KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Ledi Lamanepa (20) bersama suami dan tiga anaknya berjalan kaki dari Desa Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, menuju kebun, Minggu (4/11/2018). Pasangan muda itu tinggal di sebuah gubuk di kebun lantaran belum memiliki rumah tinggal di desanya.

Prakarsa-prakarsa lokal sebagai prasyarat dan fondasi kemandirian dan demokrasi desa di banyak daerah tampak mengalami anomali dan paradoks. Yang terjadi justru tumpang tindihnya peraturan dan kebijakan yang mengepung desa.

Upaya memperpendek mata rantai birokrasi dalam setiap eksekusi kebijakan sering menabrak tembok besar birokrasi itu sendiri. Meski tidak semuanya, kerja-kerja birokrasi di banyak daerah tampak terjerat dalam tradisi lama: lamban dan berbelit. Masih terdapat jurang yang lebar antara politik legislasi, instrumentasi kebijakan, dan praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang baik.

Penyaluran lambat

Progres keterlambatan penyaluran dana desa di setiap tahap mungkin bisa menjadi contoh dalam hal ini. Penyaluran dana desa dari RKUD ke RKD hingga saat ini baru mencapai Rp 39,50 triliun atau 65,84 persen dari total pagu Rp 60 triliun.

Sementara pada tahap ketiga penyaluran dana desa hingga ke tingkat desa baru mencapai Rp 4,13 triliun atau 17,22 persen dari pagu tahap 3, yang mencakup 12.834 desa atau 17,12 persen dari total jumlah desa secara nasional yang berjumlah 74.957 desa.

Dalam hal keterlambatan penyaluran dana desa, kesalahan tidak bisa sepenuhya ditimpakan kepada desa. Jika dirunut sampai hulu, ternyata terdapat bertumpuk kebijakan dan aturan yang justru menghambat tujuan yang hendak dicapai. Meminjam analisis Weber, instrumentalisasi birokrasi justru menciptakan sangkar besi dalam hal ini.

Terdapat beberapa hal yang memicu kerumitan dan berbelitnya kebijakan. Pertama, panjangnya mata rantai birokrasi. Kunjungan penulis ke sebuah kabupaten, misalnya, menemukan akar masalah mengapa penyaluran dana desa bahkan sangat lamban pada awal-awal penyaluran. Penyebab utamanya ternyata bahwa untuk sampai pada tahap pencairan dana desa, proses administrasi harus melalui sembilan mata rantai birokrasi.

Kedua, persoalan politik di daerah sering kali juga "menunggangi" kebijakan yang seharusnya segera diambil kepala daerah. Keterlambatan penyaluran dana desa di banyak daerah tidak sedikit yang justru berembrio dari peraturan bupati (perbup) yang tak kunjung tuntas. Dalih penataan dan penempatan pejabat biasanya menjadi alasan klasik ketika sebuah kebijakan tidak segera diterbitkan.

Ketiga, tumpang tindihnya aturan dan kebijakan antarkementerian/lembaga. Sekadar catatan, dalam hal pelaporan dan persyaratan pencairan dana desa, misalnya, terdapat tiga aturan yang harus diselesaikan.

Mulai dari aplikasi OM SPAN (Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara) dari Kementerian Keuangan, aplikasi Siskeudes yang diterbitkan BPKP, hingga aplikasi Sipede (Sistem Pembangunan Desa) dari Kementerian Desa.

Pertanyaan yang sering dan hampir pasti diajukan desa dan juga daerah, tidak bisakah aturan-aturan tersebut lebih disederhanakan? Tidak bisakah beberapa kementerian/lembaga duduk bersama dan merumuskan satu aturan atau kebijakan yang bisa menjadi acuan bersama?

Suara-suara kritis tersebut jelas jauh dari maksud bahwa desa enggan untuk diawasi atas anggaran yang mereka dapatkan. Kita semua tentu tidak alergi, apalagi antipati, terhadap kebijakan atau aturan karena memang lewat itulah pengawasan dilakukan. Lewat aturan pula potensi penyimpangan diminimalkan.

Yang tidak kita inginkan adalah munculnya berbagai aturan dari berbagai lembaga yang tumpang tindih, yang dalam banyak hal justru menjebak desa untuk berkutat pada soal administrasi semata. Ketika itu yang terjadi, kita khawatir prakarsa-prakarsa lokal yang menjadi spirit utama UU Desa justru mengalami defisit dalam dirinya sendiri.

Masih obyek

Ketika prakarsa-prakarsa lokal terampas, desa akan kembali hanya sebagai obyek yang bahkan selalu disibukkan oleh hal-hal administratif yang tampak sangat berlebihan. Hal tersebut tentu sah-sah saja dan baik sepanjang ia tidak menghilangkan tujuan utama.

Hanya saja dibutuhkan kemauan untuk duduk bersama dan melakukan penyederhanaan terkait berbagai aturan yang terkait dengan desa sehingga tidak tumpang tindih.

Maknanya bahwa negara tidak boleh lagi memutar jarum jam ke belakang dengan menjadikan desa sebagai obyek. Negara harus memberikan kepercayaan penuh kepada desa dan masyarakat desa dalam merumuskan setiap proses pembangunan. Stereotip yang dilekatkan pada desa dan masyarakat desa bahwa mereka tidak berdaya menentukan masa depan mereka sendiri harus dibuang jauh-jauh.

Karena itu, hal mendesak yang harus segera dibenahi adalah melakukan reformasi tata kelola tidak hanya terbatas pada kebijakan dana desa, tetapi juga pada pelayanan publik secara umum.

Komitmen ini penting karena dalam satu dasawarsa terakhir tata kelola dalam soal pelayanan publik menunjukkan kecenderungan cukup kuatnya orientasi pemerintah pada peningkatan efisiensi dan produktivitas. Hanya, yang harus dilakukan adalah mengurangi ketimpangan regional dalam soal tata kelola.

Selain itu, harus ada pola pikir yang diubah di jajaran birokrasi. Masih banyak cara pandang yang melihat pelayanan hanya sebagai pemenuhan tugas formal dan target yang telah ditetapkan sehingga menafikan sisi relevansi kebijakan dan muatan kepentingan riil masyarakat.

Cara pandang demikian harus diubah bahwa pelayanan publik merupakan fungsi dari tanda hadirnya negara, yang salah satunya secara strategis mewujud melalui instrumen kebijakan.

Sedikitnya terdapat tiga masalah yang sering muncul dalam masalah pelayanan publik. Pertama, pada tataran politik legislasi. Paradigma kebijakan pelayanan publik di beberapa daerah memang banyak yang tidak bertolak dari hak dasar dan kebutuhan nyata masyarakat, tetapi berdasar jenis urusan yang dimiliki pemerintah.

Kedua, pada level instrumentasi kebijakan. Contoh dalam masalah ini bisa kita lihat pada kasus penyeragaman mutu layanan lewat konsep SPM (Standar Pelayanan Minimum). Kasus penerapan SPM adalah satu bukti bagaimana pemerintah/lembaga bekerja hanya memenuhi angka (satuan out put) yang telah ditetapkan, terlepas apakah memang capaian numerik itu secara kualitatif dan kuantitatif mencerminkan terpenuhinya kebutuhan warganya atau tidak.

Ketiga, dalam soal penjabaran dan praktik penyelenggaraan layanan. Implikasi dari lemahnya kerangka kebijakan nasional dalam desain besar otonomi daerah telah menyebabkan pelayanan di banyak daerah hampir tak berubah signifikan, bahkan pada sisi lain memperparah kesenjangan gerak maju antardaerah.

Dalam kasus kebijakan penyaluran dana desa, misalnya, ada satu daerah yang sangat responsif dan begitu cepat dalam eksekusi, tetapi pada saat bersamaan ada daerah yang mata rantai birokrasinya justru begitu panjang dan berbelit.

Dari semua hal di atas, kita ingin menegaskan bahwa banyaknya ragam aturan dan kebijakan yang seolah mengepung desa tidak boleh memangkas prakarsa-prakarsa lokal dalam melahirkan inovasi-inovasi.

Sebuah reformasi tata kelola mutlak diperlukan guna membangkitkan prakarsa-prakarsa lokal. Sudah saatnya kebijakan dan aturan yang terkait desa tidak boleh memasung, bahkan menyandera, kreativitas masyarakat desa.