Nasib Taman Nasional
Salah satu kawasan pelestarian alam yang mudah dibobol dan dijarah adalah taman nasional (TN). Misal, TN Kerinci Seblat di Sumatera, TN Tanjung Puting di Kalimantan, dan TN Bogani Nani Wartabone di Sulawesi.
Kasus yang telah berlangsung bertahun-tahun umumnya berupa illegal logging, illegal mining, perambahan hutan untuk kebun, perburuan satwa liar, pemukiman, dan sebagainya. Meskipun telah diatasi, penanganan masih parsial dan tidak permanen sehingga dalam beberapa tahun kemudian kasus berulang.
Ada kecenderungan bahwa kerusakan lingkungan dalam kawasan TN semakin bertambah skala dan intensitasnya. Maka, TN bak petinju yang sedang berlaga di atas ring, yang bertahan di tali ring hanya agar tidak jatuh dipukul lawan, sampai ronde terakhir. Nasib TN hanya bertahan, sekadar kerusakan dapat diminimalkan, tanpa ada upaya komprehensif mengatasinya.
Harus diakui bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam pengelolaan TN. Pertama adalah luas TN yang dijaga dan diawasi tidak sebanding dengan jumlah petugas TN. Rata-rata luas TN di atas 100.000 ha, bahkan terdapat TN yang luasnya di atas 1.000.000 ha. Sementara itu, jagawana hanya 100-125 orang di setiap TN.
Idealnya, satu jagawana secara efektif menjaga dan mengawasi 200-250 ha. Oleh karena itu, TN dengan luas 100.000 ha, membutuhkan petugas jagawana 500 orang. Kedua, batasan antara zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain belum jelas. Pembuatan tata batas antarzona butuh waktu lama dan biaya besar.
Kementerian LHK sebagai penanggung jawab TN di Indonesia sebaiknya mulai memikirkan cara yang lebih tepat untuk pengamanan TN. Pelibatan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat setempat dalam menjaga, mengamankan, dan mengawasi TN, wajib dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa balai besar/ balai TN bekerja sendiri. Sebagai kompensasi, masyarakat diberi kesempatan mengelola zona pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5/1990 Pasal 34 Ayat (3).
TN sebagai bagian dari kawasan konservasi adalah aset nasional yang harus dipertahankan sampai kapan pun.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Villa Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Martir Zonasi
Sistem zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang niatnya memperbaiki sistem pendidikan nyatanya menuai banyak masalah. Banyak ungkapan kekesalan akibat kebijakan yang justru terasa diskriminatif ini.
Cukup anak-anak kami saja yang menjadi martir sistem zonasi. Banyak anak yang dicabut mimpinya, kehilangan motivasi belajar, dan putus semangat kompetisi. Ternyata usaha mereka sia-sia karena sistem zonasi berkuasa.
Bagi mereka yang berada di luar wilayah zonasi sekolah, aturan PPDB sangat membatasi. Apalagi kuota penerimaan kecil, hanya 5-10 persen.
Persentase zonasi wilayah yang sangat besar (90 persen) sebenarnya jauh dari harapan pemerintah untuk pemerataan pendidikan dan cita-cita menghapus sekolah favorit.
Pemerataan pendidikan dan upaya menghapuskan sekolah favorit bukan urusan anak-anak dan orangtua. Itu tugas pemerintah untuk mempercepat pemerataan kualitas sekolah-sekolah negeri dengan disiplin dan teratur merotasi para kepala sekolah dan guru serta memperbaiki mutu dan fasilitas pendidikan.
Jika sistem zonasi dilanjutkan, sebaiknya zonasi jarak rumah terdekat tanpa memperhitungkan prestasi dihilangkan karena jelas tidak mendidik: melahirkan generasi malas berkompetisi.
Namun, zonasi keluarga kurang mampu, anak berkebutuhan khusus, dan perpindahan orangtua dipertahankan. Perbesar persentase zonasi prestasi dan luar wilayah sehingga anak-anak semangat.
Syahrizal Pahlevi
Orangtua anak peserta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar