Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 24 Juli 2019

EPILOG: Penghayat Kata-kata (PUTU FAJAR ARCANA)


KOMPAS/ MOHAMMAD HILMI FAIQ

Penyair Joko Pinurbo saat membacakan sajak-sajaknya dalam acara Poetry for Mother Earth di Jakarta, Kamis (27/4/2017).

Penyair Joko Pinurbo dan dramawan Butet Kartaredjasa punya cara menarik dalam menarasikan karya-karyanya di hadapan publik. Jokpin, begitu lelaki kurus ini selalu dipanggil, menerbitkan kumpulan puisi dalam sebuah buku yang diberi judul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan Joko Pinurbo.

Bukan karena jumlah halamannya yang persis 212 lembar, melainkan kalimat "selamat menunaikan ibadah puisi" itu berasosiasi pada sekumpulan penghayat setia yang menjalankan laku ritual bersama, di mana kata menjadi medium utamanya.

Pada seluruh seri pementasan teater Indonesia Kita, Butet Kartaredjasa yang menggulirkan proyek kebudayaan ini selalu memberikan prolog dengan kata-kata yang relatif senada. "Selamat menjalankan ibadah kebudayaan. Jangan kapok menjadi Indonesia".

KOMPAS/ LASTI KURNIA

Butet Kartaradjasa membawakan monolog Matinya Tukang Kritik di Graha Bakti Budaya, Jakarta, Kamis (3/2/2006).

Butet selalu memberikan asosiasi bahwa para penonton yang hadir dalam setiap pertunjukannya sebagai umat yang akan melangsungkan ibadah bersama-sama.

Ibadah, di mana dia menjadi ikonnya itu, tidak sebagaimana yang kita kenal dalam peribadatan agama, tetapi berisikan pesan-pesan moral tersembunyi yang dibagi dalam sejumlah adegan.

Sangat bisa dipastikan ibadah dalam "sekte" ini akan berisikan kritik-kritiknyelekit terhadap realitas politik kontemporer yang terjadi di sekitar kita. Oleh karena itulah, pentas-pentas Indonesia Kita selalu menyertakan komedian cerdas seperti Cak Lontong dan Akbar, Marwoto dan Trio GAM.

Ibadah, di mana dia menjadi ikonnya itu, tidak sebagaimana yang kita kenal dalam peribadatan agama, tetapi berisikan pesan-pesan moral tersembunyi yang dibagi dalam sejumlah adegan.

Mereka diibaratkan para punakawan dalam kisah-kisah pewayangan, yang sering kali lebih cerdas dibandingkan dengan majikannya. Bahkan, para punakawan itu menjadi penerjemah bahasa dewa menjadi bahasa populer yang mudah dipahami publik awam.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Salah satu adegan dalam lakon Laskar Bayaran yang diproduksi Indonesia Kita dan dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (25/8/2017). Pementasan lakon ini dimeriahkan para penampil seperti Lola Amaria, Cak Lontong, Marwoto, Trio GAM (Gareng, Wisben, Joned) dan didukung elemen wayang listrik karya I Made Sidia.

Dalam versi berbeda, jauh sebelum ungkapan "menunaikan ibadah puisi" atau "selamat menjalankan ibadah kebudayaan" meluncur di tengah-tengah publik, Prof A Teeuw, seorang peneliti sastra dari Belanda, telah menerbitkan sebuah buku kritik berjudul Tergantung pada Kata(1980).

Buku yang dianggap meletakkan dasar-dasar kritik sastra di Tanah Air ini berisi kajian terhadap 10 puisi (yang dianggap) terbaik oleh A Teeuw.

Analisis puisi-puisi karya Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, WS Rendra, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, serta beberapa penyair lainnya ini menumpukan diri pada teori kritik yang disebut strukturalisme.

KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Penyair Sapardi Djoko Damono

Strukturalisme berkembang dari ilmu linguistik yang menitikberatkan kajian-kajian penelitiannya pada kata-kata yang tersurat untuk kemudian mengupas makna konotatif dan simbolik di dalamnya.

Tak urung kajian ini pun sebenarnya mendekati sebuah "ritual" peribadatan yang percaya pada kekuatan kata-kata. Kata dalam untaian sebuah puisi diperlakukan sebagai diksi, kata-kata terpilih dari tumpukan kata yang mampu dimuat oleh sebuah kamus.

Secara lebih tajam, penyair Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 1980-an melakukan ritual pelafalan mantra-mantra di atas panggung dengan amat atraktif.

Kata-kata yang meluncur dari mulutnya adalah rangkaian mantra, yang secara tekstual hampir-hampir sulit dilacak maknanya. Ia hanya akan menampakkan kekuatannya ketika dirapal sebagaimana orang suci mendaraskan doa-doa.

KOMPAS/ NAWA TUNGGAL

Pameran Catatan Arsip "Namaku Pram" di Galeri Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta, pada April 2018. Kata-kata menarik dari tulisan-tulisan karya Pramoedya Ananta Toer dituangkan ke dalam bagian Taman Kata. Pengunjung menikmati Taman Kata.

Jokpin, Butet, A Teeuw, Sutardji, dan kemudian para penekun sastra berikutnya dengan begitu bisa kita nobatkan sebagai penghayat kata-kata, yang memperlakukan kata sebagai "benda sakral", dan laku peribadatannya sebagai ritual bersama dalam menggalang kemaslahatan moral publik.

Bahwa keadaban itu tidak saja bisa dibangun dan ditegakkan lewat aktivisme politik, hukum, dan agama, tetapi juga lewat laku penghayatan kepada kata. Maka di situlah seharusnya laku kepenyairan menempati posisi yang amat penting dalam penyelenggaraan moralitas  bangsa dan negara.

Jalan hidup sebagai pengarang atau penyair sama derajat dan perannya dengan seorang pemuka agama, bahkan dengan seorang rohaniwan.

KOMPAS/ P RADITYA MAHENDRA YASA

Pengunjung melihat pameran seni kaligrafi China karya Perhimpunan Kaligrafi dan Seni Semarang yang dipamerkan di Hotel Ciputra, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (10/2/2010). Kaligrafi China atau mao bi tersebut merupakan salah satu bidang karya seni tertua yang di dalamnya memuat kata-kata bijak atau kata-kata mutiara.

Ketika Jokpin menyebut ia sedang menunaikan ibadah puisi, ia tidak sedang memelesetkan frasa penting dalam keberagamaan, yakni ibadah suci kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi, ia sedang sangat serius menekuni jalan Tuhan melalui laku peribadatan dan penghayatan terhadap kata-kata.

Begitu juga Butet, ketika mengucapkan kalimat "Selamat menjalankan ibadah kebudayaan", yang sering kali disambut riuh-rendah tawa penonton, sebenarnya ia sedang sangat serius mengajak kita semua untuk menghayati keindonesiaan lewat pementasan teater.

Ketika Jokpin menyebut ia sedang menunaikan ibadah puisi, ia tidak sedang memelesetkan frasa penting dalam keberagamaan, yakni ibadah suci kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ia membayangkan Indonesia adalah sebuah panggung teater besar, di mana berbagai lakon ikonik sedang disinergikan untuk membentuk sebuah konser raksasa, yang satu sama lain tidak saling merendahkan, tidak saling mendiskriminasi, tidak saling meniadakan.

Konser besar itu dibangun justru untuk menemukan harmoni satu sama lain dan melahirkan senyawa pementasan yang agung dan menggetarkan. Itulah Indonesia!

Kompas, 24 Juli 2019


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger