Namun, protokoler kesaksian itu sedemikian pelik. Para korban tak boleh menyebut nama atau institusi pelaku kejahatan. Tidak ada nama, tanggal, waktu, dan tempat yang boleh disebutkan. Wartawan juga tak dibolehkan memberitakan situasi testimonial kecuali yang telah dirilis oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.

Bonsai keadilan

Apa yang terjadi dengan KKR Aceh sebenarnya realitas Freudian kompleks tentang keadilan transisional yang sulit dikonstruksikan, bahkan di era keterbukaan seperti saat ini. Upaya penanganan kejahatan masa lalu menghadapi hambatan, bahkan sejak perdamaian 15 Agustus 2005 ditandatangani di Vantaa, Helsinki.

Meskipun di dalam UU Pemerintahan Aceh mengatur konsep rekonsiliasi, pasal tentang KKR kuncup sebelum mekar. Pasal 229 Ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 berbunyi, "KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dengan KKR" (pusat), telah dikunci mati. Ditambah Ayat (3) menyatakan, "KKR Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan" yang praktis lumpuh pasca-gugurnya Undang-Undang KKR (UU No 27/2004) oleh Mahkamah Konstitusi beberapa bulan setelah UU khusus Aceh itu disahkan. Tanpa UU bersifat nasional, konstruksi tentang kejahatan masa lalu dan mekanisme rekonsiliasi akan berjalan gontai dalam gelap.

Hal ini ditambah tembok tebal hubungan antara negara dan masyarakat dalam konteks HAM. Pengalaman menunjukkan, sulit melihat negara meminta maaf kepada korban, rakyat yang telah mereka lukai melalui aparatus dan sistem hukum. Hal itu karena negara—seperti diungkap Jacques Derrida, pemikir pasca-modernisme Perancis—telah mengandung sifat dan prostektus kekerasan. Konsep maaf tidak mungkin dilakukan karena "semua negara-bangsa lahir dan menemukan dirinya dalam kubangan kekerasan" (Derrida, Cosmopolitanism and Forgiveness, 2003).

Replikasi kekerasan

Demikian pula dengan sejarah kekerasan di Indonesia, replikasinya telah terlihat sejak awal proklamasi kemerdekaan. Sejarah kekerasan itu terjadi di Aceh, dikenal dengan "tragedi Cumbok". Itulah revolusi sosial pertama di Indonesia, istilah Anthony Reid atas tragedi pembunuhan sesama anak bangsa.

Cerita dimulai sejak proklamasi 17 Agustus 1945 disampaikan di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Gegap gempita itu tak serta-merta bergema serentak di seluruh Nusantara. Di Aceh, pemberitaan menyerahnya pasukan Jepang kepada sekutu pada 14 Agustus 1945 saja baru diketahui secara meluas setelah pemberitaan Atjeh Simbun edisi 22 Agustus 1945.

Siaran radio sangat minim. Sebagian besar akses hanya dimiliki oleh kaum bangsawan dan pemerintahan. Itu sebabnya bendera Merah Putih baru berkibar pertama kali di Aceh pada 24 Agustus 1945, dilakukan oleh Teuku Nyak Arif (TNA), tokoh politik Aceh paling berpengaruh saat itu dan mantan anggota Volkstraad (DPR) di Batavia. Ia kemudian diangkat sebagai residen pertama Aceh pada 29 September 1945 oleh Presiden Soekarno (Ramadhan KH dan Fitria Sari, Teuku Nyak Arif: Rencong Aceh di Volksraad, 2017).

Namun, upaya kemerdekaan Indonesia dari Jepang itu disambut hati-hati, terutama oleh kalangan tokoh ulama politik. Hal itu tak lepas dari keterjalinan kelompok Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan Jepang. Kelompok inilah yang menghubungi Jepang di Malaysia, dua hari setelah mereka mendaratkan pasukannya di wilayah Asia Tenggara itu untuk hadir di Aceh (Nazaruddin Sjamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah, 1999).

Ironisnya, "pembangkangan" juga terjadi di kalangan uleebalang, terutama di Pidie, yang melihat kemerdekaan Jakarta secara kritis. Mereka melihat Indonesia masih labil untuk dipukul kembali oleh kekuatan Belanda/NICA dan sekutu. Di antara tokoh uleebalang Pidie yang dianggap "anti-kemerdekaan" ialah Teuku Umar Keumangan, Teuku Cut Hasan, dan Teuku Muhammad Daud, yang kemudian menjadi komandan Barisan Penjaga Keamanan (BPK)—poros kekuatan militer.

Sementara terjadi dualisme di kalangan uleebalang —antara setuju dan ragu dengan kemerdekaan Indonesia—situasi itu dimanfaatkan oleh kelompok yang tidak menyukai kepemimpinan TNA yang dianggap bisa memperkuat kembali posisi politik uleebalang, seperti pada masa kolonial Belanda. Mereka itu berasal dari kelompok ulama politik (PUSA) pimpinan Tgk Daud Beureueh, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) pimpinan Ali Hasymi, dan Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) pimpinan Amir Husin al-Mujahid.

Maksud mereka melakukan casus belli—yang lebih mirip pembantaian—kepada sesama anak bangsa Aceh memiliki dua tujuan: memperlemah kepemimpinan TNA dan mendelegitimasi uleebalang sebagai representasi politik tradisional di Aceh. Gerakan kekerasan menjalar di seluruh pesisir timur Aceh, dari Banda Aceh hingga Aceh Tamiang.

Sejarah revolusi sosial tidak hanya berhenti dengan ditangkap dan dibunuhnya tokoh-tokoh utama "pemberontakan" melalui peradilan rakyat. Di tengah-tengah itu ada  perampasan harta dan tanah, terusirnya para keluarga keluar Aceh, perkawinan paksa janda uleebalang, hingga penyembunyian gelar bangsawan pada nama.

Kekerasan itu berlanjut saat "kaum republiken religius" melancarkan pemberontakan DI/TII (21 September 1953-1957). Kisah-kisah pilu itu tidak terekam dalam buku-buku sejarah utama. Dalam buku Peristiwa (1965), Abdullah Hussain, sang pengarang, mengisahkan tentang seorang janda bekas uleebalang yang dibunuh saat baru berbuka puasa, jauh tahun ketika revolusi tidak berapi lagi.

Penistaan sosial

Peristiwa Cumbok sendiri bukan semata perseteruan politik kelompok ulama dan uleebalang di Aceh. Ada jerit luka dan hening duka di lapisan bawah sosial, termasuk tuduhan kaum uleebalang sekuler dan komprador Belanda. Penistaan sosial terhadap keturunan uleebalang berlanjut karena berjalannya politik stigma dan literasi palsu sejarah. Kejahatan kemanusiaan itu tidak pernah diungkap pada rezim saat itu. Kisah ini semakin menghilang oleh gelombang pelanggaran hak asasi manusia yang mendera rezim setelahnya, seperti tragedi 1965-1966, Petrus 1982-1985, Tanjung Priok 1984, Aceh (1989-1998), Santa Cruz Timor Leste (1991), serta Semanggi 1 dan 2 (1998-1999).

Pertanyaannya, mekanisme apa untuk mengingat sejarah kelam bangsa? Untuk kasus Aceh, KKR lokal tentu tak cukup energi dan perspektif menjangkau permasalahan itu. Tragedi Aceh pascareformasi yang dekat saja terasa "jauh" dan kompleks, apatah lagi mengurut sejarah luka 70 tahun lalu, semakin rabun dan absurd.

Meski demikian, pelampiasan kekerasan dalam konteks berbangsa dan bernegara harus dihentikan dan dicari formula desakralisasi agar tidak menjadi "tradisi". Mekanisme rekonsiliasi harus diwujudkan meski sesulit masuk lubang cacing. Penelusuran dan penulisan sejarah luka anak bangsa harus segera dilakukan. Bukan untuk mengungkit luka, melainkan menegakkan kebenaran sejarah.

Siapa pun presiden hasil Pemilu 2019 harus menjadikan masalah ini perhatian utama, agar bangsa ini tidak mengalami dememorialisasi yang menyebabkan komplikasi sakit sosial, kepikunan politik, dan keterlupaan sejarah.