Dalam kesempatan itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mendorong perusahaan siber untuk membantu pemerintah sejumlah negara dalam mengawasi dan membatasi konten yang memicu radikalisme dan terorisme di media sosial dan online (Kompas, 17/5/2019).

Sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius menegaskan bahwa media online bukan saja dijadikan sarana untuk menyebarluaskan paham radikal, merekrut, serta kaderisasi anggota kelompok teroris, melainkan juga menjadi alat komunikasi mereka (Kompas, 15/5/2019).

Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan, sepanjang 2018, hampir 500 situs web radikal diblokir. Ironisnya, ibarat pepatah "esa hilang dua terbilang," satu situs web radikal diblokir, situs baru segera bermunculan. Di sinilah peran perusahaan digital diperlukan.

Meskipun sejumlah kepala negara dan pemilik perusahaan digital telah menunjukkan komitmen mereka, ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan dalam menyikapi perkembangan terorisme belakangan ini.

Terorisme daring
Pengamat terorisme internasional, Bruce Hoffman (2006), mencatat dampak kemajuan teknologi komunikasi dan informasi terhadap perkembangan terorisme sejak pertengahan 1990-an. Internet dimanfaatkan oleh kelompok terorisme sebagai media yang efektif, cepat, murah, dan relatif aman untuk menyebarluaskan informasi dan ideologi.

Media online atau media dalam jaringan (daring) di sini memberikan keuntungan bagi kelompok teroris dan radikal dalam tiga hal. Pertama, media daring dapat dijadikan sebagai sarana untuk menunjukkan eksistensi.

Semua informasi terkait kelompok, termasuk aktivitas dan program kerja, dapat ditampilkan sehingga bisa menggalang dukungan secara masif dari luar. Kedua, sebagai alat propaganda dan perekrutan. Media daring juga dapat menjadi pemicu munculnya self-radicalization, tempat orang-orang yang baru belajar agama mencari sendiri informasi tentang agama dan tertarik mempelajari materi-materi radikal.

Ketiga, media jenis ini bermanfaat untuk rantai komando, kontrol, sekaligus distribusi informasi secara internal untuk anggota dan pendukungnya. Kelompok radikal yang pertama kali berhasil memanfaatkan media daring untuk kepentingan mereka dan memperoleh dukungan secara luas adalah Zapatistas National Liberation Army (EZLN) dari Chiapas. Organisasi ini dianggap sebagai pemberontak oleh Pemerintah Meksiko di bawah Presiden Ernesto Zedillo.

Keberhasilan EZLN kemudian diikuti oleh kelompok Macan Tamil (Sri Lanka) yang mengoperasikan sejumlah jaringan situs, seperti TamilNet.com dan www.eelam.net, www.eelamweb.com, www.tamiltigers.net, www.cantam. com, dan www.canadatamil.net.

Jaringan-jaringan ini dioperasikan dari luar Sri Lanka, yaitu India, Inggris, Norwegia, Kanada, bahkan Australia. Jaringan ini berhasil mengumpulkan dan memobilisasi dukungan dari 450.000 anggota kelompok Macan Tamil di sejumlah negara (Hoffman, 2006).

Organisasi teroris dan radikal yang lebih modern, seperti Hezbollah, Lashkar-e-Taiba, Al Qaeda, dan belakangan Islamic State (IS), bahkan memiliki situs dalam berbagai bahasa: Inggris, Perancis, Arab, dan Indonesia. Situs-situs inilah yang menjadi rujukan bagi para teroris amatir dalam mempelajari agama (Noor Huda Ismail, Kompas, 16/5/2019).

Tantangan pemerintah
Komitmen para pemimpin negara untuk melawan dan memerangi terorisme daring—sebagaimana yang mereka tunjukkan dalam memberantas terorisme offline atau luar jaringan (luring)—melalui pencegahan dan penindakan sesuai hukum, tidak serta-merta dapat menghilangkan ideologi radikal dan menghentikan aksi terorisme. Bahkan, juga setelah melibatkan pemimpin perusahaan digital.

Mengapa hal itu terjadi? Ada tiga alasan yang penulis temukan, terlebih jika dikaitkan dengan perkembangan terorisme saat ini. Pertama, keberhasilan kelompok teroris sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk selalu selangkah lebih maju dari pemerintah dengan teknologi kontraterorisme yang dimiliki.

Artinya, bukan tak mungkin anggota dan pendukung kelompok teroris internasional, apalagi mereka mendapatkan pendidikan di bidang teknologi informasi, mampu untuk terus mengembangkan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk itu, pemerintah juga harus selalu dapat mengawasi perkembangan dan cara-cara baru yang bisa digunakan oleh kelompok teroris serta para pendukungnya.

Kedua, meski pemerintah telah mengawasi dan membatasi situs-situs radikal serta memblokir pemilik akun situs tersebut, tidak mudah untuk mengetahui berapa luas informasi radikal tersebut telah tersebar dan berapa banyak orang yang sudah terpapar serta meyakini konten radikal tersebut, bahkan telah menjadi teroris amatir.

Di samping itu, penggunaan media daring biasanya akan diikuti juga dengan pemanfaatan media luring dalam menyebarkan paham radikal. Hal ini dilakukan, misalnya, melalui ceramah serta dakwah tertutup terhadap para pendukung dan pengikut aliran mereka.

Dalam hal ini, pemerintah perlu cekatan menggabungkan penanganan terorisme, baik dalam bentuk daring maupun luring, serta terus-menerus mengupayakan pengawasan peredaran informasi radikal dan terorisme melalui kedua sarana tersebut.

Ketiga, para pendukung kelompok radikal dan teroris yang memanfaatkan media daring sering menjadi kelompok sel tidur yang menunggu kesempatan untuk beraksi, baik dilakukan secara terorganisasi dan bersama-sama maupun dilakukan seorang diri.

Memanfaatkan kondisi
Biasanya, mereka beraksi dengan memanfaatkan kondisi ketika terjadi konflik dan kekacauan, termasuk kekacauan politik, seperti yang pernah terjadi saat konflik Poso dan Ambon atau pada saat perayaan hari besar keagamaan.

Dengan ditangkapnya sejumlah teroris dan terbongkarnya rencana aksi mereka oleh Densus 88, tampaknya pasca-pengumuman pemenang pilpres oleh KPU akan menjadi momen yang dimanfaatkan oleh para pendukung dan anggota kelompok teroris untuk beraksi.

Catatan penting lain yang perlu diperhatikan dalam merespons maraknya terorisme yang bermotifkan agama dan identitas, seperti yang terjadi di Selandia Baru, Sri Lanka, dan rencana serangan teroris di sejumlah tempat ibadah di Kuala Lumpur, beberapa waktu lalu, adalah perlunya pemerintah melibatkan tokoh-tokoh agama. Hal ini untuk meminimalkan munculnya kebencian antar- umat beragama.

Di samping itu, pemerintah dan masyarakat juga perlu mengawasi konten media daring, terutama media sosial. Di satu sisi, masyarakat dapat terlibat untuk menjadi "mata tambahan" dengan melaporkan sekiranya ada konten di media daring yang menghasut dan memprovokasi dengan menggunakan isu agama.

Di sisi lain, selain memperkuat teknologi siber dan kerja sama dengan perusahaan digital, pemerintah juga perlu menindak tegas dan memberikan sanksi sesuai hukum kepada para pelaku yang menyebarkan ujaran kebencian, terlebih jika dikaitkan dengan agama dan politik identitas, seperti yang kita lihat pada Pilpres 2019 yang baru kita lalui.