DIDIE SW

Prognosis JKN 2019

 

Memasuki tahun ke-6 Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN, media dan forum ilmiah dipenuhi perdebatan defisit JKN. Banyak usulan solusi yang tidak selaras dengan visi-misi dan konsep JKN disodorkan. Namun, tak sedikit solusi yang ditawarkan tak sesuai dengan diagnosis penyakit JKN.

Sebagai contoh, Prof Laksono mengusulkan BPJS Kesehatan (selanjutnya disebut BPJS) hanya mengurusi orang miskin, yang kaya urus sendiri atau beli asuransi komersial. Tidak ada basis ilmiah dan tidak ada negara yang menjalankan konsep itu. Beberapa pejabat pemerintah meminta BPJS menekan fraud, kecurangan, di rumah sakit (RS). Sebagian pejabat BPJS sibuk mengatur pemda ikut bertanggung jawab atas defisit JKN. Banyak solusi yang ditawarkan tidak selaras, "tangan yang sakit, tetapi kaki yang diobati".

Solusi atau terapi punya kesamaan prinsip, yaitu terapi kausal. Cari (diagnosis) penyebabnya, baru jalankan terapi/solusi. Banyak pihak tak mampu atau tidak mau melakukan diagnosis yang tepat. Banyak komentar keliru ramai dibahas. Misalnya, defisit JKN terjadi karena BPJS hanya mendanai tindakan kuratif, tingginya penyakit kronis, peserta pekerja bukan penerima upah mengambil uang penerima bantuan iuran, BPJS menangani seluruh penduduk, atau banyaknya fraud di RS.

Pencitraan BPJS dengan menggandeng KPK ditangkap sebagai sinyal defisit JKN karena fraudFraud pasti ada, tetapi berapa besar? Bisakah BPJS atau KPK mengeluarkan bukti berapa nilai fraud JKN? Tidak pernah terungkap seperti kasus tangkap tangan. Kekeliruan diagnosis tersebut menyebabkan solusi JKN belum terjadi.

Penyakit utama JKN adalah defisiensi dana kronis, sama dengan anemia malnutrisi berat pada manusia. Penderita anemia berat menimbulkan banyak gejala, seperti lesu, tidak produktif, tak bisa konsentrasi, tak mampu berdiri, semutan, bahkan kerusakan organ ginjal, hati, dan jantung. Begitulah penyakit JKN telah menimbulkan penolakan pasien, pemaksaan pasien membayar sebagian, memaksa fasilitas kesehatan membatasi jam pelayanan atau kuota pasien JKN.

Gejala sistemis kerusakan organ JKN, seperti RS dan industri farmasi, mulai tampak. Beberapa RS sudah memasuki fase kritis. Jika tidak ada transfusi dana, RS tersebut akan tutup. Industri farmasi sudah amat tertekan. Beberapa industri farmasi sudah mengurangi karyawan dan siap-siap tutup. Gejala komplikasi penyakit anemia berat JKN sudah mulai tampak.

Anemia berat JKN

Bukti diagnosis JKN bukan dari omongan pejabat publik, keluhan peserta, keluhan dokter, atau keluhan BPJS. Semua keluhan itu sudah banyak terdengar. Diagnosis kausal defisit JKN harus dilihat dari fakta-fakta, angka-angka, sama dengan hasil laboratorium pada diagnosis penyakit manusia. Bank Dunia menyediakan "data laboratorium" sistem JKN dan sistem kesehatan beberapa negara. Berikut analisis data terbaru Bank Dunia tersebut.

Untuk menilai komitmen negara menyehatkan rakyatnya, kita bandingkan nilai belanja kesehatan publik dan porsi belanja kesehatan terhadap produk domestik bruto (PDB). Besaran belanja kesehatan per kapita juga faktor terpenting tingkat kualitas layanan kesehatan. Kualitas layanan berhubungan erat dengan asupan (input) dana.

Tahun 2015, belanja kesehatan Indonesia per orang/tahun hanya 112 dollar AS. Bandingkan dengan di Filipina (127 dollar AS), Thailand (217), Malaysia (386), China (426), dan Singapura (1.280). Jangan heran jika banyak orang Indonesia berobat ke China, Malaysia, Singapura, dan tak ada yang sebaliknya. Kualitas layanan RS di sana pasti lebih baik, dengan belanja kesehatan 3-10 kali lebih banyak daripada Indonesia. Pastilah dokter dan tenaga kesehatan bekerja lebih baik dan RS bisa membeli alat kedokteran yang mutakhir.

Tingkat kepedulian pemerintah terhadap kesehatan rakyatnya diukur dengan belanja kesehatan publik, dari APBN dan BPJS. Tampak Pemerintah Indonesia paling "pelit". Belanja kesehatan publik Indonesia hanya 43 dollar AS per orang pada 2015. Belanja BPJS hanya 30 dollar AS. Jumlah itu lebih kecil daripada belanja kesehatan Pemerintah Thailand (170 dollar AS), Malaysia (233), China (254), dan Singapura (1.132). Bahkan, belanja kesehatan Pemerintah Indonesia masih di bawah Timor Leste (45 dollar AS) dan Vietnam (49). Padahal, pendapatan per kapita Indonesia sudah jauh lebih tinggi. Namun, ketika JKN mengalami defisit lima tahun berturut-turut, pemerintah masih belum mau menaikkan iuran JKN dan menaikkan hibah APBN untuk JKN. Esensi JKN adalah pendanaan publik, dari iuran dan hibah pemerintah.

Ukuran yang paling menentukan keberhasilan JKN adalah porsi belanja rumah tangga atau out of pocket (OOP) dibandingkan semua belanja kesehatan. Standar internasional adalah porsi OOP di bawah 20%. Di Indonesia OOP masih tinggi, yaitu 48%. Artinya, hampir separuh biaya kesehatan jadi beban rakyat. Di negara-negara maju, porsi OOP hanya 11-15%. Di Thailand, OOP 12% dan di Timor Leste hanya 10%. Artinya, penduduk Indonesia belum merdeka dari risiko pemiskinan akibat sakit.

Prognosis 2019

Tahun politik sangat tidak menguntungkan tenaga kesehatan dan rakyat. Karena JKN menderita anemia berat, tenaga kesehatan menderita "anemia berat" dan dihujat rakyat. Pasien dan tenaga kesehatan jadi korban terberat. Adakah harapan setelah April 2019? Ada, jika Jokowi dan tim pemerintah mau realistis. Sumber dana tersedia cukup. Asal ada kemauan politik, JKN bisa segera dipulihkan. Jika Jokowi menang, di tahun 2019 ada kesempatan untuk transfusi JKN. Jika Prabowo yang menang, tahun 2019 mungkin belum akan terjadi perubahan. Jika Prabowo punya kemauan politik, paling cepat 2020 perubahan mulai tampak.

Fakta ketersediaan dana di masyarakat bisa dilihat dari angka-angka pertumbuhan ekonomi. Program JKN adalah instrumen ekonomi, bukan instrumen politik. Namun, dalam praktiknya memang tidak lepas dari kepentingan politik. Kita tunggu sampai April 2019.