KOMPAS/RIZA FATHONI

Peserta mengikuti acara Pawai Budaya dalam rangka penutupan Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) di Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (9/12/2018). Acara yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini adalah upaya untuk meramaikan lagi isu-isu kebudayaan di Indonesia. Pawai Budaya diikuti 3.400 peserta dan setiap provinsi diwakili 100 orang.

 

Banyak aspirasi muncul di Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. Dari KKI lahir rumusan strategi kebudayaan yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo.

Seperti disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, rumusan strategi kebudayaan merupakan puncak perjalanan panjang. Namun, untuk republik ini, hal itu merupakan awal untuk berbuat. Kita garis bawahi pernyataan tersebut bahwa, setelah perhelatan usai, tiba saatnya bekerja menjadi Indonesia bangsa yang berkebudayaan.

Dari apa yang kita baca di harian ini, Senin (10/12/2018), Kepala Negara menyinggung pentingnya panggung atau ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan panggung yang dimaksud Presiden adalah panggung interaksi yang bertoleransi.

Bahwa tema sambutan Presiden berkisar pada isu toleransi, antara lain, adalah karena banyak ujaran kebencian yang marak akhir-akhir ini menegaskan, sesungguhnya menjadi bangsa berkebudayaan tidak saja niscaya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga mendesak.

Dalam pemahaman umum, bangsa yang berkebudayaan, lebih-lebih yang berkebudayaan tinggi, menorehkan peradaban besar. Bangsa-bangsa Eropa, misalnya, berkebudayaan tinggi karena warisan kebudayaannya, baik artefak maupun keadabannya, nyata.

Di Asia, sekadar menyebut, China dan Jepang juga meninggalkan jejak kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Bangsa Amerika, meski relatif lebih muda dibandingkan dengan bangsa Eropa, telah meninggalkan jejak kebudayaan tinggi.

Jika dalam kebudayaan, selain religi, juga ada kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, dan bahasa, boleh jadi kita baru bisa berbangga dalam hal kesenian dan bahasa, sementara untuk religi kita masih bertanya, sudah berkebudayaankah kita? Kalau sudah, mengapa dalam berbagai kesempatan Presiden dan tokoh masyarakat masih menyerukan toleransi?

Dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kita harus mengakui kita tertinggal dari bangsa maju. Saat bangsa Amerika akan memperingati 50 tahun pendaratan di Bulan dan menjajaki misi ke Planet Mars, kita masih asyik main gawai dengan sedikit pengetahuan tentang isi dan fungsi komponennya. Kita akui, kita masih dalam tataran konsumen dalam ilmu dan teknologi.

Dalam opininya di harian ini, Guru Besar UIN Surabaya Akh Muzakki memberi sejumlah catatan kritis terkait dengan pembangunan infrastruktur dalam konteks kebudayaan.

Tesisnya, tanpa disertai pembangunan suprastruktur yang di antaranya menyentuh pengembangan nilai luhur bersama, penguatan karakter sosial, pembangunan mental-spiritual dan afeksi sosial, serta pembangunan spirit sosial, pembangunan infrastruktur hanya terkesan fisik-material dan jelas tidak memadai.

Dengan segala hormat terhadap kinerja pemerintah dan meningkatnya konektivitas, kita mengamati betapa moralitas masyarakat masih jauh dari aras ideal. Berkebudayaankah kita jika perilaku koruptif terus merebak?

Berkebudayaankah kita ketika perilaku berlalu lintas penuh dengan main terobos tanpa mengindahkan rambu? Kita berpandangan, berkebudayaan itu adalah berkeadaban. Dengan laku penuh adab, kita berharap akan muncul peradaban sebagai buah kebudayaan. Semakin tinggi peradaban, kita semakin berkebudayaan.

Kompas, 11 Desember 2018