Ada persamaan antara KPK kini dan DPR periode 2014-2019, yaitu sama-sama di pengujung masa tugas. DPR baru akan hadir Oktober dan KPK baru di Desember 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPR pun masih sama-sama bersemangat menjalankan tugasnya. Terlihat KPK menangkap sejumlah kepala daerah dan pejabat, termasuk pihak swasta, yang terindikasi korupsi. Dewan pun mencoba menyelesaikan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang tersisa meskipun masa tugas anggotanya tinggal kurang dari tiga minggu.
Mendengarkan suara rakyat, yang meminta wakil rakyat tak memaksakan diri, sejumlah RUU pun tidak dirampungkan pembahasannya pada periode ini. Namun, mirip pebalap yang hebat di tikungan akhir, DPR justru menyepakati usulan revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK untuk dibahas.
Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/9/2019), menyepakati RUU itu menjadi usul inisiatif DPR tidak lebih dari 20 menit. KPK seperti ditelikung. RUU yang merevisi UU KPK itu diajukan oleh Badan Legislasi DPR.
Sebelumnya tak ada wacana merevisi UU KPK, yang pernah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2015, yang diundangkan menjadi UU Nomor 10 Tahun 2015. DPR periode 2014-2019 tampak terfokus pada pengesahan RUU Kitab UU Hukum Pidana (RKUHP). RUU itu ditunda, tetapi malah ada kesepakatan merevisi UU KPK.
Presiden Joko Widodo pernah menghentikan pembahasan revisi UU KPK tahun 2016 di DPR. Tahun 2015, pemerintah dan DPR pun pernah menyepakati penundaan revisi UU KPK. Tahun sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak mendorong revisi terhadap UU KPK karena publik menilai usulan itu tak lebih dari cara wakil rakyat dan mereka yang antipemberantasan korupsi untuk melemahkan KPK.
Tahun 2017, DPR kembali menggulirkan usulan mengubah UU KPK, tetapi ditolak oleh rakyat. Tahun lalu, karena sibuk untuk pemilu, partai politik di DPR tak mewacanakan merevisi UU KPK, hingga tiba-tiba usulan itu mencuat kembali di pengujung masa tugas anggota DPR hasil Pemilu 2014.
RUU untuk merevisi UU KPK yang disepakati DPR tak jauh berbeda dengan yang dibahas tahun 2017, yang melemahkan KPK. Dalam RUU itu, pegawai KPK tidak lagi independen dan KPK memerlukan izin Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dewan Pengawas dipilih oleh DPR atas usulan Presiden.
KPK tak lagi memiliki penyidik dan penuntut independen serta harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan. Selama ini KPK tak bisa menghentikan kasus yang ditanganinya sehingga lebih saksama.
Keputusan DPR membahas revisi UU KPK di akhir masa tugas kian membenarkan pepatah, partai hanya butuh suara rakyat saat pemilu. Pemilu 2019 sudah usai, suara rakyat yang menginginkan penguatan KPK dalam pemberantasan korupsi pun diabaikan. Presiden Jokowi dapat mencegah pelemahan KPK dengan menunda persetujuan pemerintah membahas revisi UU KPK. Dengarkanlah kembali suara rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar