Seperti teori KC Wheare yang menyebut konstitusi merupakan resultante dari kepentingan seluruh warga bangsa, maka, dengan kata lain, hukum merupakan produk politik.
Mahfud MD kemudian menegaskan hukum, termasuk konstitusi, dihasilkan bukan karena pertimbangan benar-salah dan baik-buruk, tetapi karena kesepakatan dari para pembuatnya. Jadi perumusan maupun perubahan sebuah konstitusi bergantung pada lembaga yang berhak mengubah dan menetapkannya.
Untuk kasus Indonesia, otoritas ada pada MPR yang sebagian besar, yakni 575 orang, terdiri dari anggota DPR dan selebihnya (136 orang) adalah anggota DPD. Karena itu, posisi DPR dominan. Realitas politiknya, seluruh fraksi di DPR yang otomatis ada di MPR bergantung pada arahan partai. Fraksi yang merupakan kepanjangan tangan partai pasti dipantau pemimpin, lebih ekstrem lagi dikendalikan ketua umum masing-masing.
Jika saat ini hangat lagi wacana amendemen UUD 1945, khususnya untuk reformulasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pada akhirnya keputusan bergantung pada para pemimpin partai, misalnya menyangkut perlunya amendemen atau tidak.
Jadi perumusan maupun perubahan sebuah konstitusi bergantung pada lembaga yang berhak mengubah dan menetapkannya.
Amendemen hanya bisa diusulkan oleh lebih dari sepertiga anggota MPR. Jika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengambil prakarsa untuk mengusulkan amandemen terbatas pada memberi kewenangan lagi pada MPR untuk menetapkan GBHN, langkahnya tinggal mengajak anggota dari fraksi lain atau kelompok DPD di MPR hingga minimal memperoleh dukungan sebanyak 238 anggota.
Dengan komposisi anggota MPR 2019-2024 yakni PDI-P 128 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, Nasdem 59 kursi, PKB 58 kursi, Demokrat 54 kursi, PKS 50 kursi, PAN 44 kursi, dan PPP 19 kursi, maka PDI-P mempunyai beberapa pilihan. Pertama, minimal harus mengajak dua partai besar, Golkar dan Gerindra. Atau dengan Golkar atau Gerindra, ditambah dengan partai yang lain. Atau cukup dengan kelompok DPD.
Hampir semua fraksi dan DPD di MPR tidak keberatan melakukan amendemen dengan mengembalikan kewenangan MPR menetapkan GBHN. Hanya persoalannya apakah fraksi atau kelompok DPD sepakat jika agenda amendemen hanya terbatas untuk itu, atau masing-masing punya tambahan agenda yang lain. DPD pasti akan menitipkan agenda untuk memperkuat kewenangannya.
Hampir semua fraksi dan DPD di MPR tidak keberatan melakukan amendemen dengan mengembalikan kewenangan MPR menetapkan GBHN.
Memilih agenda
Dalam memilih agenda pun kembali ke kesepakatan para pemimpin partai yang mempunyai fraksi di DPR/MPR. Tanpa mengecilkan peran DPD, jika para ketua umum partai sepakat, agenda apa pun bisa diloloskan.
Dari peta posisi partai-partai, setidaknya yang tecermin sepanjang pembahasan di MPR 2014-2019, walaupun tak bulat sempurna, agenda yang disepakati bisa dikelompokkan dalam lima kawasan besar.
Pertama, revitalisasi Pancasila dan penegasannya sebagai dasar dan ideologi negara serta posisinya sebagai sumber tertib hukum. Kedua, reformulasi sistem perencanaan pembangunan model GBHN. Ketiga, penataan lembaga MPR. Keempat, penataan lembaga DPD RI. Dan kelima, penataan lembaga kekuasaan kehakiman.
Dari kelima agenda tersebut, memang reformulasi GBHN, dengan sekaligus memberi kewenangan pada MPR untuk menetapkannya, menjadi pilihan terbanyak fraksi-fraksi dengan segala variannya.
Tanpa mengecilkan peran DPD, jika para ketua umum partai sepakat, agenda apa pun bisa diloloskan.
Jika usul amendemen sudah memenuhi syarat secara prosedural, termasuk agendanya disepakati, maka ini sekaligus menjawab pro-kontra mengenai istilah terbatas. Terbatas bukan kehendak dari satu atau beberapa fraksi, termasuk kelompok DPD, namun terbatas karena pengusul harus menyebut bagian yang ingin diubah, bagaimana bunyi perubahannya, dan apa argumentasinya.
Jika yang disepakati hanya terbatas soal GBHN dan pengembalian wewenang MPR untuk menetapkannya, maka itulah yang akan dibahas. Tidak dimungkinkan muncul agenda baru selama pembahasan. Karena itu, trauma Kotak Pandora, yang akan menyebabkan agenda amendemen bisa melenceng ke mana-mana, secara yuridis konstitusional tidak dimungkinkan dan tak perlu dikhawatirkan.
Dalam konteks usul amendemen UUD untuk pengembalian GBHN oleh Fraksi PDI-P, sebenarnya bukan hanya karena rekomendasi Kongres PDI-P di Bali belum lama ini. Rakernas PDI-P pada Januari 2016 sudah mengambil keputusan untuk mengadopsi gagasan Megawati Soekarnoputri tersebut.
Jika yang disepakati hanya terbatas soal GBHN dan pengembalian wewenang MPR untuk menetapkannya, maka itulah yang akan dibahas. Tidak dimungkinkan muncul agenda baru selama pembahasan.
Dalam berbagai kesempatan Megawati mengemukakan bahwa MPR merupakan lembaga negara yang memang khas Indonesia, yang didesain oleh para bapak bangsa sebagai model yang berbeda dari sistem yang sudah dikenal pada waktu itu, yakni sistem komunis atau sistem liberal, karena itu kewenangannya tidak boleh disejajarkan dengan lembaga negara yang lain.
Semua fraksi di MPR 2014-2019 sepakat mempertimbangkan kemungkinan reformulasi sistem perencanaan pembangunan model GBHN. Ini tecermin dari laporan Badan Pengkajian MPR yang sudah disampaikan dalam rapat gabungan 22 Agustus 2016.
Isyarat itu sebelumnya juga telah disampaikan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan pada saat Sidang Tahunan MPR tanggal 16 Agustus 2016, bahkan kemudian disambut baik oleh Presiden Joko Widodo. Diungkapkan bahwa dibutuhkan haluan negara untuk mengelola negara yang besar dan heterogen ini.
Hanya, keinginan untuk menjadikan pengembalian haluan negara tersebut sebagai amendemen yang terbatas belum memperoleh kesepakatan yang bulat.
Semua fraksi di MPR 2014-2019 sepakat mempertimbangkan kemungkinan reformulasi sistem perencanaan pembangunan model GBHN.
Konstelasi politik baru
Setelah agenda disepakati, dan pengusulan formal dilakukan, untuk memutuskan kuorum sidang paripurna harus dihadiri minimal dua per tiga anggota MPR. Sedangkan untuk mengambil keputusan, setidaknya disetujui 50 persen plus satu dari anggota yang hadir. Dari proses pengambilan keputusan ini ujungnya juga kembali pada pemimpin partai.
Pertama, agenda hanya tunggal mengindikasikan kalau sejak awal usul amendemen tanpa konflik yang keras sehingga lebih mudah mencapai kesepakatan. Atau bisa saja paket usulannya tunggal karena yang lain menganggap usul tersebut kurang relevan. Bisa usul tidak tunggal karena secara teori bisa muncul dua paket usulan yang berbeda.
Keputusannya bisa kompromi, artinya semua paket diterima. Atau, berhadap-hadapan sehingga akhirnya semua usulan tidak bisa sampai pada kesepakatan untuk diputuskan.
Dari proses pengambilan keputusan ini ujungnya juga kembali pada pemimpin partai.
Pertanyaannya, bagaimana kemungkinan dilakukan amendemen pada MPR 2019-2024. Mengapa PDI-P tidak berhasil memengaruhi fraksi-fraksi lain untuk meloloskan amendemen terbatas itu pada periode 2014-2019. Bahkan, walaupun oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan sudah diumumkan mengenai panitia ad hoc yang akan membahas reformulasi GBHN dan diketuai oleh Ahmad Basarah, wakil ketua MPR dari PDI-P, pada 16 Agustus 2018.
Sekarang PDI-P cukup bersemangat melanjutkan perjuangan mengembalikan GBHN dan memperkuat MPR. Mungkin strategi perlu diperbaiki, dan segala kemungkinan diperhitungkan.
Posisi presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif yang akan menjadi salah satu, bahkan mungkin yang terpenting. Obyek pengaturan konstitusi juga perlu dipertimbangkan. Meski secara konstitusional tak punya kewenangan untuk berperan secara langsung, secara politis pasti Presiden punya pengaruh cukup besar.
Sekarang PDI-P cukup bersemangat melanjutkan perjuangan mengembalikan GBHN dan memperkuat MPR.
Pertama, partai-partai pasti banyak yang berkepentingan terhadap posisi presiden sehingga apa pun yang menjadi kepentingan presiden pasti menjadi pertimbangan partai-partai, terutama yang secara politis pendukung presiden pasti mendengar apa yang dikehendaki oleh presiden.
Kemungkinan kedua, presiden yang secara tidak langsung menjadi pemimpin koalisi yang mendukungnya sehingga kalau mau bisa secara langsung meminta dukungan pada partai -partai agar aspirasinya dipertimbangkan.
Kesimpulannya, sebagai market leader dalam penataan sistem ketatanegaraan dengan memperkuat MPR dan mengembalikan GBHN, PDI-P harus piawai mengelola situasi politik, yang kelihatannya juga mulai bergeser dari situasi 2014-2019. Mungkin PDI-P yang memperjuangkan agenda tunggal atau terbatas dalam amendemen juga terpaksa harus menenggang agenda lain, asal tidak ekstrem, misalnya sampai mengembalikan pemilihan presiden ke MPR.
Kesimpulannya, sebagai market leader dalam penataan sistem ketatanegaraan dengan memperkuat MPR dan mengembalikan GBHN, PDI-P harus piawai mengelola situasi politik, yang kelihatannya juga mulai bergeser dari situasi 2014-2019.
Bola ada di Bu Mega dan Pak Jokowi, sejarah ketatanegaraan akan dibawa ke mana, dan legacy apa yang akan diwariskan pada generasi berikutnya. Tentu juga tergantung kepada respons pemilik saham besar lain atas Republik ini, yakni para ketua umum partai yang punya wakil di DPR/MPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar