Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik mencatat berkurangnya ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena latar belakang jender, etnis, dan kelompok.
IDI dari waktu ke waktu mengalami perbaikan. Pada 2012, skor total indeks adalah 62,63 dan pada 2018 besarnya 72,39. IDI diukur berdasarkan aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi dengan 11 variabel.
Dari ketiga aspek, hanya skor untuk aspek lembaga demokrasi yang naik nyata, yaitu naik 2,76 poin menjadi 75,25 poin. Perbaikan ini disebabkan, antara lain, partai politik melakukan kaderisasi dalam rangkaian proses pemilu serentak 2019. Sedangkan indikator aspek kebebasan sipil turun 0,29 poin menjadi 78,46 dan skor untuk aspek hak-hak politik turun 0,84 poin menjadi 65,79.
IDI tahun 2018 bukan yang terbaik sejak 2012. Pada tahun 2014, skor total indeks adalah 73,04. Pada tahun 2014, Indonesia melaksanakan pemilihan presiden yang berlangsung damai. Tahun 2018 ditandai dengan proses pemilu serentak, memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR dari pusat hingga daerah tingkat dua, serta anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Yang perlu dicermati adalah memburuknya indikator ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan masyarakat lain untuk berpendapat serta berkumpul dan berserikat. Selama proses Pemilu 2019, masyarakat mengalami polarisasi yang tecermin dalam berbagai ujaran di media sosial.
Sebelumnya, Indeks Negara Rentan 2018 memperlihatkan, ketahanan Indonesia membaik kecuali untuk aspek fragmentasi elite, ketidakpuasan sosial (social discontent), dan tekanan jumlah penduduk. Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami polarisasi masyarakat dan memburuknya kualitas demokrasi. IDI dan Indeks Negara Rentan mengindikasikan situasi sama, perlunya masyarakat kembali bersatu dan mengatasi ketidakpuasan sosial.
Belajar dari banyak masyarakat di sejumlah tempat, mantan Gubernur Bank Sentral India dan Direktur Riset Dana Moneter Internasional Raghuram Rajan, dalam The Third Pillar (2019), berargumentasi, masyarakat mengalami polarisasi karena ketidakseimbangan tiga pilar pembentuk masyarakat, yaitu pemerintah, pasar, dan komunitas.
Esensi menyeimbangkan ketiga pilar itu adalah membangun lokalisme inklusif dengan memberdayakan komunitas yang tertinggal dari dua pilar lain, dalam proses pengambilan keputusan dan mengakses peluang ekonomi secara adil. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menjawab ketidakpuasan sosial. Di tingkat nasional, kerangka kerja juga perlu inklusif bahwa setiap komunitas adalah bagian dari bangsa serta tidak membuat pembedaan berdasarkan kelas, suku, dan etnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar