Tensi perang dagang AS-China sedikit mereda menyusul langkah penundaan pengenaan tarif oleh AS dan adanya sinyal bakal segera dica- painya kesepakatan kedua negara.

Perkembangan ini disambut baik dunia dengan indeks saham di bursa AS, Asia, dan Eropa menguat, Selasa (26/2/2019). Namun, berbagai kalangan meragukan situasi kondusif ini bertahan lama mengingat problem mendasar yang melandasi friksi kedua negara belum sepenuhnya tersentuh.

Presiden AS Donald Trump, Senin lalu, memutuskan menunda pengenaan tarif atas produk impor senilai 200 miliar dollar AS lebih dari China menyusul kemajuan substansial dalam negosiasi AS-China. Trump memberi sinyal kedua pihak mendekati kesepakatan. Ia juga mengungkapkan rencana pertemuan dengan Presiden Xi Jinping di Florida terkait kesepakatan di bidang perdagangan tersebut.

Terhindarnya perang dagang dalam skala lebih luas di antara negara dengan perekonomian terbesar ini membuat dunia sementara bisa bernapas lega. Risiko resesi global yang dipicu perang dagang sedikit mereda, apalagi dengan harga minyak mentah yang cenderung menurun. Pertanyaannya, sampai kapan?

Belum jelas konsesi yang ditawarkan tiap-tiap pihak dalam kesepakatan ini, khususnya menyangkut isu krusial. China disebut sepakat membeli produk senilai 1,2 triliun dollar AS dari AS, khususnya produk pertanian. Kemajuan juga dicapai terkait isu manipulasi nilai tukar oleh China. Sementara beberapa isu kompleks yang belum dicapai kesepakatan menyangkut hak milik intelektual, transfer teknologi, dan ambisi China membangun industri high-tech.

Sejumlah pakar mengingatkan, penundaan tak berarti ketegangan baru tak mungkin muncul kembali, mengingat masih adanya ambisi strategis China terkait kebijakan industrinya. Peta jalan industri China dalam kerangka program Made in China 2025 dianggap AS sebagai ancaman langsung terhadap supremasi AS di sejumlah sektor penting, seperti penerbangan, semikonduktor, dan 5G.

Mantan Guru Besar Peking University Christopher Balding mengungkapkan, yang diinginkan AS kini adalah China mengubah secara fundamental struktur ekonominya menjadi ekonomi market-driven yang normal seperti negara lain, sesuatu hal yang tak mungkin dipatuhi begitu saja oleh China.

Langkah AS memicu perang dagang dilandasi klaim bahwa China telah melakukan praktik perdagangan yang tidak fair. AS menuding China mencuri hak milik intelektual dari korporasi AS dengan memaksa perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di China mentransfer teknologinya ke China.

AS menuding Pemerintah China menggelontorkan subsidi industri masif dan memberi akses ke pinjaman murah serta bantuan lain ke korporasinya sehingga mereka bisa bersaing di pasar global dan mengancam pesaing dari AS di bidang seperti penerbangan, pembuatan cip, dan mobil listrik.