Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 11 September 2019

EPILOG: Berseni di Goa Peradaban (PUTU FAJAR ARCANA)

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas

Seni hampir selalu menjadi pantulan paling jujur dari pencapaian peradaban. Ia tidak bisa digantikan oleh politik dan ekonomi yang praktis, tidak bisa pula oleh agama yang dogmatis. Wilayah seni membentang jauh, sejak kehidupan dalam goa-goa arkeologis di masa megalitikum, sampai kemudian memasuki masa-masa kuantum yang menjadi dasar penemuan dalam dunia digital.

Perhelatan Art Jakarta 2019, 30 Agustus-1 September di Jakarta Convention Center, berhasil menyedot pengunjung sebanyak 39.066 orang. Memang masih jauh dibandingkan perhelatan serupa seperti Art Basel Hong Kong yang bisa dikunjungi lebih dari 60.000 orang pada periode waktu yang sama.

Bukan soal pengunjung yang kita bahas, tetapi selama 11 kali Art Jakarta berjalan, kota yang berpenghuni lebih dari 10 juta orang ini ibarat menemukan sebuah cermin besar. Selain karya-karya dua dimensi yang dibawa oleh 70 galeri dari Asia Pasifik ditambah Rusia, menyelip karya-karya yang kita kenal dengan istilah new media art.

Kehadiran karya kolaborasi antara komunitas Wave of Tomorrow bersama Isha Hening menohok kita untuk mempertanyakan, sesungguhnya di mana batas-batas seni itu?

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Art Jakarta 2019 di Jakarta Convention Center, Jumat (30/8/2019).

Karya ini berwujud konfigurasi cahaya yang memancar dari panel-panel digital, yang diletakkan di bawah sebuah landasan dari plat logam. Ketika kita berjalan di atasnya, konfigurasi cahaya menghasilkan abstraksi-abstraksi warna dalam berbagai variasi.

Abstraksi-abstraksi itu kemudian dilengkapi dengan lantunan musik sampai akhirnya kita berlalu. Ada sensasi keindahan yang berbeda. Tak persis sama dengan saat-saat kita mengagumi kecantikan perempuan abad pertengahan dari Leonardo da Vinci bernama Mona Lisa, yang tersimpan di Musee du Louvre, Perancis.

Paduan serupa disuguhkan oleh kelompok bernama TeamLab dengan karya bertajuk "Dark Waves". Karya ini menggunakan basis komputer untuk membangun simulasi gelombang dalam ruang tiga dimensi.

Mereka kemudian mengeksplorasi perspektif lukisan Jepang pra-modern, di mana air dianggap sebagai sebuah entitas yang hidup. Ketika berdiri di depannya, dalam sekejap kita seolah menjadi bagian dari terjangan gelombang yang datang berlapis-lapis.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Art Jakarta 2019 di Jakarta Convention Center, Jumat (30/8/2019).

Sebenarnya gejala serupa sudah dimulai ketika saya hadir dalam 55thVenice Biennale Italia tahun 2013. Perupa asal Turki, Ali Kazma, menayangkan video berjudul "Eye", di mana sekelompok dokter sedang berada di ruang operasi.

Dalam teknik hyper close up, terlihat seonggok daging sedang diiris-iris dan di beberapa bagiannya tampak guratan-guratan yang memerah darah. Pada sesi akhir barulah kita tahu bahwa sekelompok dokter itu sedang melakukan operasi terhadap mata seorang pasien.

Praktik kerja semacam ini seolah mempertemukan kembali sekat-sekat yang pernah membuat seni, sains, dan teknologi terpisah-pisah karena kepentingan berbeda dari para penekunnya. Meski tidak menjadi suguhan yang dominan, kehadiran karya-karya yang berbasis seni, sains, dan teknologi pada Art Jakarta 2019 membuat kita menoleh pada apa yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0.

Pertama-tama, revolusi yang berbasis dunia digital dan internet ini mengubah perilaku manusia dalam memproduksi dan mengonsumsi informasi. Kedua,  produksi dan konsumsi informasi kini berada pada ruang-ruang personal, yang justru mengembalikan ingatan kita pada sifat seni yang multi-interpretatif.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Lukisan telapak tangan di dinding Goa Leang Rasapao di kawasan karst Kecamatan Minasa Te'ne, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, Minggu (5/8/2012). Di kawasan karst ini terdapat ratusan goa yang di dalamnya tersimpan jejak-jejak kehidupan prasejarah.

Sifat ini membuat seni terdiri dari persepsi-persepsi yang sangat subyektif. Banyak orang menyebutnya, tafsir seni sangat tergantung pada sudut pandang dan pengetahuan mereka yang melakukan tafsir. Sesudahnya, seni akan memproduksi pengetahuan (sering disebut sebagai inspirasi) kepada para penafsirnya.

Masih ingatkah kita pada gambar-gambar telapak tangan dan babi rusa di Goa Pettae dan Pettae Kere, di Leang-leang, Maros, Sulawesi Selatan? Banyak yang memperkirakan lukisan telapak tangan ini berusia 40.000 tahun. Peninggalan serupa terdapat di Afrika Selatan berupa cangkang keong kecil yang dilubangi, diperkirakan berusia 75.000 tahun.

Peninggalan yang seumuran dengan di Leang-leang ditemukan para arkeolog di Gua El Castillo, Spanyol. Pada dinding-dinding goa terdapat 100 gambar telapak tangan manusia, yang menggunakan warna-warna natural.

Banyak ahli berpendapat bahwa bentuk kesenian tertua di dunia adalah seni rupa. Sayangnya, sampai sekarang kita tidak mampu memastikan fungsi sesungguhnya dari gambar telapak tangan atau babi rusa di goa-goa tua itu. Tetapi, setidaknya kita bisa memastikan bahwa seni rupa telah dikenal manusia sejak masa pra-sejarah, ketika manusia hidup secara berpindah.

KOMPAS/ MOHAMAD FINAL DAENG

Lukisan hewan dan stensil tangan di goa prasejarah Leang Petta Kere, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (16/3/2018).

Lukisan-lukisan masa lalu itu mengirim pesan kepada kita bahwa sejak dahulu kala ada kebutuhan berkomunikasi antar-sesama manusia, antara manusia dengan alam,  dan antara manusia dan Sang Pencipta.

Kebutuhan berkomunikasi itulah yang tidak berubah pada kesenian.  Komunikasi telah menjadi kebutuhan dasar, yang menggenapkan peran kehadiran manusia sebagai makhluk sosial.

Pada karya bertajuk "Silence-Meditation in Blue", seniman Cheuk Wing Nam (Hong Kong), yang juga dipamerkan pada Art Jakarta 2019, menggunakan elemen musik dan cahaya untuk mengantar pengunjung ke alam meditasi.

Karya ini berupa instalasi suara interaktif yang menggunakan kipas turbin dan pipa air, yang bertujuan membangkitkan keheningan mutlak. Keheningan itu dihadirkan oleh musik "Monoton Symphony" dari Yves Klein, yang dikomposisi ulang.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Art Jakarta 2019 di Jakarta Convention Center, Jumat (30/8/2019).

Nam menggunakan program komputer untuk menciptakan interaksi dengan pengunjung. Anda cukup menekan panel sinar lampu di lantai untuk kemudian berkomunikasi secara meditatif.

Jadi, sejak manusia berseni-seni di dalam goa masa lalu, sampai kemudian berseni-seni di Jakarta Convention Center, ia selalu berada dalam kebutuhan dasar yang sama: berkomunikasi. Bahwa jika sekarang banyak orang menjadikan seni sebagai wahana penampung gelegak gaya hidup, itulah yang menjadi cerminan pencapaian peradaban di masa kini.

Kita menganggap seni sebagai bagian penting dari pernyataan identitas kelas sosial. Dan teknologi sangat "mengerti" akan kebutuhan itu, marilah cepat-cepat berakting dan ceklekselfiesudah dilaksanakan secara saksama…. Lalu kita posting di media sosial. Ujung-ujungnya, bukankah dorongan keinginan untuk berkomunikasi juga? Saya pastikan itu….


Kompas, 11 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger