Data memaparkan fakta yang sangat jelas. Sebanyak 86 persen koruptor yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi berpendidikan tinggi dan mayoritas menyandang gelar agama.

Dari hasil riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pula (2012- 2013) diketahui hanya 4 persen dari orangtua yang menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak-anaknya. Adapun dari survei Global Corruption Barometer 2017, sebanyak 32 persen orang Indonesia lebih memilih melakukan suap untuk melancarkan usaha dan keperluannya.

Kerusakan hulu-hilir itu semestinya sudah cukup menyatakan negara berada dalam keadaan darurat korupsi. Pencegahan dan pemberantasannya terbukti tidak lagi memadai dengan pendekatan institusional dan hukum.

Bertumbuhnya nilai-nilai permisif, pragmatis, menerabas, dan tamak berada di wilayah moral-kultural dan memerlukan terapi  lebih dari sekadar legal formal.

Kendati Indeks Persepsi Korupsi terus membaik dalam lima tahun terakhir—skor 37 dan menempati peringkat ke-96 dari 180 negara tahun 2017—pencapaian itu belum menggambarkan kemajuan signifikan komponen penentu seperti layanan publik, kepastian hukum, kemudahan berbisnis, dan relasi politik-bisnis.

Gunung es underlying corruption ditengarai tetap berlangsung masif. Buktinya, e-procurement, e-planning, dan e-budgeting  disiasati sedemikian rupa sehingga tidak berlaku pada tingkat tertentu.

Data KPK menunjukkan, 180 kasus korupsi terkait penyalahgunaan pengadaan barang dan jasa dan 46 kasus korupsi anggaran sejak 2004 seolah menafikan penerapan one stop service yang seharusnya menjadi garda terdepan tata kelola yang baik (good governance).

Stagnasi kelembagaan

Kendati KPK gencar melakukan penindakan, kejahatan luar biasa ini tidak kunjung surut, tetapi terus berkembang sistemik dan struktural. Disebut sistemik karena menjangkiti semua sektor, sedangkan struktural karena sistem yang terbentuk, sengaja atau tidak, cenderung mendorong orang melakukan korupsi.

Ada beberapa analisis yang menyebabkan korupsi berlangsung sistemik dan struktural. Pertama, hukuman terhadap para pelaku korupsi tidak mengirim pesan kuat berupa efek jera. Vonis ringan pengadilan dan ketiadaan sanksi memiskinkan pelaku menegasikan dampak kerugian, beban keuangan negara, dan dampak sosial-moral.

Situasi ini dapat diterangkan paling tidak disebabkan dua hal, yakni perangkat perundang-undangan belum mencukupi upaya pemberantasan korupsi dan sinergi serta kesatuan tindakan antarpenegak hukum masih lemah serta memendam problem ketidakpercayaan.

Kedua, sistem insentif untuk pejabat di sektor  publik heterogen dan timpang sehingga menyulitkan efisiensi dan justru menyuburkan korupsi. Indikator kinerja yang semata-mata bertumpu pada serapan anggaran dan bukan outcome menyulitkan koordinasi dan sebaliknya malah melanggengkan egosektoral.

Fakta atas desain dan praktik kinerja ini mudah didapati di seluruh Tanah Air. Banyak proyek pembangunan underutilized—sebagian mangkrak—akibat awetnya sikap egosektoral dan audit kinerja aparat pengawasan yang lebih mementingkan kesesuaian peruntukan anggaran dengan wujud fisiknya ketimbang asas manfaat bagi rakyat setempat.

Kondisi tersebut telah berlangsung sejak Orde Baru, tetapi anehnya belum menggerakkan evaluasi dan restrukturisasi menyeluruh.

Dua tahun terakhir, saya berkesempatan mengunjungi pojok-pojok Indonesia: Natuna (Kepulauan Riau), Morotai (Maluku Utara), Sabang (Aceh), Manokwari (Papua Barat), Sumba (NTT), Tanah Grogot (Kaltim), dan banyak daerah lainnya. Cukup mudah menemukan prasarana dan sarana milik negara tidak termanfaatkan sesuai fungsinya. Sebagian besar teronggok sebagai artefak tak berguna.

Ketiga, ongkos politik mahal dalam kontestasi pemilu melahirkan praktik-praktik ijon proyek dan konsesi yang melibatkan aktor penguasa-pengusaha.

Praktik oligarki kekuasaan dan bisnis di beberapa daerah yang menjurus korupsi mengindikasikan persenyawaan kepentingan aparat-penguasa-pengusaha dengan mengorbankan sumber daya alam untuk keuntungan segelintir pihak.

Seluruh fakta ini berhubungan erat dengan kebijakan pragmatis pembangunan jangka pendek (myopic) yang lebih mementingkan aspek administratif dan capaian makro, sebaliknya mengabaikan aspek substansial berupa perbaikan sistem kelembagaan secara komprehensif, berkesinambungan, dan internalisasi pengawasan sebagai landasan kuat pembangunan jangka panjang. Korupsi adalah bencana langsung atas semua kekacauan ini.

Pelajaran banyak negara membuktikan, perbaikan menyeluruh sistem kelembagaan terutama peraturan yang terintegrasi dan fokus pada tujuan jangka panjang—termasuk sistem remunerasi dan sanksi—merupakan prasyarat utama bertemunya capaian makro, pertumbuhan, keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan. Insersi dan implementasi good governance melekat dan menjiwai paradigma ini.

Indonesia berada dalam cekaman kegagalan meraih kemajuan dan terus berkutat dengan korupsi sistemik jika perbaikan kelembagaan tidak menyentuh struktur dan hakikat tata kelola pemerintahan dan bisnis.

Selama 20 tahun reformasi, khususnya setelah 2005, restrukturisasi sistem kelembagaan mengalami stagnasi dan gagal menjentikkan virus perubahan fundamental (Rimawan Pradiptyo dkk, 2018).

Diseminasi

Dalam forum The 3rd Anti-Corruption Summit, 23-24 Oktober 2018 di Makassar, saya mengusulkan kepada KPK dan aktivis  antikorupsi seluruh Indonesia untuk melakukan refleksi mendasar dalam menggalang gerakan masyarakat sipil untuk mencegah merebaknya budaya korupsi.

Kebutuhan melakukan refleksi dan sekaligus reorientasi itu untuk menjawab tantangan berat berupa disorientasi sistem nilai dalam masyarakat dan negara.

Ranah pencegahan yang menjadi ruang gerak aktivis untuk menumbuhkan dan menguatkan partisipasi berbasis masyarakat perlu menjejak kearifan lokal di tengah memudarnya kolektivitas, penjungkirbalikan norma-norma hidup dan sosial.

Pada tataran keluarga sebagai satuan unit sosial terkecil, diseminasi nilai-nilai antikorupsi membutuhkan agen-agen perubahan, teladan autentik, penerapan dan penularan elan yang persisten.

Kita patut mengapresiasi  perkumpulan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) yang berdiri sejak 2014 dengan menyasar target sedari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD).

Penanaman nilai-nilai antikorupsi pada anak-anak menggunakan ibu-ibu sebagai figur sentral pendidikan keluarga dan masyarakat.

Di seluruh Indonesia terdapat lebih dari 12.000 sukarelawan dan agen SPAK dari berbagai latar belakang profesi yang terus bergerak mengampanyekan budaya antikorupsi di lingkungan masing-masing.

Sosialisasi dan diseminasi sembilan nilai antikorupsi oleh SPAK melalui bahan ajar dan peraga mencakup kejujuran, keadilan, kerja sama, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kegigihan, keberanian, dan kepedulian yang dikemas lewat aneka permainan. Modul pendidikan ala SPAK semestinya terintegrasi dalam kurikulum wajib PAUD untuk  bekal pembentukan karakter luhur generasi masa depan.

Cabut gelar

Pembudayaan antikorupsi sebagai arus utama pendidikan dan sosialisasi merupakan kerja besar yang mendesak dan genting. Ini harus menjadi gerakan bersama untuk menangkal kecamuk disorientasi nilai yang menjangkiti seluruh lini kehidupan bangsa. Paralel dengan kebutuhan itu, sekadar afirmasi terhadap gerakan itu jelas tidak mencukupi.

Di ranah lokal, revitalisasi hukum adat yang menjunjung tinggi kehormatan individu lewat perilaku mulia dan menghadirkan legasi penuh kebajikan perlu  diangkat menjadi model inklusivitas penyerbukan silang budaya.

Sanksi sosial berupa "pembuangan" seorang individu dari ikatan komunalnya karena melanggar hukum adat dapat diterapkan kepada para pelaku korupsi untuk memberi efek jera. Kesepakatan yang dibangun untuk kebutuhan ini akan melebarkan front perlawanan berbasis kearifan lokal.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bisa diajak dalam kampanye besar melawan korupsi melalui penguatan eksistensi kelembagaan dan kemitraan inklusif. Relevansi pelibatan AMAN dalam remunerasi sosial sekaligus menjadi wahana efektif untuk menangkal beragam jenis kejahatan korporasi yang menggusur hak-hak masyarakat adat dan lokal.

Ekses yang terus meluas, yakni terpinggirkannya hak-hak masyarakat lokal tatkala berhadapan dengan korporasi, bukanlah fenomena sekarang. Jejak penuh kepedihan dalam beragam konflik agraria itu telah berlangsung lama ("Mereka Tersingkir di Tanah Sendiri", Kompas, 22/10/2018).

Keprihatinan mendalam atas situasi bangsa yang abai terhadap korupsi semestinya menggugah para cerdik-cendekia dan tokoh agama. Pertanyaan yang selalu mengganggu adalah: mengapa di tengah semarak beragama, kesalehan individu-kolektif gagal melansir kultur kesalehan sosial yang cekatan dan tangguh menangkis kebobrokan moral. Penonjolan dimensi simbolik dan gairah penegasan diri (self assertion) belum  mengejawantah dalam praksis perilaku yang teguh menolak penghancuran keluhuran akal-budi.

Pencegahan korupsi seharusnya juga menjadi bagian integral perguruan tinggi. Di negara-negara maju, Filsafat Ilmu atau Etika Profesi merupakan mata kuliah wajib di setiap program dan strata sebagai kelanjutan pembentukan karakter pada jenjang sekolah dasar dan menengah.

Selain membekali dasar-dasar keilmuan, keterbatasan disiplin ilmu masing-masing, dan keperluan membangun sinergi antardisiplin ilmu, etika dalam metode keilmuan bertujuan mendarahdagingkan moralitas pada setiap mahasiswa.

Melalui pendekatan ontologi, epistemologi, dan aksiologi, mahasiswa diajak berselancar memahami kondisi darurat korupsi berikut implikasi seriusnya secara ilmiah. Diseminasi antikorupsi lewat pendekatan keilmuan diharapkan kelak memberi kegunaan berkat menancapnya kesadaran etik dan moral pada alumni.

Dalam hubungan ini, perguruan tinggi patut ditantang untuk mencoreng atau mencabut gelar alumninya apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan kemanusiaan itu.

Perbuatan cacat moral ini jelas mencederai martabat kecendekiaan dan mengingkari sumpah mulia sarjana (Suwidi Tono, "Konvensi Calon Rektor", Kompas 11/8/2017).