Pengumuman ini tentu mendapat reaksi beragam, terutama dari pendukung pasangan Prabowo-Sandi. Reaksi yang patut dicermati adalah sikap penolakan yang jauh-jauh hari memang sudah disampaikan ke publik. Bahkan, dengan bahasa yang provokatif, mereka menuduh pemilu presiden ini penuh kecurangan, provokasi yang membuat sejumlah massa hendak berunjuk rasa.

Keputusan itu secara tidak langsung juga mempersilakan pendukung Prabowo-Sandi—jika tidak setuju—untuk mempermasalahkan hasil ini ke Mahkamah Konstitusi. Namun, sementara menunggu proses tersebut, selayaknya elite di kubu Prabowo-Sandi bisa menunjukkan kematangan politik mereka sebagai negarawan.

Dapat dikatakan kematangan politik elite pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga ini sedang diuji. Bagaimana tidak, sikap penolakan mereka patut dipertanyakan karena pemilu ini memiliki mekanisme penyelesaian apabila bermasalah. Ironisnya, sikap tersebut ditularkan kepada massa pendukung mereka untuk mendelegitimasi hasil pemilu.

Keadaan itu tidak akan terjadi kalau kelompok elite ini lebih matang berpolitik. Sayangnya, kematangan politik elite ini justru berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Sikap elite seperti ini jelas menjadi ganjalan dalam upaya kita mewujudkan konsolidasi demokrasi ke depan.

Kematangan rendah

Rendahnya kematangan politik elite memicu menguatnya ketegangan politik pascapemilu serentak. Dalam banyak literatur, indikator kematangan politik untuk melihat bagaimana kompetensi elektoral seseorang dalam menentukan pilihan politik (Cook & Seglow, 2010). Walaupun begitu, indikator untuk mengukur kematangan politik individu ini sebenarnya juga dapat melihat kematangan politik elite.

Dari indikator kematangan politik dapat direfleksikan beberapa pertanyaan terkait dengan kondisi politik hari ini. Misalnya, sejauh mana elite tertarik terlibat dalam aktivitas politik praktis? Seberapa dalam pengetahuan politik yang dimiliki elite dalam menyertai aktivitas politik mereka? Sejauh mana konsistensi dan kestabilan sikap elite ketika terlibat dalam suatu peristiwa politik? (Chan & Clayton, 2006).

Pertama, agar konsolidasi demokrasi dapat diwujudkan, kematangan politik harus dimiliki. Elite dituntut untuk lebih dewasa menyikapi realitas politik yang sedang terjadi. Salah satu contoh ketidakmatangan adalah saat sejumlah lembaga survei merilis hasil pemilu presiden, yang disikapi dengan narasi politik yang provokatif. Bahkan terlihat ketegangan dari wajah sebagian elite karena belum bisa menerima realitas. Yang mengkhawatirkan, dampak dari rendahnya kematangan politik elite adalah rendahnya pula kematangan politik massa mereka.

Analisis hasil pemilu melalui hitung cepat lembaga-lembaga survei dan hitung nyata KPU menghilangkan rasionalitas elite dalam berpolitik. Ini memang agak aneh karena mereka bukanlah orang baru dalam dunia politik. Bahkan sebagian besar sudah malang melintang dalam berbagai kontestasi demokrasi. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang sangat berpengalaman dan tertarik pada kekuasaan politik.

Sayang, sebagian besar dari elite ini terperangkap ke dalam kepentingan politik sesaat sehingga melupakan agenda besar bangsa, yakni bagaimana membangun kesejahteraan rakyat melalui politik berkeadaban.

Kedua, indikator kematangan politik ini juga dilihat dari seberapa banyak pengetahuan politik yang dimiliki individu. Sebagai elite, mereka jelas memiliki pengetahuan yang lebih baik ketimbang masyarakat awam yang mendukung. Bahkan pengetahuan politik ini tergambarkan dari sejumlah aktivitas politik yang mereka pertontonkan ke hadapan publik. Ini dibuktikan dengan keterlibatan para elite tersebut dalam lobi-lobi politik, manuver, dan perdebatan konstitusi penyelenggaraan negara.

Ironisnya, elite politik ini pula yang justru bermanuver tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dampak yang ditakutkan dari manuver elite ini adalah konflik di antara massa pendukung.

Maka, jika pengetahuan politik yang mereka miliki ini hanya digunakan untuk kepentingan jangka pendek—karena mereka bagian dari kelompok tertentu— sehingga akhirnya mengorbankan kepentingan bangsa dan negara, jelas ini bentuk ketidakmatangan elite kita dalam berpolitik.

Merawat NKRI

Ketiga, masyarakat butuh elite politik yang konsisten dan stabil sikap dan emosi mereka dalam berpolitik. Namun, sejak tahapan pemilu dilaksanakan, kestabilan emosi elite politik kita sering bermasalah. Tidak jarang elite partai politik membangun narasi yang provokatif sehingga menyulut kebencian dan kemarahan massa terhadap situasi politik yang sedang terjadi. Padahal, massa pendukung mereka tidak sedikit.

Oleh karena itu dibutuhkan sikap konsisten elite untuk mengikuti aturan main, UU yang sudah disepakati bersama. Apalagi segala sesuatu yang terkait dengan kontestasi politik ini sudah diatur dalam UU Pemilu. Konsistensi elite untuk mematuhi aturan main menandakan mereka matang atau tidak dalam berpolitik.

Jangan sampai kepentingan elite politik yang tidak terpenuhi, mengorbankan cita-cita luhur pendiri bangsa ini untuk merawat NKRI.

Tidak selamanya elite ini akan memegang kekuasaan. Akan ada masanya mereka digantikan oleh anak-anak bangsa yang saat ini juga memperhatikan sikap dan perilaku elite dalam berpolitik.

Jika elite lebih mengutamakan menjaga NKRI, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi bagian sejarah yang akan dikenang dan diteladani oleh anak-anak bangsa calon pemimpin di masa depan. Untuk sampai ke tahapan itu, sungguh dibutuhkan kematangan politik elite kita dalam menyikapi situasi politik hari ini.