Anak usia balita itu berulang kali diingatkan untuk merapikan semua mainannya yang berantakan. Namun, ia tak mau melaksanakannya.
Hingga suatu saat sang ayah berkata agak keras. Anak itu menjawab ringan, "Ayah, tugas anak kecil itu memang bikin berantakan. Tugas ayah membereskan."
Dengan bersungut, sang ayah membereskan mainan anaknya. Beberapa kali sang ayah berdiri kaku kena "sekakmat" anaknya. Gadis kecil itu, misalnya, pernah berkomentar saat ayahnya mengeluh perutnya kosong. "Tidak apa perut ayah kosong, daripada otaknya yang kosong."
Moral cerita itu sederhana, tentang kapasitas sang anak balita dalam memainkan akal untuk menghasilkan pemikiran rasional. Pada usia begitu dini, ia dapat menciptakan alasan yang mematahkan pendapat orangtuanya. Tampaknya sang anak balita sudah membuat "analisis" (dari teguran keras ayahnya), "evaluasi" (dari korelasi fakta-fakta yang ada) hingga akhirnya "kreasi" (kesimpulan dalam pernyataan yang ia ekspresikan).
Tidak berlebihan, jika semua kapasitas kognitif di atas diakui sebagai basis dari Cara Bernalar Aras Tinggi alias Higher Order Thinking Skills (HOTS) sudah dimiliki si anak balita. Padahal, membaca, menulis, atau menghitung 2+3 pun ia belum bisa.
Kita dapat menjumpai banyak kasus serupa pada waktu dan wilayah yang berbeda. Anak tidak perlu kondisi khusus seperti karunia bakat (gift), prodigy, atau kecerdasan autisme sebagaimana Einstein, Newton, atau Mozart.
Kenyataan itu memberikan contoh kecil di mana kapabilitas seseorang dalam menalar peristiwa, fenomena, atau hidup itu sendiri, dalam tingkat setinggi apa pun, tidak hanya ditentukan oleh kapasitas afektif dan (terutama) kognitifnya saja, terlebih dengan acuan kemampuan siswa dalam pelajaran matematika pada umumnya.
Acuan atau bahkan cara menalar proses dan produk pendidikan berbasis Taksonomi Bloom—lebih setengah abad usianya dan juga mendapat banyak penolakan di beberapa negara—tidak dapat dikatakan simplifikatif atau reduktif dalam mengukur kapabilitas anak didik. Bisa dibilang tidak komplet, tidak utuh dalam memahami manusia yang utuh.
Kekuatan di luar akal
Positivisme dan materialisme (sebagai advansi dari klaim cogito) telah menciptakan peradaban dengan progres luar biasa, dibuktikan dengan capaian-capaian revolusionernya pada abad ke-20. Tak mengherankan jika banyak bangsa menajamkan orientasi dan acuan pada adab kontinental atau Barat, di mana budaya akal disemaikan. Jepang menjadi contoh bangsa Timur dan bahari yang sejak abad ke-19 melakukan hal itu, atau diskursus "berkiblat ke Barat" yang menciptakan polemik besar di Indonesia pada 1930-an.
Namun, sejak awal abad ke-19, muncul pandangan kritis terhadap pemuliaan akal berlebihan dalam adab kontinental. Wolfgang von Goethe, penyair dan dramawan Jerman, mungkin perintis kritik itu, ketika ia menerjemahkan hingga memuja kearifan rohaniah dalam drama tujuh babak (Abhigyan) Shakuntalam karya dramawan India abad 4 M, Kalida. Dramawan Perancis, Ariane Mnouchkine, mengatakan, pada 1970-an, peradaban Barat kosong dalam memahami tubuh maka "Kita harus berpaling pada Asia".
Sejarah kesenian dunia pun memberi tahu kita bagaimana banyak seniman besar Eropa, merasakan hal yang sama sehingga mereka harus berpaling ke bagian dunia lain (orient) untuk melengkapi yang tidak komplet. Sebut saja Claude Debussy, komposer Prancis yang mendapat inspirasi musikal dari gamelan, The Beatles yang rutin belajar musik ke India, hingga pelukis atau musisi dunia ke Bali demi sofistikasi produk-produk artistiknya.
Saya kira semua itu memberi cukup fakta di mana kecerdasan, dalam hal penalaran di antaranya, yang menghasilkan produk-produk kreatif dan inovatif tidak dapat disederhanakan dengan ukuran semacam HOTS. Apalagi lebih mengandalkan beberapa ilmu eksakta.
Indonesia pada masa lalu, sebagaimana banyak bangsa lain, melahirkan banyak kreator dan inovator level dunia tanpa basis akademik-"saintifik" (istilah yang menurut penulis problematik), juga benar-benar bodoh karena mereka tidak/belum tahu aritmatika dan kalkulus.
Kita bicara tentang mereka yang menciptakan Borobudur, wayang kulit, tari pendet, kitab-kitab adiluhung, seperti La Galigo, Ngrakertagama, Serat Chentini, rujukan astrologi dalam kitab-kitab primbon, seperti Betaljemur hingga tata pemerintahan yang digdaya ratusan tahun pada masa Majapahit dan Sriwijaya. Para kreator itu menghasilkan inovasi sosial dan karya artistik tingkat tinggi dengan tidak melulu menggunakan kecerdasan (juga penalaran aras tinggi) yang berlandaskan kekuatan kognitif atau afektif.
Pemahaman sederhana ini selaiknya merangsang kita untuk mencari sumber-sumber kecerdasan lain manusia di samping 1.300 cc otak kita. Satu volume yang jika menyusut atau terganggu dan membuat seseorang tidak dianggap manusia lagi, tidak "eksis".
Adakah partisi lain dalam diri manusia yang dapat berperan secara signifikan bahkan konstitutif dalam menegakkan, mengutuhkan atau mengintegrasikan eksistensi manusia?
Kemanusiaan bahari
Kebudayaan yang saya maksud adalah bahari, sebagai counterpart dari kontinental. Dalam kebudayaan ini, manusia memandang diri dengan rendah hati; sebagai salah satu bagian dari organisme bernama alam. Kedudukannya mungkin agak istimewa karena mendapat karunia "akal", walau dalam kesadaran universalnya ia memosisikan diri tidak selalu lebih (penting) dari entitas lainnya: tanaman, hewan, batu-batu.
Artinya, kesadaran kebudayaan seperti ini melahirkan satu sikap atau pandangan ekologis di mana proses dan keberlangsungan eksistensi dari satu bagian ditentukan oleh bagian lainnya. Karena itu, manusia bahari memiliki obligasi atau tanggung jawab natural untuk memelihara semua hal di lingkungannya karena semua hal itu yang membuatnya (bertahan) hidup dan berkembang.
Karena tradisi manusia yang terus-menerus mengeksploitasi dan mengekstrasi dari lingkungan sekitar melulu demi kemuliaan diri (manusia) sendiri bukanlah sifat atau watak dasar (karakter) manusia bahari Indonesia. Harmoni dan keseimbangan hidup lebih penting, sebagaimana Pancasila mengidealisasikan hal, di antaranya.
Begitu pun pada tingkat yang lebih mikro, dalam diri manusia itu sendiri, kebaharian memandang semua elemen dalam diri manusia adalah kesatuan yang selalu mencari keseimbangan. Artinya, tiap bagian dari diri manusia memiliki posisi, fungsi hingga harkat yang setara, untuk ditumbuhkembangkan, dan wajib diberi asupan positif. Manusia tidak hanya berisi kesadaran dan kecerdasan akal, tetapi juga kesadaran mental (psychological), biologis (fisikal), plus batin (spiritual).
Setiap kesadaran memiliki semacam metabolisme unik, di mana kecerdasan dilahirkan darinya. Dan, sebagaimana metabolisme biologis yang kita pahami secara umum, semua kesadaran itu membutuhkan asupan yang dalam praksisnya bisa jadi asupan positif-konstruktif, bisa pula negatif-destruktif.
Tubuh atau bagian biologis kita tahu, dengan pola konsumsi buruk, sering tak terhindar mendapat asupan negatif, seperti minuman, makanan, hingga udara terpolusi. Sehingga tubuh orang Indonesia, yang budaya sehatnya kian hancur belakangan ini menjadi rapuh dan rentan pada penyakit.
Begitu pun untuk tiga dimensi kesadaran lain. Kita sama mafhum bagaimana belakangan hari ini, sebagian dari rakyat kita begitu gencar memberikan asupan-asupan negatif pada dunia mental, intelektual, hingga spiritualnya. Karena itu, semua kesadaran tersebut memproduksi banyak hal yang mendestruksi bukan hanya dirinya sendiri, melainkan juga orang lain, bahkan bangsanya sendiri.
Maka, ketika seseorang atau sekelompok orang menjalani dan mengembangkan budaya negatif semacam itu, kerusakan terjadi di berbagai lapisan kehidupan. Bukan hanya pada kalangan muda, remaja, dan anak-anak, melainkan juga lingkungan bertahan hidup.
Pendidikan kultural
Jika ada usaha untuk memperbaiki keadaan tersebut, di mana banyak pihak berpendapat, pendidikan menjadi salah satu kuncinya, kerja dan potensi kebudayaan di atas layak dipertimbangkan sebagai basis atau roh dari pendidikan itu.
Setidaknya dengan empat alasan. Pertama, pendidikan akan menjadi omong kosong dan sia-sia jika ditujukan kepada para siswa saja. Sementara lingkungan yang diisi oleh orangtua justru memproduksi hal-hal sosial-kultural yang mendestruksi upaya pendidikan siswa. Berikan pendidikan berbasis budaya bahari kepada pemangku kepentingan negeri.
Kedua, lakukan pendidikan kultural secara komprehensif di mana seluruh kesadaran yang dimiliki anak didik (manusia) juga mendapatkan transmisi ilmu-ilmu yang positif, entah itu berasal dari leluhur ataupun kultur lain. Intinya, semua kesadaran itu mesti bekerja seimbang untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan manusia, baik secara individual, komunal, hingga universal.
Pada poin ini, para guru tentu saja harus memahami juga memiliki ilmu yang cukup dalam (kaya) di kesadaran fisikal, mental hingga spiritualnya. Tentu imperasi ini menjadi problematik karena transmisi ilmu di tiga dimensi manusia tersebut bukanlah modul utama dalam kurikulum pendidikan kita yang sangat mengistimewakan akal (kognisi). Diperlukan semacam pelatihan hingga penemuan ilmu-ilmu tersebut yang terutama dapat digunakan dalam proses pendidikan.
Ketiga, menjadi konsekuensi dari poin sebelumnya, di mana kecerdasan seseorang (siswa) mesti dapat dibuktikan dengan cara mengerahkan kapasitas dari tiga kesadaran di luar akal tadi. Mungkin ia bisa jadi semacam kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kesadaran spiritual, hingga kecerdasan fisikal, sebagaimana kini mulai dipahami dunia.
Sementara dalam adab bahari, keempat kecerdasan itu sebenarnya otonom, signifikan fungsi dan perannya. Dalam satu budaya tertentu, bisa saja kecerdasan mental lebih superior, semacam "rasa" dalam filsafat Jawa, Suryomentaraman atau Sosrokartonian katakanlah. Ada pula yang lebih mengutamakan kecerdasan tubuh, di mana kegandrungan pada syahwat tubuh mengemuka, menjadi hedonisme, misalnya.
Akhirnya, para penanggung jawab pendidikan di negeri ini harus berani mereorientasi program pendidikan mereka. Termasuk di antaranya menggali kembali ilmu-ilmu kebaharian dalam empat aras kecerdasan di atas.
Pendidikan yang integratif dan komprehensif ini, bukan hanya mengidealisasi keseimbangan kerja di antara keempat kecerdasan manusia tersebut, tetapi juga membuktikan bagaimana karunia yang diperoleh manusia itu komplet juga memiliki capaian ultim yang sulit diukur juga diimajinasikan.
Bayangkan, jika semua kecerdasan itu dapat berekspresi secara optimal, produk-produk budaya apa yang dapat dihasilkannya? Sekurangnya, saya yakin, kebudayaan tidak akan merosot jatuh ke titik nadir seperti saat ini.
Apa yang lebih penting dari itu semua, spiritualisme orang bahari (Indonesia) yang begitu kuat, entah dalam formalisme (agama) apa pun, memandang upaya mengoptimalisasi potensi-potensi itu menjadi pelaksanaan dari amanah Tuhan. Di sinilah puncak idealnya, manusia lahir dan berkembang dalam kebudayaan yang penuh rasa syukur dan tanggung jawab. Itulah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar