Dua kegiatan di akhir Oktober saya rasa-rasakan membawa saya pada dua jurusan berbeda: satu ke tempat sampah bahasa, satunya lagi ke suatu taman bahasa. Begitulah saya mengenang dua kegiatan tersebut, yakni lomba penulisan kritik film yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di mana saya menjadi salah satu juri dan peristiwa mengenang WS Rendra di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. Keduanya berurusan dengan bahasa.
Geram saya membaca sekitar 150 naskah peserta lomba kritik. Hampir seluruh peserta mengabaikan kaidah bahasa. Tak ada perhatian terhadap hukum yang berkaitan dengan tanda baca, kata, kalimat, paragraf, dan lain-lain. Kadang campur aduk dengan bahasa Inggris. Itu pun tidak keruan. Bahasa asing mereka comot dengan mengabaikan apakah itu kata sifat, kata benda, dan seterusnya. Jangan bicara soal irama, tempo, diksi, dan semacamnya. Tidak ada semua itu dalam benak mereka.
Seusai berjuang keras sampai terengah-engah membaca seluruh naskah yang ketika dicetak mencapai 500 halaman folio, saya menghubungi Remy Sylado, sesama anggota juri. Biar tidak jadi bludrek. Kepadanya saya curhat, bagaimana kita bisa menilai gagasan kalau prasyarat untuk menyampaikan gagasan tidak dipenuhi.
Bagi saya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi dan ekspresi. Pada bahasa, kita juga mengembangkan kognisi dan imajinasi. Kita semua tahu, imajinasi mengenai bangsa ini banyak berutang antara lain pada rumusan cemerlang Sumpah Pemuda tahun 1928. Itulah yang sekarang diobrak-abrik banyak orang. Milenial? Prettt.
Ah, untunglah, sebagaimana kenyataan kehidupan, apa yang ada di depan mata tidaklah selalu berarti segala-galanya. Saya ke Yogyakarta untuk nonton pertunjukan Megadeth. Tak saya lewatkan menikmati wayang kulit dengan dalang favorit, Ki Seno Nugroho. Sindennya ciamik. Selain itu menghadiri acara mengenang WS Rendra di Tembi Rumah Budaya. Yang terakhir ini merupakan acara rutin Tembi, digelar sebulan sekali saat purnama.
Bulan purnama dan sajak: dari dulu pun kitab bermuatan rohani dibacakan malam hari, mengisi tempat hening dalam diri, menjadikan yang kosong ini isi, yang isi ini kosong. Dalam Zen, kekosongan merupakan wahana untuk menerima pengetahuan. Perlu upaya pelepasan (detachment) secara terus-menerus. Dalam pemahaman Jawa, ini semacam bentuk kerelaan dan kepasrahan: berani melepas yang kita miliki.
Sastra bulan purnama di Tembi kali itu menyuguhkan tema: "Kata Dilisankan, Kata Digerakkan". Tema tadi dikembangkan dari hubungan Rendra dengan guru silatnya dulu, Subur Rahardja. Beberapa sajak Rendra dan pertunjukan dramanya memperlihatkan kaitan antara dunia sastra/teater dengan persilatan. Dalam rumusan Rendra sendiri pada waktu itu kurang lebih: ilmu silat=ilmu surat. Bedanya, dalam ilmu silat tak ada pendekar nomor dua, dalam ilmu surat tak ada pendekar nomor satu.
Para anggota lama Bengkel Teater, yaitu Sitoresmi, Fajar Suharno, Untung Basuki, Tertib Suratmo, Agus Istianto, Eko Winardi, dan Nita Azhar, membacakan sajak-sajak Rendra dengan tuturan terlatih, menjadikan kata berjiwa, sakral seperti pusaka. Tatyana dan Umar Muslim dari Jakarta, yang biasa mengolah sajak jadi lagu, melantunkan sajak-sajak lama Rendra dengan segar.
Kalau semua yang disebut di atas melisankan kata, teman-teman Persatuan Gerak Badan Bangau Putih dari Yogya, Bogor, dan Jakarta malam itu menggerakkan kata. Mereka rutin berlatih olah tubuh. Sejumlah gerak dan jurus biasa diberi nama—kadang sangat puitis.
Mengapa gerak harus punya nama? Kata Guru: agar tubuh mengimajinasikannya. Sebab, kecerdasan bukan hanya di otak, melainkan juga di tubuh. Dalam tubuh yang terlatih tercipta harmoni, lalu harmoni diri menciptakan keselarasan. Makanya, berbahasa jangan sembarangan, dalam silat bisa kena gampar kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar