambang batas TKP adalah 143, sementara Tes Intelegensia Umum (TIU) 80, dan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) 75.

Jika dibandingkan dengan nilai maksimal yang dapat diperoleh peserta untuk setiap tes, ambang batas TKP sekitar 81,7 persen dari nilai maksimal (175), TIU sekitar 53,3 persen dari nilai maksimal (150), dan TWK 75 sekitar 42,9 persen dari nilai maksimal (175).

Pengambilan keputusan yang didasarkan pada ambang batas ini sepatutnya juga mempertimbangkan terjadinya false positive (lulusnya peserta tes yang sebetulnya tidak kompeten) dan false negative (gagalnya peserta yang sebetulnya kompeten) pada peserta yang memiliki nilai mendekati ambang batas karena selalu ada tingkat kesalahan tertentu yang dipengaruhi validitas dan reliabilitas penentuan nilai ambang batas.

Selain itu, nilai ambang batas yang relatif rendah pada TIU dan TWK berpeluang meningkatkan lulusnya peserta yang sebetulnya tidak kompeten. Namun, hal ini dapat diatasi dengan adanya seleksi pada tahap selanjutnya. Sebaliknya, nilai ambang batas yang sangat tinggi pada TKP meningkatkan peluang gagalnya peserta yang sebetulnya kompeten sehingga negara kehilangan kesempatan merekrut calon PNS potensial.

Dari pengamatan sementara yang tentu masih amat terbatas, ada peserta yang nilainya hanya kurang 1-3 poin dari ambang batas TKP, tetapi tidak bisa lulus ke tahap seleksi berikutnya meskipun nilai TIU dan TWK mereka jauh di atas ambang batas.

Peserta yang mendapat nilai TKP 140, misalnya, sebetulnya sudah mencapai 80 persen dari nilai maksimal (175). Nilai yang cukup tinggi. Dengan penentuan kelulusan seperti ini, tidak sedikit akan ditemukan peserta dengan nilai total jauh di atas 300, bahkan 400, tetapi gagal, sementara peserta dengan nilai total 298, yang merupakan penjumlahan nilai ambang batas ketiga tes, misalnya, lulus ke tahap berikutnya.

Di samping itu, pengukuran karakteristik afektif, seperti TKP, dengan menggunakan pilihan ganda sangat sulit. Tidak tertutup kemungkinan pilihan jawaban yang dianggap paling tepat masih dapat diperdebatkan. Selain itu, peserta pun dapat menyiasati dengan memilih jawaban yang dianggap paling ideal meskipun tidak sesuai dengan sikap ataupun tindakan yang akan diambil dalam situasi sebagaimana digambarkan oleh soal itu.

Kemenpan dan RB sepatutnya menjelaskan kepada masyarakat mengapa ambang batas TKP ditetapkan relatif sangat tinggi, sementara TIU dan TWK relatif rendah dengan perbedaan yang sangat mencolok, metode apa yang digunakan dalam menetapkan ambang batas tersebut, dan bagaimana hasil uji coba terhadap kualitas instrumen yang digunakan.

Evaluasi perlu dilakukan untuk mengurangi peluang terjadinya false positive dan false negative yang merugikan dan memastikan tercapainya tujuan penyelenggaraan seleksi tersebut.

Elin Driana
Limo, Depok, Jawa Barat

Truk dan Jalan Tol yang Menciut

Sehubungan dengan menciutnya tol Jakarta-Cikampek, saya mohon dengan sangat supaya dipertimbangkan pelarangan melintas di sana truk tronton/ kontainer dan mobil besar lainnya yang panjangnya mencapi 3-4 kali mobil biasa mulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00. Di luar jam itu, sila saja.

Itu diterapkan selama perbaikan jalan belum selesai. Belum ada ketentuan entah satu tahun lagi entah dua tahun lagi, perbaikan baru selesai.

Jika jalan selesai, mudah-mudahan lancar lagi, baru truk-truk tersebut lewat lagi. Akan terbukti kelak bahwa truk-truk itulah penyebab macet luar biasa. Selama perbaikan dan truk boleh melintas, Jakarta-Karawang 4-6 jam.

Elisabet Sarino

Petojo Selatan, Jakarta Pusat

Kompas, 17 November 2018
#kompascetak 
#suratpembacakompas
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger