Industrialisasi keuangan syariah global telah mengalami "evolusi empat tahap". Evolusi ini terdiri dari empat fase berbeda: (1) tahun- tahun awal (1975-1991); (2) era globalisasi (1991- 2001); (3) periode pasca-11 September 2001; serta (4) era setelah krisis keuangan global 2008.

Sekarang ini kita berada pada awal fase kelima, yakni "era Ekonomi Digital" atau sebagian orang menyebutnya "Smart Economy" yang diasosiasikan dengan "slogan-slogan": tekfin, crypto-currency, produk keuangan berbasis block-chain,crowd-funding, dan impact investing.

Saat ini terjadi pergeseran arah industri dari yang tadinya hanya sekadar berkutat di perbankan dan sektor keuangan, perlahan tetapi pasti  menuju ke ranah ekonomi halal (halal economy) yang cakupannya lebih luas, meliputi, antara lain, pariwisata, makanan, mode, dan produk kosmetik.

Setidaknya ada dua alasan kenapa hal ini menggembirakan. Pertama, ekonomi halal berpeluang melipatgandakan cakupan dan porsi ekonomi syariah. Kedua, ekonomi halal berpotensi mempererat interkoneksi sektor keuangan dan sektor riil.

Indonesia berdiri unik di antara negara-negara lain dengan pola bottom-up yang sudah mulai dipadukan dengan pendekatan top-down. Visi Pemerintah Indonesia untuk menjadi pusat keuangan syariah global patut diapresiasi.

Bentuk terkini adalah pembentukan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) sebagai wujud komitmen pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam industri jasa keuangan syariah global.

Lembaga nonstruktural baru ini diketuai langsung oleh Presiden RI dan sudah dilantik jajaran manajemen eksekutif terdiri dari satu direktur eksekutif dan lima direktur yang membawahkan berbagai bidang pada 3 Januari 2019 oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Pemetaan lanskap
Visi besar, tanpa diimbangi ekspektasi yang realistis dan eksekusi terukur, akan berakhir menjadi ilusi. Tidak mudah bersaing di arena Islamic capital marketdengan target korporasi sebab negara jiran Malaysia sudah sangat maju dalam tata kelola produk, regulasi, dan governance.

Ditambah lagi Malaysia menjadi negara tuan rumah (host country) untuk dua lembaga penting, Islamic Financial Services Board (IFSB) dan International Islamic Liquidity Management (IILM).

Reputasi Malaysia di bidang pendidikan ekonomi dan keuangan syariah pun tak terbantahkan. Bank Negara Malaysia memiliki lembaga riset keuangan syariah International Shariah Research Academy (ISRA) yang menurut studi Thomson Reuters 2014, sekitar 6,2 persen dari penelitian keuangan Islam global dikontribusikan oleh ISRA.

Lembaga pendidikan International Centre for Education in Islamic Finance (INCEIF) yang bernaung di bawah bank sentral Malaysia dan International Islamic University Malaysia (IIUM) telah banyak meluluskan praktisi andal, regulator berpengaruh, dan akademisi ternama yang tersebar di seluruh dunia.

Satu lagi adalah Bahrain. Di arena inovasi produk keuangan, kiprah Bahrain tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada 2001, Bahrain menjadi negara pertama yang mengeluarkan sukuk negara berlandaskan kontrak salam. Dua lembaga strategis, International Islamic Financial Market (IIFM) dan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), berdomisili di Bahrain.

IIFM secara rutin mengeluarkan standardisasi produk derivatif, sedangkan AAOIFI menjadi referensi global dalam standardisasi fikih keuangan syariah dan standar akuntansi syariah. Di bidang edukasi, Bahrain mempunyai Bahrain Institute of Banking and Finance (BIBF) yang kiprahnya juga semakin mendapat perhatian di kalangan profesional industri keuangan syariah.

Belum lagi Inggris yang selalu menjadi barometer kemajuan keuangan global. Di dunia pendidikan, Universitas Durham menjadi kampus tertua ketiga di Inggris yang mempunyai program pascasarjana keuangan syariah terbesar di belahan dunia Barat, program tahunan summer school di Durham juga senantiasa dinanti banyak pihak. Oxford Centre for Islamic Studies (OXCIS) setiap tahun menawarkan program fellowship keuangan syariah.

Tidaklah heran negara-negara dan lembaga-lembaga tersebut sering menjadi rujukan bagi para pelaku pasar dan penggiat ekonomi dan keuangan syariah di dunia.

Pilar utama dan strategi
Lalu apa yang Indonesia bisa tawarkan untuk menjadi pusat keuangan syariah global? Memahami niche strength (ceruk kekuatan) menjadi modal terpenting untuk mencapai visi tersebut.

Hemat saya, ada tiga sektor andalan yang bisa dijadikan pilar kekuatan. Pertama, sektor keuangan mikro berbasis masyarakat (community-driven microfinance). Ribuan lembaga baitul mal wat tamwil (BMT) dan ratusan cabang bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) menjadi bukti bahwa penerapan model tersebut dapat mengatasi masalah penetrasi pasar dan akses ke keuangan.

Kedua, sektor Islamic social finance (ISF) yang meliputi sektor zakat dan wakaf.  Terobosan menarik telah terjadi di sektor ini, di mana Bank Indonesia (BI) bermitra dengan IRTI (Islamic Research and Training Institute), lembaga riset di bawah Bank Pembangunan Islam, Baznas dan BWI; menjadi bank sentral pertama di dunia yang memelopori diterbitkannya Zakat Management Core Principles dan Waqf Management Core Principles. Hal ini sangatlah unik sebab belum pernah ada bank sentral negara di dunia yang memperjuangkan keuangan sosial Islam.

Produk waqf linked sukuk menjadi social objective driven financial product yang diluncurkan Kementerian Keuangan bekerja sama dengan BI di pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Bali pada Oktober 2018. Tidak terbantahkan, ISF telah menjadi pilar kekuatan Indonesia meskipun Indonesia kurang agresif memamerkan (showcase) prestasi di sektor ini secara global.

Ketiga, di bidang industri halal. Potensi Indonesia sangatlah besar, baik dari pariwisata, makanan, mode, maupun produk kosmetik. Pada 2015, contohnya, Lombok, yang populasinya 90 persen Muslim, dianugerahi World Best Halal Tourism Destination atau Destinasi Wisata Halal Terbaik Dunia pada World Halal Travel Award 2015 yang diadakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Strategi apa yang bisa dilakukan untuk mendapat pengakuan internasional?
Pertama, Indonesia harus lebih visibledalam men-showcase prestasi-prestasi di tiga sektor utama yang disebutkan di atas di forum-forum internasional. Usaha ini mutlak membutuhkan kemampuan artikulasi verbal dan tulisan dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris.

Kedua, pemerintah seyogianya lebih agresif menempatkan perwakilan Indonesia di posisi strategis di berbagai lembaga multilateral, seperti Bank Pembangunan Islam (IsDB), Organisasi Kerja Sama Islam (OIC), AAOIFI, IFSB, dan IIFM. Oleh karena itu, kemampuan diplomasi internasional secara asertif dan persuasif menjadi keharusan.

Ketiga, harus ada mega-event ekonomi syariah dan industri halal di Indonesia sekelas Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos. Kegiatan ini mesti menjadi rujukan internasional yang pelaksanaannya selalu dinanti-nanti.

Ada anggapan dari pemangku kepentingan di luar Indonesia, kegiatan besar yang diadakan oleh pemerintah berjalan sendiri-sendiri alias tidak bersinergi.

Kementerian Keuangan mempunyai agenda tahunan Annual Islamic Finance Conference (AIFC), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Forum Riset Keuangan Syariah (FREKS)-nya, dan BI dengan acara tahunan berupa International Shariah Economic Forum (ISEF). Kenapa tidak digabungkan saja menjadi sebuah mega-event?

Keempat, sudah saatnya keunggulan kompetitif (competitive edge) yang dimiliki Indonesia di sektor ISF dan keuangan mikro dikulminasikan menjadi pembentukan lembaga internasional pengatur standar (standard setting body) yang khusus mengurusi sektor ini.

Indonesia harus menjadi host countrydengan dukungan pemerintah, OJK, dan bank sentral. Tentu saja pendiriannya perlu dukungan internasional, terutama OIC, IsDB, dan negara-negara anggota yang sangat peduli terhadap sektor ini, semisal Kuwait, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Turki.

Kelima, dalam kaitan dengan industri halal, laporan Thomson Reuters mengenai State of the Global Islamic Economy Report dalam tiga tahun terakhir selalu menempatkan Indonesia di peringkat pertama, tetapi "hanya" sebagai konsumen. Perlu strategi yang jelas dan koordinasi efektif antarpemangku kepentingan di Indonesia untuk membalik kondisi ini sehingga Indonesia tidak lagi menjadi konsumen, tetapi sebagai produsen.

Keenam, tidak kalah pentingnya adalah perlu ada lembaga pendidikan di Indonesia ber-outreach global yang aktif menggulirkan ide-ide segar dan pemikiran-pemikiran terobosan (breakthrough) di bidang ekonomi keuangan syariah serta fikih muamalah. Harapan ke depan, orang asinglah yang belajar ekonomi keuangan syariah di Indonesia dan menjadi lulusan lembaga atau kampus-kampus di Indonesia.

Dengan kata lain, Indonesia harus menjadithought leader. Sudah bukan zamannya lagi Indonesia menjadi makmum. Tunggu apa lagi? Visi tanpa eksekusi hanya berbuah ilusi.

Hylmun Izhar