Banyaknya jumlah perwira non-job bukanlah persoalan baru. Masalah ini timbul karena manajemen TNI gagal mengantisipasi perubahan, khususnya setelah UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 disahkan, di mana terjadi perpanjangan usia pensiun perwira dari 55 menjadi 58 tahun. Selain itu, dampak perekrutan masa lalu (Orde Baru) yang masih mengasumsikan TNI aktif boleh menduduki jabatan sipil juga menyumbang pada munculnya masalah ini.

Sejak sistem demokrasi diadopsi pada 1998, TNI diamanatkan untuk fokus pada pembangunan profesionalismenya dalam menghadapi peperangan. Kedudukan militer aktif pada berbagai instansi sipil kemudian dihentikan. Akibatnya, pos jabatan militer berkurang dan banyak perwira TNI yang tidak terakomodasi pada jabatan struktural.

Sebagaimana pernyataan Panglima TNI, hingga saat ini masih terdapat sekitar 500 perwira menengah dan 150 perwira tinggi yang "menganggur". Hal ini mengindikasikan persoalan serius bagi TNI. Namun, apakah rencana kebijakan reorganisasi ini tepat untuk mengatasinya?

Perubahan struktur organisasi merupakan hal wajar. Banyak negara di dunia juga melakukan reorganisasi dan restrukturisasi militer dengan pertimbangan perubahan lingkungan strategis, gelombang demokratisasi, dinamika ancaman, dan efisiensi anggaran pertahanan. Perubahan ini dilakukan dengan menambah struktur unit baru yang diperlukan dan juga mengurangi unit yang sudah tidak relevan.

Sebagai contoh, AS dan negara-negara Eropa melakukan pengurangan jumlah personel militer karena terjadi pergeseran generasi peperangan yang lebih membutuhkan kualitas personel (profesionalisme militer) dan teknologi pertahanan yang modern.

Pemerintah Belanda juga menghapus divisi tank pada 2012 karena kebutuhan efisiensi anggaran. Namun, di sisi lain, kehadiran ancaman siber juga mendorong negara-negara itu untuk membentuk unit dan struktur baru. Bahkan, Inggris pada 2018 justru memperbesar jumlah tentara sibernya.

Meski perubahan organisasi militer kerap terjadi di dunia, prinsip keberadaan militer tetap sama. Sebagaimana dinyatakan Samuel Huntington (1991), kebutuhan baru militer bisa bermacam-macam, tetapi hakikat perannya tetap untuk peperangan.

Oleh karena itu, segala upaya perekrutan, penataan organisasi, pelatihan, dan pengadaan persenjataan pada militer hanya ditujukan untuk kepentingan perang. Logika tersebut tentu perlu menjadi dasar bagi setiap perubahan yang akan dilakukan oleh militer. Pengabaian terhadap logika itu bisa berdampak fatal bagi negara, mengingat tidak ada institusi lain yang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk menghadapi peperangan.

Dalam konteks itu, banyaknya perwira non-job memang jadi masalah serius, tetapi tidaklah cukup untuk menjustifikasi perubahan dalam struktur organisasi. Kebijakan reorganisasi TNI perlu dipandang secara lebih strategis, yaitu untuk meningkatkan profesionalisme TNI dalam mengemban peran dan fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara untuk menghadapi perang.

Reorganisasi TNI
Rencana reorganisasi TNI di antaranya akan meliputi empat hal, yaitu (1) penambahan unit dan struktur baru di TNI; (2) peningkatan status jabatan dan pangkat di beberapa unit; (3) perpanjangan masa usia pensiun bintara dan tamtama; serta (4) penempatan militer ke jabatan-jabatan sipil di kementerian atau lembaga.

Penambahan unit serta struktur baru di TNI tentu dimungkinkan dan dapat jadi solusi yang baik untuk mengatasi persoalan perwira non-job selama tujuannya untuk penguatan fungsi perang. Upaya memperkuat kesatuan tempur, seperti Kostrad, Armada Angkatan Laut, atau Komando Pertahanan Udara, layak pertimbangkan.

Penguatan ini akan berimplikasi pada penambahan pos jabatan bagi TNI. Pembentukan sistem pertahanan siber juga penting dipertimbangkan guna menghadapi dinamika ancaman masa depan.

Meski demikian, penambahan unit, struktur, dan pangkat di luar tujuan perang perlu dihindari karena akan melemahkan profesionalisme militer itu sendiri. Untuk memetakan unit dan struktur apa saja yang diperlukan, hal ini tak dapat dilakukan secara responsif, tetapi melalui kajian akademis yang mendalam.

Sementara itu, terkait perpanjangan masa usia pensiun bintara dan tamtama, tampaknya kebijakan ini perlu dikaji secara lebih mendalam. Dukungan anggaran pertahanan tentu jadi faktor yang perlu dipertimbangkan, mengingat selama ini hampir 60 persen anggaran pertahanan masih terserap untuk belanja dan gaji prajurit.

Selanjutnya, rencana penempatan militer aktif ke jabatan- jabatan sipil di luar 10 instansi yang ditetapkan UU TNI tak sejalan dengan semangat reformasi militer. Apalagi jika rencana itu dilakukan dengan melakukan revisi UU TNI.

Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil, di luar yang diatur UU TNI, dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI seperti masa lalu. Pemisahan ranah sipil dan militer pada dasarnya perlu karena sifat peperangan modern menuntut adanya spesialisasi keahlian militer.

Tentu sulit bagi militer untuk menguasai keahlian baru yang diperlukan dalam menghadapi perang jika pada pembinaan kariernya ia justru dituntut untuk menguasai keahlian lain.

Lebih jauh, dari perspektif instansi sipil penerima, rencana ini juga bisa menimbulkan persoalan pembinaan karier ASN di instansi sipil itu sendiri. Promosi kepangkatan ASN yang kompeten bisa jadi terhambat karena pos-pos jabatan yang menjadi lahan pembinaan karier mereka ditempati militer.

Berdasarkan Pasal 47 UU TNI No 34/2004, TNI aktif hanya diperbolehkan menduduki jabatan sipil pada 10 instansi sipil dengan syarat ada permintaan dari instansi terkait, yaitu Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Setmilpres, BIN, Sandi Negara, Lemhannas, Wantanas, SAR, BNN, dan MA. Apabila prajurit TNI ingin menduduki jabatan sipil di luar 10 instansi itu, ia perlu mengundurkan diri dari dinas aktif militer.

Profesionalisme TNI
Memiliki TNI yang profesional selalu jadi impian bersama bangsa Indonesia. Semangat untuk mencapainya tak boleh luntur meski berbagai persoalan hadir.

Itu pula yang penting direfleksikan dalam rencana reorganisasi TNI. Agar setiap perubahan bermanfaat, efektif, dan efisien, diperlukan kajian akademik yang mendalam mengenai tujuan, analisis struktur, dan tata kelola personel dalam menghadapi dinamika ancaman di masa depan.

Upaya untuk mengatasi persoalan banyaknya perwira non-job dapat dilakukan secara bertahap, seperti pembatasan jumlah rekrutmen akademi militer di masa depan, meningkatkan kualifikasi untuk pendidikan lanjutan (Sesko TNI), hingga pelaksanaan proses promosi yang berbasis merit system.

Dengan demikian, diharapkan jumlah personel non-job dapat berkurang secara alamiah.  Suatu perubahan tentu dapat berhasil jika dibarengi dengan perencanaan yang matang dan pertimbangan yang bijak.

Sudah selayaknya rencana reorganisasi TNI dapat berimplikasi pada penguatan profesionalisme militer sehingga kebijakan yang tak sejalan dengan semangat reformasi TNI perlu ditinjau ulang.