Saat ini negara-negara di dunia sudah menun- jukkan komitmen mereka untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Komitmen ini berarti akan diiringi dengan upaya terintegrasi untuk mencapai target-target pembangunan berkelanjutan sampai 2030. Indonesia tentunya juga tidak ketinggalan dalam memberikan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Hal ini ditunjukkan dengan semakin masifnya upaya untuk merealisasikan target-target SDGs oleh keempat platform, yaitu pemerintah pusat dan daerah, filantropi dan bisnis, akademisi, serta media.

Pembiayaan pembangunan

Tidak disangsikan lagi bahwa upaya-upaya masif untuk melaksanakan SDGs akan membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Pembiayaan dengan pendekatan konvensional akan tidak lagi relevan untuk memenuhi kebutuhan ini. Pendekatan baru pembiayaan menjadi sangat diperlukan sehingga secara efektif dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target-target pada tahun 2030.

UNCTAD (2014) memperkirakan, kebutuhan pembiayaan oleh semua negara di dunia untuk mencapai target-target SDGs adalah 3,8 triliun dollar AS per tahun. Namun, pembiayaan yang tersedia rata-rata setiap tahun untuk pembangunan dunia saat ini 1,4 triliun dollar AS sehingga ada kesenjangan pembiayaan 2,5 triliun dollar AS per tahun. Gap ini tentunya harus ditutup oleh sumber-sumber pembiayaan baru yang nonkonvensional dan perlu dikelola dengan cara baru juga.

Pembiayaan pembangunan tidak mesti seluruhnya menjadi beban pemerintah. Secara teori ekonomi, kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan adalah seluruh nilai total investasi yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, yang bersumber dari tabungan luar negeri dan dalam negeri.

Posisi tabungan global saat ini berada pada kisaran 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dunia (Bank Dunia, 2017). Bahkan, gabungan posisi tabungan China, Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan adalah 40 persen dari PDB negara-negara tersebut. Gambaran posisi tabungan ini menunjukkan bahwa potensi investasi global masih cukup besar. Namun, hal terpenting adalah bagaimana merumuskan cara yang efektif untuk memobilisasi dana-dana ini sehingga dapat diarahkan untuk membiayai investasi pembangunan berkelanjutan.

Salah satu kendala untuk memobilisasi investasi di negara-negara maju adalah rendahnya laba atas investasi sehingga para investor tidak tertarik untuk berinvestasi. Sebagai contoh, surat utang Pemerintah AS (US Treasury Bonds)jangka waktu 10 tahun hanya memberikan suku bunga 2,2 persen; sementara di Jerman dan Perancis kurang dari 1 persen.

Negara-negara berkembang secara umum dapat memberikan laba atas investasi yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara maju, tetapi kendala lain sering dihadapi para investor untuk berinvestasi di negara-negara berkembang. Kendala itu, misalnya, adalah permasalahan transparansi proyek, biaya transaksi dan biaya investasi yang cukup tinggi karena prosedur yang tidak jelas, tingkat korupsi, serta tidak tersedianya variasi model pembiayaan yang dapat menyalurkan investor ke proyek-proyek yang memadai.

Seiring dengan upaya pembangunan berkelanjutan yang memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan investasi yang jauh lebih besar, para investor non-pemerintah harus didorong untuk lebih banyak berinvestasi pada jenis-jenis proyek yang dapat membantu percepatan pencapaian target-target pembangunan berkelanjutan melalui skema pembiayaan baru yang lebih menarik.

Inovasi baru pembiayaan

Beberapa lembaga internasional telah mulai menggulirkan konsep-konsep baru yang merupakan bentuk inovasi pembiayaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah mengeluarkan konsep blended finance, yang menawarkan peluang pembiayaan pembangunan yang inovatif sehingga dapat memobilisasi pembiayaan swasta dengan cara menurunkan tingkat risiko proyek-proyek yang tidak layak menjadi layak secara ekonomis (economically viable).

UNESCAP (2017) telah mengeluarkan konsep inovasi pembiayaan pembangunan (innovative financing for development) yang dirumuskan sebagai bentuk-bentuk pembiayaan yang berbeda dari praktik-praktik standar pembiayaan serta dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap sosial-ekonomi dan lingkungan. Sebagai contoh, model inovasi pembiayaan yang telah dilakukan Thailand adalah dengan membentuk National Task Force on Social Impact Investment, yang antara lain beranggotakan wakil pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat. Kemudian, investor internasional pun dijadikan anggota pemerhati (observer)dalam gugus tugas tersebut. Tugas dari gugus tugas adalah memperluas jangkauan pemerintah dalam melibatkan pihak swasta dan masyarakat untuk mendorong tujuan pembangunan berkelanjutan, terutama untuk mencapai Tujuan 9 (industri, inovasi, dan infrastruktur), Tujuan 8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), dan Tujuan 17 (kemitraan untuk mencapai tujuan).

Salah satu upaya India menggalang pembiayaan untuk pembangunan berkelanjutan adalah dengan mengeluarkan UU Tanggung Jawab Sosial Korporasi (CSR), dengan fokus mempercepat pelaksanaan Tujuan 1 (tanpa kemiskinan), Tujuan 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab), dan Tujuan 16 (perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh). Dengan UU ini, India berhasil memobilisasi dana CSR cukup cepat sehingga berhasil meningkatkan pengumpulan dana CSR tahun 2015-2016 sebesar 100 juta dollar AS. Dalam UU ini ditegaskan, setiap perusahaan wajib menyisihkan 2 persen keuntungan bersih untuk kegiatan CSR yang mendukung Tujuan 1, Tujuan 12, dan Tujuan 16.

Beberapa komitmen internasional juga telah menggarisbawahi pentingnya peranan sektor swasta dalam mewujudkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Sebagai contoh, Busan Partnership for Effective Development  (2011), Addis Ababa Action Agenda (2015), dan 2030 Agenda for Sustainable Development yang diluncurkan pada September 2015. Kesepakatan-kesepakatan global ini menekankan perlunya partisipasi pelaku usaha yang lebih besar dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan serta menekankan perlunya inovasi mekanisme keuangan dalam memobilisasi pembiayaan swasta untuk melaksanakan agenda pembangunan berkelanjutan.

Contoh baik inovasi di Indonesia

Indonesia pun tak ketinggalan dalam membuat terobosan baru untuk skema pembiayaan yang dapat mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) telah meluncurkan buku Fiqih Zakat untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Fiqih Zakat on SDGs). Buku ini merupakan sumbangan dan bentuk komitmen dari organisasi masyarakat Islam untuk menyalurkan dana zakat kepada kegiatan pembangunan berkelanjutan sehingga pemanfaatannya dapat terarah pada kegiatan yang lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat luas yang membutuhkan. Patut dibanggakan karena Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang masyarakat Muslim-nya telah memberikan komitmen penting untuk berkontribusi secara signifikan dalam mempercepat tercapainya SDGs.

Baznas menyatakan bahwa ada persamaan yang cukup jelas antara SDGs dan zakat karena nilai-nilai yang tertuang dalam SDGs juga mencerminkan nilai-nilai Islam yang harus ditangani oleh dana zakat. SDGs mengatasi permasalahan kemiskinan, kelaparan, serta mengurangi kesenjangan antarkelompok dan wilayah, di mana tujuan-tujuan ini sejalan dengan  prinsip-prinsip zakat dalam Islam, yang diarahkan untuk mengatasi lima tujuan mendasar yang dikenal sebagai Maqasid al Sharia: perlindungan terhadap keyakinan, kehidupan, keturunan, akal, kekayaan.

Contoh pemanfaatan dana zakat untuk SDGs adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di Provinsi Jambi.  Pembangkit listrik ini hasil kolaborasi lintas pelaku dengan skema Blended Finance, di mana pembiayaan bersumber dari Kementerian ESDM, Baznas, Bank Jambi, dan United Nations Development Programme (UNDP). Contoh lain Bengkulu yang sudah menyatakan sebagai Kota SDGs dan berkomitmen menerapkan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan. Kota SDGs ini dikembangkan atas hasil kerja sama antara Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dan unsur pemerintah setempat, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat (LAZ), Filantropi Indonesia, perwakilan kampus di Bengkulu, dan LSM.

Dana zakat melalui Baznas disalurkan ke Kota SDGs ini untuk program pengelolaan sampah menjadi bijih plastik, pengembangan UKM, serta peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan. Kesuksesan skema kolaborasi ini ternyata dapat jadi inspirasi bagi pelaksanaan proyek-proyek berikutnya sehingga peran pelaku nonpemerintah kian nyata dalam proses pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Sektor swasta pun saat ini mulai menunjukkan upaya baiknya untuk berkomitmen terhadap pembiayaan SDGs melalui pengarusutamaan  aspek-aspek pembangunan berkelanjutan ke dalam proses bisnisnya. Sampai 2016 telah tercatat 49 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang menerbitkan laporan keberlanjutan. Dan, pada 2017, laporan berkelanjutan yang disampaikan mengalami kenaikan menjadi 71 perusahaan.

Sumber-sumber pembiayaan inovatif lainnya yang sudah mulai digulirkan adalah Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA), pembiayaan melalui pasar modal (contoh: Kehati Index) dan pasar uang (green bond), pembiayaan berkelanjutan melalui lembaga keuangan (bank, LKM, modal ventura, dan lain-lain), dan skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) yang melibatkan peran swasta dalam memeratakan pembangunan. Selain itu, mekanisme debt swap to SDGs, mekanisme impact investing, serta pembiayaan inovatif melalui Blended Finance (pemerintah, swasta, dan filantropi) adalah bentuk-bentuk pembiayaan inovatif yang telah dirintis oleh Indonesia untuk mendorong pencapaian SDGs di Indonesia secara efektif dan efisien.

Upaya inovasi pembiayaan pembangunan berkelanjutan tentunya tak akan berhenti sampai di sini. Ke depan, masih perlu inovasi lebih besar dan lebih banyak dari berbagai platform SDGs. Untuk itu, pemerintah, akademisi, pelaku usaha, filantropi, organisasi masyarakat, dan media perlu terus menggali inovasi-inovasi baru agar pembiayaan untuk mencapai SDGs dapat digalang dengan lebih baik dan lebih masif, dengan mekanisme-mekanisme baru yang lebih efisien dan efektif.