Pada intinya, ini bulan istimewa, berbeda dengan sebelas bulan lainnya, bukan dalam status atau label, melainkan pada makna yang ada di dalamnya. Makna yang jika diresapi lebih dalam hingga ke jantung spiritualitas menjadi suluh yang dapat mentransformasi kehidupan kita, baik secara individual maupun sosial.
"Menjadi" takwa
Al Quran mengatakan, umat Islam diwajibkan untuk berpuasa sebulan penuh seperti yang telah diwajibkan kepada umat terdahulu agar "menjadi" (to be) manusia bertakwa (la'allakum tattaqun) (QS Al-Baqarah [2]: 183). Di sini, puasa menjadi sarana, medium, atau wasilah untuk membuat dan menjadikan manusia bertakwa.
Puasa adalah ikhtiar, proses, usaha, yang tentu saja bukan satu-satunya, untuk membuat manusia "menjadi" bertakwa. Takwa adalah label atau status yang dinamis, bukan statis, selalu bergerak tanpa henti ke arah yang lebih baik.
Takwa bukan status atau label yang statis dan rigid, apalagi jika itu dijadikan justifikasi keberagamaan seseorang. Orang bisa saja mengatakan atau mengklaim dirinya telah bertakwa, apalagi dengan dalih telah berpuasa. Namun, takwa lebih pada realitas atau kenyataan orang bersangkutan.
Apakah orang tersebut perilakunya sehari-hari menunjukkan sebagai pribadi bertakwa yang dinamis, terbuka, dan terus-menerus berubah ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Sebab, Nabi sendiri mengatakan bahwa banyak orang berpuasa, tetapi hanya mendapatkan lapar dan haus saja.
Bagi kalangan spiritualis atau sufi, puasa seperti dikatakan oleh Al-Ghazali dalam magnum opus-nya, Ihya Ulumiddin, tak sekadar menahan lapar dan haus. Ini adalah puasa level awam atau orang kebanyakan, puasa yang sekadar menunaikan kewajiban dari perintah Tuhan.
Di atas itu ada puasa level lebih tinggi, yakni puasa orang khawas (khusus) dan khawas khawas (khususnya khusus). Puasa level kedua adalah puasa indera, seperti mata, telinga, dan mulut dari hal-hal buruk serta kotor. Sementara puasa level ketiga yang paling tinggi adalah puasa hati, hasrat, keinginan, dari hal-hal bendawi atau material, dan lebih menitikberatkan kepada cinta serta harapan kedekatan dengan Allah.
Pada puasa level ketiga, puasa telah membuat pelakunya melepaskan diri pada hasrat atau keinginan "memiliki" (to have) dan lebih fokus pada keinginan untuk "menjadi", seperti menjadi lebih dekat dengan Allah, lebih bersih hati, pikiran, dan jiwa, lebih mencintai sesama, lebih peduli, empati, terhadap sesama tanpa membeda-bedakan status sosial atau keyakinan, dan seterusnya.
Puasa level ini telah menanggalkan hasrat atau keinginan "memiliki" karena yang seperti ini masih terpaut dengan hal- hal bendawi dan menganggapnya sebagai tujuan akhir hidup, padahal semua itu acap kali membuat orang tak mendapati kesejatian diri dan menemukan hidup yang lebih bermakna.
Ada perbedaan eksistensial antara "memiliki" dan "menjadi". Sang Buddha, misalnya, mengajarkan bahwa agar kita dapat mencapai tahap tertinggi perkembangan manusia, kita harus melepaskan keinginan akan benda-benda. Yesus mengatakan, apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi dia membinasakan atau merugikan diri sendiri?
Meister Eckhart mengajarkan bahwa melepaskan segala sesuatu serta membuka dan "mengosongkan" diri, tidak membiarkan ego seseorang menjadi penghalang jalan, adalah kondisi untuk meraih kekayaan dan kekuatan spiritual. Marx mengatakan, kemewahan itu sama jahatnya seperti kemiskinan dan bahwa tujuan kita semestinya adalah menjadi banyak dan bukannya memiliki banyak (Erich Fromm, To Have or To Be?, 1976).
Dalam modus eksistensi "memiliki", kata Fromm, relasi saya dengan dunia bersifat menguasai dan menggenggam sehingga yang saya inginkan adalah membuat setiap orang dan semua hal, termasuk diri saya sendiri, milik saya.
Sementara dalam modus eksistensi "menjadi", kita harus mengidentifikasi dua bentuk dari "menjadi". Yang pertama adalah yang berkebalikan dengan "memiliki", sedangkan yang kedua adalah yang berseberangan dengan "kelihatan" serta merujuk pada hakikat sejati, pada realitas yang sesungguhnya, dari seseorang atau sesuatu yang tidak sama dengan penampakannya yang bisa saja menipu.
Menahan dan memberi
Secara bahasa, puasa yang dalam bahasa Arab disebut shaum atau shiyam berarti 'menahan'. Dalam konteks spirit puasa sebagai ikhtiar untuk "menjadi" manusia bertakwa, melalui aktivitas menahan inilah keinginan atau hasrat untuk "memiliki" dikendalikan sementara, diganti dengan aktivitas memberi, melepaskan, mengosongkan, sebagai bagian dari usaha "menjadi" manusia hakiki.
Manusia yang tak terjebak dan terkerangkeng pada hal-hal bendawi, material, atau yang sifatnya konsumtif, seperti makan, minum, juga pada penampilan fisik atau sisi luar yang kerap kali jadi ukuran kesejatian.
Nabi Muhammad, sebagaimana para nabi dan guru agung bijak sebelumnya, adalah tipikal manusia yang berorientasi pada bagaimana "menjadi", bukan "memiliki". Dalam hadis disebutkan, Nabi tak pernah menolak memberi saat diminta sahabatnya. Ia juga dikenal sebagai manusia paling dermawan pada masanya, terutama pada bulan Ramadhan.
Digambarkan, ia seperti angin semilir yang lembut dan ringan, saking dermawannya. Puasa mendorong pelakunya untuk lebih banyak "menahan" dan "memberi". Menahan untuk memiliki dan memberi apa yang dimiliki kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Nabi menegaskan, tidaklah disebut orang beriman jika ia kekenyangan, sementara tetangganya kelaparan.
Puasa membuat seseorang "menjadi" manusia bertakwa, menjadi lebih berarti, terutama bagi orang lain dengan aktivitas "menahan" di satu sisi dan lebih banyak "memberi" di sisi lain. Ini jauh lebih baik dan bermakna dari sekadar menahan lapar dan haus.
Jadi, selain bersikap defensif terhadap hal-hal tak berguna, puasa juga mendorong untuk bersikap ofensif pada hal-hal yang membuat kehidupan kita lebih bermakna dan berarti, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dengan puasa seperti ini, kita terus-menerus bertransformasi menjadi pribadi yang tak hanya saleh secara individual, tetapi juga sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar