Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia—setiap 10 Desember—adalah cara manusia merawat cita-cita luhurnya. Di dalamnya terkandung keyakinan: hidup manusia tidak dapat ditindas dan diperlakukan semena-mena.

Cita-cita itu menegaskan kewajiban bersama untuk menyokong pertumbuhan setiap manusia sehingga dunia terus diperkaya dengan keelokan ragam pesona insani. Cita-cita itu telah 70 tahun terpatri dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Selama rentang waktu itu, ia menjadi kompas yang menuntun laku bangsa manusia melintasi waktu. Di pelbagai pelosok dunia, jutaan orang bertumbuh hidupnya karena Deklarasi Universal HAM secara nyata dirinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, ditambah berbagai instrumen lainnya.

Namun, instrumen-instrumen HAM itu bukanlah jaminan bahwa tak ada lagi pelanggaran HAM di muka bumi. Bukan pula berarti negara yang meratifikasinya menepati janji. Indonesia tak luput dari realitas muram ini.

Dua puluh tahun lalu pekik lantang "Reformasi!" terdengar di seantero negeri ini. Gelombang demokratisasi pun bergulir membawa Indonesia memasuki babak baru. Akan tetapi, setelah dua dekade, pelanggaran HAM masih terus terjadi dan banyak kasus di masa lalu yang belum terselesaikan. Para korban dan keluarganya yang berdiri di bawah payung hitam setiap Kamis di depan istana kepresidenan adalah bukti demokratisasi tidak dengan sendirinya menjamin pemajuan dan perlindungan HAM. Malahan yang belakangan ini terjadi justru sebaliknya. Dengan digitalisasi, kehidupan manusia, demokrasi justru dapat menjadi ancaman terbesar bagi cita-cita luhur melindungi HAM.

Teror mayoritas

Dalam alam pikir manusia modern, demokrasi punya status terhormat sebagai satu-satunya sistem politik yang melindungi manusia dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Itulah kenapa politisi dunia modern dengan aneka latar ideologi senang berlagak sebagai demokrat sejati. Kedigdayaan demokrasi sedemikian tak tertandingi, sampai-sampai demokrasi dilihat sebagai kesalehan dalam berpolitik.

Cara pandang semacam ini bukan tanpa risiko. Dalam Democratic Faith (2005), Patrick J Deneen mengingatkan bahwa sekarang ini demokrasi diperlakukan oleh para pemikir dan praktisi politik bak "obyek pemujaan". Kepercayaan pada demokrasi ini menjelma dalam kesalehan terhadap ritual dan simbol lahiriahnya, seperti kampanye, pemilu, dan penghitungan suara. Karena demokrasi telah jadi apotheosis dari visi politik manusia, warga tidak lagi bertanya apakah lembaga negara yang mengaku demokratis masih setia pada nilai dasar demokrasi. Padahal, dalam kesetiaan itu terletak penghormatan terhadap HAM.

Pendewaan suara mayoritas, apalagi ketika dibalut rapi dengan selubung agama, dengan cepat dianggap sebagai kebenaran mutlak. Ini jadi semakin nyata dengan menguatnya gelombang populisme di panggung politik dunia. Sebagai sebuah taktik politik, populisme diusung oleh para politisi yang menampilkan diri sebagai pembela rakyat kebanyakan yang ditindas oleh elite politik. Dengan penuh perhitungan dan kesengajaan, mereka berkampanye dengan memancing sentimen primordial yang hanya memantik reaksi emosional. Alih-alih mengajak rakyat kritis dan menghargai kelompok yang berbeda, mereka malah terus berteriak, "Karena kami banyak, kamilah pemenangnya. Maka, kami yang benar." Kira-kira itulah kesesatan berpikir yang populer di zaman ini.

Dalam kajian kritis Siva Vaidhyanathan, merebaknya populisme tak lepas dari pengaruh media sosial, khususnya Facebook. Dalam Antisocial Media: How Facebook Disconnects Us and Undermines Democracy (2018), Vaidhyanathan mengungkapkan sebuah refleksi sederhana nan jitu: "Facebook mungkin meningkatkan kualitas hidup pribadi kita… Akan tetapi, secara kolektif kita menjadi lebih buruk akibat Facebook."

Catatan Vaidhyanathan ini tak semata-mata dilandaskan pada daya dan mekanisme internal algoritma Facebook yang menjadikannya begitu efektif dalam menyebarkan berita palsu dan ujaran kebencian demi propaganda politik. Persoalan yang lebih mendasar adalah adiksi pada dunia digital dan media sosial melemahkan kemampuan berpikir secara kritis dan mendalam.

Teknologi digital memang memungkinkan informasi mengalir deras dan memicu gagasan-gagasan baru. Namun, tidak jarang yang tersebar luas di masyarakat hanyalah penyederhanaan gagasan yang menyasar dimensi afektif. Akibatnya, reaksi emosional yang merebak dengan cepat ditangkap oleh algoritma Facebook dan tersebar ke pengguna yang punya preferensi serupa.

Karena tak menerima pandangan alternatif, kelompok mayoritas merasa dibenarkan. Ruang bagi kelompok minoritas yang berbeda pun semakin sempit. Suara mereka, dan lebih mendasar lagi penghormatan terhadap HAM mereka, tenggelam dalam giringan mayoritas yang makin tipis daya kritisnya.

Merawat HAM, membenahi demokrasi

Ancaman ini tidak serta-merta berarti keluhuran cita-cita merawat HAM melalui demokrasi tak lagi bermakna. Itu sama saja dengan buruk muka cermin dibelah. Namun, jalan penitiannya kini makin terjal dan penuh penolakan mayoritas atas nama gerak maju ke masa depan. Padahal, masa depan mustahil terajut tanpa memperhitungkan masa lalu.

Luka lampau hanya sembuh jika ada keberanian membuka luka itu dan menanganinya. Rekonsiliasi sejati memang jalan paradoks. Perdamaian di masa depan dibangun bukan dengan menafikan masa lalu yang penuh pertikaian, tetapi dengan penyelesaian yang adil. Adil berarti ada pengakuan dan pelaku menerima konsekuensi hukumnya. Lugasnya, penghormatan HAM menuntut tidak lagi ada impunitas.

Merawat cita-cita HAM kini juga tak cukup hanya terejawantah melalui perangkat dan penegakan hukum. Selain itu, perlu diupayakan pendidikan HAM dan demokrasi yang menegaskan bahwa demokrasi lebih besar daripada sekadar suara mayoritas dan populisme media sosial. Demokrasi, tepatnya demokratisasi, adalah upaya melibatkan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan agar tidak ada lagi yang direnggut hak-haknya.

Yang luhur ini tentu hanya dapat menjelma apabila manusia setia merawat daya nalarnya. Melalui daya nalarnya, manusia belajar menjadi manusia. Membiarkan digitalisasi kehidupan merampasnya sama saja menanggalkan kemanusiaan. Harganya terlalu mahal. Di situ yang menjadi pertaruhan adalah HAM kita semua, terlebih bagi mereka yang terpinggirkan.