Tindakan biadab itu harus dikutuk keras dan diproses hukum hingga tuntas. Namun, yang lebih menakutkan: makin sering muncul kabar serangan fisik terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat membuat kita abai dan akhirnya imun alias tak lagi peduli.

Pemberitaan serangan fisik dan teror terhadap komisioner dan pegawai KPK mulai sulit untuk diingat karena sudah menjadi deret ukur, saking banyaknya. Tanpa mengecilkan berbagai serangan lain, beberapa yang terbaru adalah teror bom molotov ke rumah Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarief. Yang paling monumental adalah serangan air keras ke mata Novel Baswedan.

KPK dibunuh lagi

Semua serangan fisik dan teror itu masih menjadi kasus di kepolisian, dan belum terungkap siapa pelakunya. Tanpa hukuman tegas dan berat kepada pelaku, serangan fisik kepada KPK akan terus berulang dan menjadi ruang nyaman bagi corruptors fight back. Eksistensi KPK terbunuh lagi.

Saya katakan "lagi" karena KPK tidak boleh hanya dibaca sebagai institusi antikorupsi yang ada sekarang. KPK harus dipahami sebagai lembaga antikorupsi yang pernah dilahirkan republik ini. Jadi, pembunuhan KPK artinya adalah pembunuhan yang sudah berulang kali dilakukan terhadap lembaga-lembaga antikorupsi yang pernah ada di Tanah Air.

Adalah fakta sejarah bahwa korupsi sudah menggerogoti sejak republik ini masih belia. Komisi Pemberantasan Korupsi yang sekarang merupakan reinkarnasi ke-12 dari kelembagaan antikorupsi yang pernah lahir di Tanah Air. Sebelas lembaga pendahulu dibunuh dengan berbagai modus operandi, tetapi pelakunya sama: para koruptor dan pendukungnya yang merasa terancam dengan keberadaan lembaga antikorupsi.

Dalam buku Jangan Bunuh KPK, saya menyimpulkan ada empat modus operandi awal pembunuhan lembaga antikorupsi Indonesia.

Pertama, lembaga lama dibunuh dengan membentuk badan baru, yang lebih lemah kekuatannya. Kedua, lembaga antikorupsi secara resmi dibubarkan begitu saja. Ketiga, tidak ada pembubaran secara resmi, tetapi dibiarkan hidup tanpa dukungan dan peran yang jelas, dan akhirnya mati dalam diam. Keempat, dibunuh dengan membatalkan dasar hukum pembentukannya.

Modus-modus pembunuhan itu sudah diterapkan lagi pada KPK, tetapi belum berhasil secara efektif membunuh KPK. Dibandingkan ke-11 pendahulunya yang bertahan hidup hanya hitungan bulan, KPK yang dibentuk dengan UU Nomor 30/2002, dan diundangkan pada 27 Desember 2002 melalui tanda tangan Presiden Megawati Soekarnoputri, adalah lembaga antikorupsi yang paling tangguh. Terbukti masih terus bertahan hingga usia lebih dari 16 tahun saat ini.

Namun, sistem gerendel pertahanan KPK sudah melemah. Akibat serangan yang terus bertubi-tubi, tanpa ada upaya proteksi serius, kematian (lagi) KPK hanyalah soal waktu.

Tiga serangan utama

Saya mengidentifikasi empat modus operandi awal pembunuhan KPK di atas, saat ini mewujud dalam tiga bentuk serangan utama. Ketiga serangan itu adalah serangan konstitusional (constitutional attack), serangan institusional (institutional attack), dan serangan personal (personal attack).

Serangan konstitusional yang bertubi-tubi terlihat jelas melalui berbagai uji konstitusionalitas atas UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Hingga 2017, tercatat minimal ada 21 kali permohonan pengujian atas UU KPK, menjadikan UU itu sebagai salah satu peraturan yang paling banyak disoal konstitusionalitasnya ke hadapan MK.

Untungnya, kebanyakan serangan pada KPK melalui MK itu tidak membuahkan hasil. Dalam banyak keputusannya, MK justru menegaskan, eksistensi dan kewenangan KPK yang luar biasa adalah upaya konstitusional bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi bukan dengan cara biasa saja. Tidak sedikit putusan MK yang progresif, berlandaskan urgensi moral-konstitusional antikorupsi, menyelamatkan KPK.

Karena peran MK sangat strategis dalam mengawal konstitusi, termasuk agenda pemberantasan korupsi, pemilihan hakim konstitusi yang sekarang dilakukan DPR menjadi momen yang tidak bisa disia-siakan untuk memasukkan kembali hakim konstitusi yang tidak hanya punya kompetensi-intelektual hukum yang mumpuni, juga integritas moral antikorupsi yang tidak terbeli.

Salah satu cerita sukses yang menurut saya patut dicontoh adalah ketika Panitia Seleksi Hakim Konstitusi MK bentukan Presiden Joko Widodo berhasil menjaring Saldi Isra—Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang juga aktivis antikorupsi—sebagai hakim konstitusi. Seharusnya tidak berlebihan jika kita berharap bahwa DPR yang dibantu tim panel ahlinya juga berhasil menjaring dua hakim konstitusi antikorupsi yang akan dilantik pada akhir Maret mendatang.

Serangan kedua, yaitu serangan atas lembaga KPK (institutional attack) biasanya merupakan bentuk serangan yang lunak dan tak langsung. Secara kasatmata, serangan ini absah menurut hukum karena dilakukan dengan cara-cara yang dijamin aturan perundangan. Contohnya adalah upaya untuk merevisi UU KPK, yang sejak lama terus disuarakan dan yang paling akhir berhenti dengan penolakan dari Presiden Jokowi. Termasuk model serangan legislative review ini adalah rumusan terkait korupsi dalam RUU KUHP, yang juga belum selesai dibahas.

Model lain serangan institusional ini adalah upaya politik untuk mengajukan hak angket terhadap KPK, utamanya ketika ada kasus KTP elektronik. Upaya itu kini tidak lagi terdengar kelanjutannya seiring terbuktinya kasus korupsi tersebut di persidangan. Namun, sejarah mencatat bagaimana gerakan politik angket telah dimanfaatkan untuk menyerang KPK, yang sayangnya dikonstitusionalkan melalui putusan MK, dengan empat hakim memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion): Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, dan Suhartoyo.

Model ketiga adalah serangan personal. Modusnya ada dua, yaitu kriminalisasi dan serangan fisik. Kriminalisasi di sini adalah istilah hukum populer yang maknanya adalah menjerat pimpinan atau pegawai KPK dengan kasus yang tak berdasar hukum sama sekali, alias dibuat-buat (malicious prosecution). Yang paling brutal dan keji adalah serangan fisik, sebagaimana terbukti dengan kejadian terakhir, penganiayaan atas dua penyidik KPK, serta pembutaan atas mata pejuang antikorupsi Novel Baswedan.

Isu kepresidenan

Adalah keniscayaan untuk mengatakan bahwa penyelamatan KPK merupakan isu sangat penting bagi penyelamatan bangsa Indonesia, dan karena itu "maqom"-nya harus diletakkan pada derajat paling tinggi sebagai isu kepresidenan. Hal demikian untuk menegaskan bahwa penyelamatan KPK harus menjadi salah satu agenda utama presiden Indonesia, siapa pun orangnya. Menjadikan isu kepresidenan itu tidak hanya bermakna penyelamatan KPK menjadi bahan pidato yang penuh dengan retorika, tetapi sang presiden harus turun gelanggang menghadapi para penyerang KPK, melakukan berbagai tindak nyata, dengan segala risikonya.

Dalam sistem presidensial, meskipun tidak selalu mudah, setelah menjadi presiden terpilih, magnet kekuasaan yang dimilikinya biasanya akan mampu membuat presiden menarik parpol untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan. Modal kekuatan konstitusional (constitutional power) dan kekuatan koalisi pemerintahan (governing power) itu harus mampu diarahkan presiden untuk melindungi KPK dari upaya pembunuhan.

Siapa pun presiden yang akan terpilih ke depan, saya mengusulkan langkah darurat penyelamatan segera dilakukan kepada KPK, yaitu dengan, pertama, membentuk panitia seleksi terbaik yang terdiri atas tokoh-tokoh bangsa yang tak diragukan kredibilitasnya untuk melalukan proses pemilihan pimpinan KPK yang akan menggantikan pimpinan sekarang yang akan berakhir masa jabatannya pada akhir 2019. Ini perlu dilakukan agar personel pimpinan KPK dapat terpilih orang-orang pemberani terbaik, yang setengah malaikat.

Kedua, membentuk Tim Independen Penyelamatan KPK, yang diisi para ahli hukum terbaik yang mempunyai kemampuan penyelidikan dan penyidikan, yang diberi tugas untuk mengusut tuntas pelaku-pelaku penyerangan teror dan fisik kepada seluruh pimpinan dan pegawai KPK. Agar tuntas, kepada tim tersebut juga diberikan kewenangan tidak hanya memberikan rekomendasi, tetapi juga proses justitia hingga penuntutan ke hadapan persidangan. Hal ini perlu dilakukan agar physical attack tidak terus berulang dan seakan-akan dibiarkan atau bahkan mendapatkan impunitas.

Ketiga, presiden mengonsolidasikan kekuatan koalisinya di DPR—juga dengan dukungan DPD—untuk mendukung terbitnya Perppu Perubahan UU KPK, yang di dalamnya termasuk menambahkan pasal hak imunitas kepada pimpinan dan pegawai KPK. Pilihan penerbitan perppu untuk menegaskan kegentingan penyelamatan KPK, dan untuk menghindari proses pembahasan di DPR yang justru berpotensi melemahkan KPK. Hak imunitas adalah perlindungan standar yang dimiliki semua lembaga antikorupsi di dunia agar dalam menjalankan tugasnya, pimpinan dan pegawai KPK tidak terus diganggu dengan kriminalisasi kasus hukum yang diada-adakan (malicious prosecution).

Keempat, sebagai proteksi atas serangan konstitusional yang terus berulang kepada KPK, presiden membentuk Komisi Konstitusi, terdiri atas para pakar hukum konstitusi, untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 dan memasukkan KPK sebagai organ konstitusi. Tentu saja agenda perubahan konstitusi itu perlu didahului konsolidasi politik presiden di MPR, yang terdiri dari DPR dan DPD, sebagai lembaga yang berwenang mengubah UUD 1945.

Empat langkah darurat itu perlu dilakukan dalam 100 hari pertama presiden terpilih. Karena lebih dari itu, KPK mungkin sudah makin sekarat untuk bisa diselamatkan. Jika keempatnya dilakukan dengan sekuat hati dan sepenuh tenaga, KPK masih akan ada harapan untuk hidup. Jika tidak, KPK akan mati, lagi. Padahal, jika KPK dibunuh lagi, korupsi akan makin merajalela dan kepunahan Indonesia bukan hal yang mustahil, karena yang bisa memusnahkan Indonesia tidak lain dan tidak bukan adalah: korupsi.