Anti-keragaman di PTN
LPPM Universitas Nahdlatul Ulama telah menyurvei beberapa perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasilnya, terjadi gerakan anti-keragaman oleh gerakan Tarbiyah yang berkiblat ke Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Salafi. Ketiganya menciptakan intoleransi di Indonesia dan dunia (Kompas, 26/6/2019).
Ikhwanul Muslimin dilarang di Mesir; Hizbut Tahrir, yang terobsesi mendirikan khilafah, dianggap teroris di Timur Tengah; serta Salafi, yang berorientasi pemurnian Islam merujuk gerakan Wahabisme Arab Saudi, sedang diberantas di Arab Saudi. Ini lampu merah yang tak boleh dibiarkan. Pendekatan NU dan Muhammadiyah tak akan efektif tanpa disertai dengan pendekatan hukum oleh aparat.
Ini sungguh suatu kelalaian rezim reformasi akibat menghapus penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dari kampus. Beberapa waktu lalu, ada hasil survei yang menyatakan bahwa di Fakultas Kedokteran UI ada mahasiswa senior meminta yuniornya menolak kuliah jika dosennya bukan Muslim. Saya sebagai alumnus UI, yang Muslim, amat kecewa dengan perkembangan ini. UI adalah perguruan tinggi negeri milik rakyat, jangan sampai dirasuki sikap anti-keragaman.
Bayangkan jika ada dokter alumnus UI yang bersikap intoleran kepada pasien non-Muslim. Bukankah itu menyalahi sumpah dokter? Dia lupa bahwa ilmu kedokteran modern yang dipelajarinya dihasilkan oleh para ahli non-Muslim yang mengabdi pada kemanusiaan tanpa memandang perbedaan agama.
Perguruan tinggi, apalagi PTN, harus dibebaskan dari sikap intoleransi. Kita menjadi bangsa merdeka untuk hidup saling menghormati tanpa sikap kesukuan dan perbedaan agama. Merdeka dengan tanggung jawab jaga NKRI dan Pancasila!
Suyadi Prawirosentono
Selakopi Pasir Mulya Bogor
Urus Paspor Hampir Sebulan
Masa berlaku paspor istri saya, Endang Pamerdihati Aritonang, berakhir pada 16 Januari 2020. Sesuai dengan peraturan, paspor harus diperpanjang paling lambat enam bulan sebelum tanggal itu.
Sabtu (6/7/2019), kami mendaftar secara daring, mendapat nomor permohonan 11290000 00042262. Kamis (11/7/2019), sesuai dengan instruksi daring, kami datang di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat menyerahkan semua dokumen yang disyaratkan. Kami tak dapat membayar pada hari itu karena, menurut petugas, sistem sedang terkendala. Senin sore (15/7) baru keluar kode bayar (No MPN G2: 820190715609141) berdasarkan Sistem Informasi Gateway Paspor (SIGAP) Kantor Imigrasi Jakarta Pusat. Dijanjikan, juga secara online, paspor selesai paling lambat 10 hari kerja.
Sampai Senin (29/7), sudah 10 hari kerja, paspor belum jadi. Esoknya, Selasa pagi, kami datang di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat dan dijawab: "Belum jadi." Disuruh coba-coba datang lagi Kamis (1/8). Pagi itu juga kami kirim surel ke lapor.go.id, dijawab antara lain: "Saat ini paspor masih dalam proses karena kendala sistem…. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya."
Kami sangat memerlukan paspor itu untuk segera
berobat ke Malaysia; kami sudah mendaftar di sebuah rumah sakit di sana untuk 7 Agustus 2019. Kami tak dapat membeli tiket tanpa paspor baru/yang diperpanjang itu. Tanyaan kami: sampai kapan kami harus menunggu? Di mana kebenaran akronim SIGAP itu?
Hampir lima tahun yang lalu, ketika membuat paspor yang sudah harus diperbarui itu, kami hanya mendaftar secara daring dan selanjutnya diproses secara manual, selesai lima hari. Kenapa setelah sepenuhnya daring malah menjadi terkendala?
Jan S Aritonang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar